Oleh Halim Ambiya
“Aku mengenal kamar ini,” bisikku dalam hati saat terjaga. Aku
terbujur di kamar depan rumah Pak Kyai. Kamar yang sering digunakan
untuk memijat beliau. Beberapa kali aku tidur di tempat ini. Terutama
saat aku ditraktir menonton Liga Champion oleh Pak Kyai. Kamar khusus
yang tak sembarang santri dibolehkan masuk. Sekaligus kamar termewah
yang ada di pondok ini. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.
Sayup-sayup kudengar suara menyadarkanku.
“Mungkin karena perut lapar. Dari pagi belum makan. Jalan
panas-panasan. Nggak pakai peci,” kata seorang perempuan dari balik
dinding. Dari suaranya aku kenal. Itu suara Ustazah Maryam. Dari situ
aku baru menyadari mengapa saat ini aku berada di kamar ini.
“Ya Allah. Hanum…Hanum,” teriakku.
Prankkk… Tak sengaja kakiku menendang piring dan gelas. Aku berusaha
bangkit dari tempat tidur. “Aku harus tahu kondisi Hanum sekarang,”
kataku dalam hati. Tapi, sejurus kemudian kulihat Rizki dan Ustazah
Maryam menerobos kamar. Menghalangi jalanku ke luar.
“Ohh.. Matin sudah bangun,” kata Ustazah Maryam.
Di Pondok ini hanya dua orang yang memanggilku dengan nama belakang;
Hanum dan Ustazah Maryam. Tapi, keduanya memiliki alasan yang berbeda.
“Sudah. Kamu istirahat dulu,” ujar Rizki.
“Hanum. Hanum bagaimana?” tanyaku.
“Kamu tenang saja. Jangan pikir macam-macam dulu. Pak Kyai pergi dengan
Ustaz Jamil. Tengok Hanum di RS Cilacap. Doakan saja, biar lekas
sembuh,” tutur Ustazah Maryam.
“Keadaannya bagaimana, Bu? Parah nggak?”
“Kita masih tunggu telpon dari Pak Kyai.”
“Sejak tadi belum ada telpon?”
“Belum.”
Aku tak bisa memaksa Ustazah Maryam untuk bicara. Kulihat dia jujur.
Memang belum ada berita terkini. Kabar sementara bus yang ditumpangi
Hanum tabrakan. Pak Kyai mendapat informasi dari pihak kepolisian di
Cilacap. Hanum luka parah. Ustazah Uswah kritis. Karena itu dia
tergesa-gesa tadi meluncur ke sana. Semua orang di pondok ini masih
menunggu kabar dari Pak Kyai. Pesawat telpon di ruang tamu ditunggui 2
santri putri. Sekadar berjaga-jaga kalau Pak Kyai telpon.
Aku
mengeluarkan sapu tangan Hanum dari sakuku. Tak peduli lagi dengan Rizki
dan Ustazah Maryam yang berada di kamar. Keduanya saling melirik lalu
berpamitan pergi saat aku mulai mencium sapu tangan itu dalam-dalam.
Kupejamkan mataku dan menarik nafas dalam-dalam. Aku memohon kepada
Allah agar Hanum selamat. Tak kurang suatu apa. Untuk menenangkan
batinku yang galau, aku bershalawat sebanyak-banyaknya:
“Allâhumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ muhammad wa’ala âli sayyidinâ
muhammad. Qad dhâqat hîlatî adriknî ya rasûlallah” (Ya Allah berikanlah
rahmat dan kesalamatan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan keluarganya.
Aku telah tunaikan daya-upayaku, maka ketahuilah keadaanku ini ya
Rasulullah)
Aku terus bershalawat. Berulang-ulang. Sambil
kututupi mukaku dengan sapu tangan itu. Aku menghadirkan kesadaran
batinku dengan shalawat sejadi-jadinya. Kugetarkan munajatku dengan
washilah Rasulullah. “Ya Allah, hambamu yang bergelimang dosa ini
memohon kepada-Mu. Ampunilah salah dan dosaku. Ampunilah aku dan
Hanummu. Kekasihku dan kekasih-Mu. Berilah limpahan rahmat dan
kesalamatan bagi kami dalam pelukan kelembutan cinta-Mu.”
***
Malam merambah pagi. Dalam ruang gelap-sepi. Aku mengambang di awan tak
bertepi. Jiwaku melayang-layang tak henti. Hanum bahkan sama sekali tak
ada di hati. Aku berhasil menghentikan ingatanku tentang Hanum. Namun,
pikiranku menjadi sangat liar. Aku tak mampu mengingat Hanum lagi, kini
yang kupirkan hanya aku; diriku sendiri. Aku dengan nama Thariq Abdul
Matin.
Dalam kesendiriaku, aku bertanya-tanya: Mengapa aku “ada”?
