Oleh Halim Ambiya
Aku terkapar. Meringkuk di sudut ruangan.
Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghantam tubuhku. Aku diinjak-injak
bagai binatang jalang. Berkali-kali kata-kata maut dan sumpah serapah
menggema di dinding ruangan, memantulkan resonansi kebinatangan mereka
sendiri. Darah mulai bercucuran dari kepala, tangan dan kakiku.
Kuteriakkan “Allahu..Allah” dengan teriakan yang tak pernah mereka
dengar sama sekali. Dengan bisikan hati yang paling halus dan tak akan
mampu terdengar oleh makhluk manapun. Aku membiarkan tubuhku jadi
bulan-bulanan. “Tubuhku bukan milikku lagi. Ini hanya cangkang yang
menyelubungi jiwaku. Tak ada lagi ‘aku’-ku, yang ‘ada’ hanya Dia: Allah.
Mereka tak pernah melukaiku sedikit pun,” bisikku di sudut terdalam, di
lapis paling halus dan tersembunyi dari kalbuku.
“Hentikan!”
Teriak Datuk Rustam menerobos ruangan penyiksaan. “Keluar kalian!”
perintahnya kepada pengeroyok-pengeroyok itu. “Panggil ambulan! Cepat
panggil ambulan,” teriaknya lagi.
“Angkat! Angkat tubuhnya! Bawa ke
ruanganku! Cepat, cepat!” perintah Datuk kepada seseorang berwajah
India yang kujumpai di dekat lift. Lalu, menyusul seorang preman
Melayu—orang yang memukulku di dekat lift—datang membantu mengangkat
tubuhku di atas sofa. Aku tak melihat lagi para tukang pukul itu, mereka
sudah keluar dari kantor Datuk Rustam.
Aku seolah berada di
dalam goa yang gelap dan melihat objek di luar. Seperti melihat film
yang menayangkan adegan tentang diriku sendiri. Aku melihat peranku
sendiri. Aku merasakan antara diriku sendiri dan tubuh ini adalah
sesuatu berbeda dan terpisah. Aku bisa melihat dengan begitu jelas.
Semua detail episode itu terjadi di hadapanku. Aku tak merasa sakit
sedikit pun. Diriku utuh, bukan diri ini yang mereka siksa, tapi hanya
tubuh itu. Aku hanya melihat tubuhku dipikul, ditendang dan
diinjak-injak. Tapi, bukan diri yang ini. Aneh.
Hingga tubuhku
diangkat ke ambulan aku masih menyaksikan tubuhku menjadi pusat
perhatian banyak orang. Datuk Rustam dan resepsionis yang tak kutahu
namanya itu berada persis di sisiku, di dalam mobil ambulan yang
kudengar sangat bising. Beberapa kali kulihat Datuk Rustam berdoa
khusyuk. Sesekali mengusap luka di kepalaku. Dia menangis bercucur
airmata. Seperti anak kecil. Kulihat resepsionis itu pun menyembunyikan
tangisnya. Lalu, menelpon seseorang untuk menjumpainya di rumah sakit
yang sedang dituju.
Kulihat Datuk Rustam berusaha berbicara kepadaku dengan memelas.
“Bertahanlah, Nak. Bertahanlah!” ucapnya sambil menggenggam tangan
kananku. Dia menciumi jari-jari tanganku. “Maafkan aku Thariq. Maafkan
aku, karena tak segera menjawab panggilanmu. Aku terlalu mengikuti hawa
nafsuku sendiri. Aku terlalu ego. Sebenarnya, aku sengaja shalat jumat
di belakangmu. Aku sangat penasaran. Meskipun sebanarnya aku telah
melihatmu sejak di lobi melalui CCTV. Maafkan aku, Nak,” ucapnya.
“Aku memaafkanmu Datuk. Aku juga meminta maaf atas semua yang terjadi,”
jawabku. Namun, sama sekali Datuk itu tak mendengar jawabanku. Kucoba
keraskan suaraku, “Datuk Rustam…Datuk,” kataku agak keras, namun dia
sama sekali tak mendengar. Aku merasakaan keanehan, mengapa dia tak
dapat mendengar ucapku? Aku seperti ikan dalam akuarium yang melihat
orang berbicara kepadaku dari balik kaca.
“Aku membaca pesanmu malam itu. Aku membacanya. Aku juga membaca pesanmu di secarik kertas itu,” katanya lagi.
“Tuk…Datuk..Datuk Rustam,” kataku. Aneh sekali. dia tak mendengarku. Meskipun aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
“Aku ingin menimang cucuku. Maafkan anakku Razi yang jahat. Aku gagal
menjadi ayah yang baik, aku tak mampu menjadi datuk yang baik bagi
cucuku. Aku menyesalkan kelakuan Razi pada Yasmin. Tapi, aku tak dapat
berbuat apa-apa. Aku terlalu memanjakan Razi, sekarang aku menanggung
akibatnya. Ini semua ulah Razi dan kawan-kawannya. Aku tak pernah
mengizinkan Razi mencelakan kamu. Jika nyawamu tak terselamatkan
bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan ini?” katanya lagi.
Aku hanya mendengarkan semua keluh-kesahnya. Menjawab pun percuma, dia
tak bisa mendengar ucapanku. Aku cuma merasa heran mengapa secepat itu
dia tiba-tiba menjadi pelindungku. Bagiku, alasan yang dia ungkapkan
tadi belum semuanya dapat menjawab keingintahuanku. Mengapa tiba-tiba
lelaki bergelar datuk ini begitu perhatian? Dimana wibawa dan kebesaran
namanya, mengapa begitu lembut jiwanya hingga mudah mengakui semua
kelemahannya di hadapanku? Pasti ada sebab lain yang lebih besar hingga
membuat dirinya menunjukkan kehinaannya di depanku.
“Aku
juga bingung, mengapa ini terjadi. Aku tak tak tahu mengapa aku bisa
sekhawatir ini. Pesan whatsapp-mu hingga terbawa mimpi dan membuatku
semakin tersiksa. Aku sama sekali tak mengirim guna-guna ke rumah Abah
Samad. Sama sekali tidak. Itu semua ulah Razi. Itu bukan mantera sihir.
Betul menurutmu, itu hanya warisan turun-temurun leluhurku. Bahkan, aku
tahu apa arti tulisan itu,” paparnya lagi.
Aku tersenyum
menyaksikan adegan ini. Seolah-olah beberapa rahasia mulai terungkap,
meskipun belum semuanya. Aku bisa mendengarkan ucapan Datuk Rustam
meskipun pelan, di antara tangisnya. Bahkan, aku mampu mendengar
ucapannya meskipun tak kulihat lisannya bergerak.
“Thariq, aku
seperti menemukan orang yang selama ini aku cari. Orang yang begitu
mudah membuat orang lain berubah pikiran. Ini aneh. Di usiaku ini, aku
baru menyadari bahwa orang seperti dirimu ada. Aku pikir hanya ada dalam
dongeng saja,” lanjutnya.
Aku tambah bingung. Sebenarnya dia ini ngomong apa? Mengapa dia menganggapku seperti itu? Apa yang membuatnya tersadar. Hmmmm.
***
Aku mengambang di atas langit yang biru. Semua biru. Aku dalam biru.
Mengapung melayang-layang di udara. Terasa damai dan sangat tenang. Awan
berarak menyelimutiku. Tak terasa ada hembusan angin, tapi tetap terasa
sejuk. Tak ada suara apa pun, lengang. Senyap. Lalu, aku turun
mengambang dalam posisi terbaring. Kulihat permadani hijau membentang
hingga ufuk. Tiba-tiba aku terhentak seperti dalam pesawat yang akan
lending. Lesssss. Begitu terasa tarikannya.
“Huhhh. Kemana
Datuk tadi?” bisikku pelan. “Mengapa kepalaku dibungkus perban? Hmmm,
apa ini? Mengapa tanganku terasa terganjal benda agak keras. Hahh,
tanganku di-gips?!” Aku menggerak-gerakan tangan dan kakiku pelan-pelan.
Kulirik kesana kemari. Aku merasa sakit saat kugerakkan tangan dan
kakiku, maka kupilih diam.
Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar suara
wanita membaca Surah Yasin. “Hmmmm. Aku pernah mengenal jenis suara
seperti ini,” bisikku dalam hati. Aku kini mulai menyadari bahwa diriku
berada di rumah sakit. Ternyata aku tak sedang bermimpi. Aku mulai
mengingat semua kejadian dari awal pengeroyokan di kantor Datuk Rustam
hingga aku dibawa ke ambulan.
Aku melirik ke arah kananku.
Ternyata seorang wanita sedang membaca Surah Yasin di sudut ruangan. Aku
memang mengenalnya, sangat mengenalnya.
“Saya belum mati. Kenapa kamu baca Yasin?” tanyaku.
“Alhamdulillah. Matin sudah sadar. Sudah sadar,” kata Maryam mendekat
ke arahku. “Alhamdulillah,” ucapnya lagi sambil tersenyum manis
kegirangan.
“Kenapa kamu disini?” tanyaku. “Mana Yasmin?” tanyaku lagi.
“Sudahlah, nanti aku ceritakan.”
“Mengapa kamu baca Yasin, aku kan belum mati?”
“Kamu lama nggak sadar-sadar. Jadi, aku baca saja surah Yasin.”
“Kamu salah, mestinya jangan baca Yasin kalau aku belum mati.”
“Sudahlah, jangan mengajakku berdebat. Kamu istirahat dulu. Kata dokter, jangan banyak bergerak.”
“Aku serius. Mestinya jangan baca surah Yasin.”
“Lalu, harusnya baca surah apa? Buktinya aku baca Yasin lalu sekarang kamu jadi bangun.”
“Berapa kali kamu baca Yasin?”
“Ini yang ketujuh.”
“Hmmm. Harusnya kamu baca Surah Ar-Ra’d. Coba kalau tadi kamu baca surah itu, aku tak perlu berlama-lama.”
“Apa dasarnya?”
“Penjelasannya ada di kitab Al-Adzkar An-Nawawi.”
“Hmmm. Nanti kita lanjutkan diskusinya. Aku harus telpon Zenita dulu.”
“Siapa Zenita itu?”
“Itu loh, resepsionis yang kerja di kantor Datuk Rustam.”
“Oooh.”
Sementara Maryam menelpon Zenita, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa
kesadaranku. Kulihat resepsionis yang sekarang kutahu namanya Zenita itu
memasuki ruangan. Disusul pula oleh kehadiran Datuk Rustam.
“Bisa minta tolong telponkan Yasmin,” pintaku kepada Maryam.
“Aku tak tahu nomernya,” jawab Maryam.
“Alhamdulillah sudah bangun,” ucap Datuk Rustam menghampiriku. Dia
mengusap kepalaku pelan. “Nanti saya bawa Yasmin kemari. Lebih baik awak
istirahatlah dulu,” katanya lagi. Beberapa saat kemudian Datuk Rustam
pun berpamitan untuk menjemput Yasmin.
Sepeninggal Datuk Rustam,
kulihat Maryam dan Zenita tampak kikuk. Apalagi Zenita yang tampak
bingung, berjalan kesana kemari di ruangan. Dia seperti menyembunyikan
sesuatu. Beberapa saat kemudian, dia pun meninggalkan aku dan Maryam di
ruangan itu.
“Sudahlah, daripada bengong, lebih baik kamu baca Surah Ar-Ra’d saja,” pintaku kepada Maryam.
“Kenapa sih, dari tadi surah itu lagi itu lagi,” kata Maryam.
“Hmmm. Ya sudah kalau nggak mau,” jawabku sambil kututup