Sejak kapan sebenarnya aku ada? Aku tak pernah merasakan kapan saat aku
tiada lalu menjadi ada. Aku hanya begitu saja menjadi ada. Kupikir
semua pun merasakan hal yang sama. Lalu waktu membuat lalai. Kita bahkan
menghindari pertanyaan-pertanyaan jenis ini hanya untuk membuat pikiran
menjadi nyaman. Padahal saat diingat lagi, kita masih belum mengetahui
jawabannya. Kadang-kadang menyadari ada dan tiada. Terus silih berganti.
Namun, tak pernah tahu kapan batas kita mulai merasakan menjadi ada.
“Aku sadar bahwa diri ini adalah Thariq. Aku menyadari bahwa namaku
Thariq Abdul Matin saat usia 5 tahun. Saat aku disunat. Itu saja. Tak
ada gambaran memori sebelum itu yang kuingat. Nama itu melakat begitu
saja. Lalu kutahu nama itu pemberian ayahku,” bisikku dalam hati.
Pikiranku tak bisa dihentikan. “Lalu, dimana aku sebelum sunat? Dimana
diri ini berada? Bukankah banyak yang aku lakukan sejak lahir hingga
sunat? Jadi, dimana diriku waktu itu? Dimana kesadaran itu bersemayam?”
pikiran terus mencari arti. “Pasti orangtuaku juga merasakan hal sama.
Mereka tak minta dilahirkan dari rahim siapa. Tiba-tiba sadar di masa
dewasa, bahwa kita adalah fulan bin fulan bin fulan. Lalu, kita pun akan
menjadi tiada. Tubuh ini hilang. Sementara diri yang ada ini menjadi
tiada. Lalu dimana kita saat kematian jasad? Bagaimana merasakan dan
menyadarinya bahwa kita akan berada di ruang gelap?” aku terus
bertanya-tanya.
“Barzakh itu apa? Kalau hanya untuk ditanya
‘Siapa Tuhanmu? Siapa Rasulmu?’ seperti yang terdapat dalam hadis, maka
tak membutuhkan 15 menit untuk menjawab pertanyaan Malaikat. Lalu, apa
yang terjadi? Kita diam saja? Bergerak seperti apa tubuh kita menjadi
tanah? Bukankah kita bertahun-tahun di dalam tanah? Ratusan tahun? Kita
disana. Ya kita disana. Tak tentu waktunya. Apa yang kita lakukan?
Bagaimana? Apakah aku bisa melihat kehidupan yang sekarang? Apakah bisa
melihat dan bertamasya? Ahhh. Gelap. Bingung. Tak habis pikir,” bisikku
lagi dalam kesendirian.
Aku semakin bingung. Pikiranku semakin liar. Tak bisa dihentikan.
“Kalau nanti semua makhluk binasa. Dunia ini hancur lebur. Kita tak
ada. Fisik kita hancur. Tak tahu ada dimana. Lalu, kita dimana? Keadaan
kita seperti apa? Bagaimana? Dimana Thariq ini, yang ada dalam
kesadaranku ini? Dimana akuku? Di alam mana? Melayang-layang? Seperti
apa?”
“Kalau memang masuk surga, sampai kapan? Abadi? Bagaimana
selama itu? Apa yang kita rasakan? Apa yang terjadi dengan setelahnya?
Bagaimana gambaran neraka? Sampai kapan? Apakah ada alam lain setelah
surga-neraka? Ya Allah aku bingung. Bagaimana ini? Pikiranku susah untuk
dihentikan,” pikirku liar.
“Tidak!!!” Aku berusaha menghentikan
pikiranku. Aku berontak. Seperti mau lepas. Seperti mau hilang
kesadaran. Seolah masuk ke lorong gelap. Tubuhku seperti masuk ke dalam
vortex. Seperti jatuh dari gedung pencakar langit. Namun susah
dihentikan. Aku teriakkan dalam hati, “Allahu Allah…Allahu Allah.”
Kusebut berulang-ulang, melepas pikiran-pikiran yang berseliweran yang
menguasaiku. Kujaga di lisan dan pikiranku tetap nama “Allah.” Aku
hilangkan selain-Nya. Selain Allah tak ada. Yang Ada hanya Allah. Aku
terus teriakkan dalam batin: “Allahu Allah.” Aku berdiri dari
pembaringanku. Berjalan kesana-kemari. “Astaghfirullah,” ucapku
berulang-ulang menghentikan kenakalan pikaranku saat itu. Aku berhasil
menangkan diri saat deru mobil Land Rover memasuki halaman rumah Pak
Kyai.
“Alhamdulillah. Pak Kyai datang,” bisikku.
***
“Kamu belum tidur?” tanya Pak Kyai.
“Belum, Pak,” jawabku sambil kutunggu berita darinya. Kulihat waktu menunjukkan pukul 2.30 dini hari.
Ustaz Jamal berjalan ke arah kantor. Pak Kyai tak langsung masuk ke
dalam rumah. Beliau duduk di beranda depan. Aku mengambil posisi tempat
duduk yang agak jauh. Sambil terus kutundukkan kepalaku.
“Aku
bingung. Aku ini orang yang sudah diusir. Tapi, mengapa aku merasa
berhak untuk mendengar berita darinya? Mengapa aku seberani ini?
Siapakah aku ini. Aku hanya santri. Hanya teman Hanum dalam kasus ini.
Bukan tunangan. Bukan suami. Apa hakku duduk menunggu,” bisikku dalam
hati. Namun, aku merasa berani menghadapi ini, karena tak kulihat
penolakan di wajah Pak Kyai. Dia malah tampak tenang. Wajahnya bersih
bersinar dari kilatan cahaya malam.
Sejurus kemudian beberapa
ustaz pun datang. Kulihat Ustaz Kohar juga ikut datang berkumpul. Dia
melirikku dengan tatap mata tak sedap. Aku tak ambil pusing. Pokoknya,
aku ingin mendengar kabar yang dibawa oleh Pak Kyai.
Pak Kyai
berdiri. Lalu memecah sunyi, “Baiklah. Ustaz-ustaz tunggu disini dulu.
Nanti Ustaz Jamal yang jelaskan.” Beliau berjalan ke arahku, lalu
menepuk pundakku, “Ayo. Kita di dalam,” katanya.
Aku disuruh
duduk di ruang tengah. Aku siap menerima berita apa pun. Aku merasakan
Pak Kyai akan memberi kabar yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kabar
kepastian yang belum terjelaskan tadi siang.
“Kamu harus kuat,”
katanya sambil menudingku. “Jangan berani-beraninya menantang Allah!
Jangan pernah menolak kehendak-Nya,” ucapnya lagi dengan suara bergetar.
“Kamu tidak mensyukuri nikmat itu kufur. Kamu takut besok mau makan apa
juga kufur. Untuk menjadi kafir, seseorang tak perlu meninggalkan
agamanya. Urut takdir itu sudah ditentukan. Jodoh sudah ditentukan.
Kematian pun sudah ditentukan. Kalau kamu mengiba dan meratap
kehendak-Nya sama saja dengan menantang Allah. Kamu seperti menapar
muka-Nya,” katanya.
“Kamu harus berani menerima keadaan ini.
Hanum dipanggil oleh Allah dengan cara yang sudah dikehendaki-Nya.
Begitu juga Ustazah Uswah.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,”
kataku pelan. Aku hanya diam. Sambil terus berdzikir dalam hati
memanggil nama Allah agar utuh kesadaranku. “Allahu Allah.”
“Keduanya tidak bisa tertolong. Tak ada satu makhluk pun yang bisa
menghalangi kehendak Allah. Dia berkuasa penuh memutuskan kapan
seseorang meninggal. Kita ini hakikatnya hanya wayang. Kita hanya hamba
yang menjalankan urut takdir Gusti Allah,” ungkapnya dengan airmata
mengalir.
Airmataku telah kering. Sungguh aneh, kini justru aku
merasa kuat untuk mendengar semua wejangannya. Pak Kyai justru yang
menangis. Aku menerima berita duka ini dengan ikhlas. Aku sudah siap
menerimanya.
“Ingat, Nak,” kata Pak Kyai sambil mengelus
kepalaku. “Aku menghukum kalian bukan karena benci. Aku menghukum kamu
berdua karena rasa sayang. Ini bagian dari caraku mendidikmu. Tapi,
Allah menakdirkan lain. Ikhtiarku dianggap cukup. Hari ini Hanum dan
Ustazah Uswah terkena kecelakaan. Bukan hanya kamu yang bersedih, tapi
aku dan seluruh warga pondok pun berkabung. Seluruh keluarga Hanum dan
Ustazah Uswah pun sama” ungkapnya lagi.
Aku tetap diam.
“Hadirkan terus kalbumu bersama Allah. Hidupkan kalbumu, hidupkan.
Jangan hentikan dzikirmu karena ganguan nafsu dan pikiranmu,” katanya
lagi.
Aku membisu.
“Hakikatnya kita ini hanyalah wayang.
Kita ini tak ada. Kita adalah makhluk yang fana. Wujud kita ini bisa
sirna. Hanya Allah yang Wujud,” lanjutnya.
Sunyi.
“Tanamkan terus dalam kesadaran kalbumu, Lâ ilaha illallâh (Tak ada tuhan selain Allah),” pungkasnya.
Aku tak ada.
----BERSAMBUNG PART 4----
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1659085764141351
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment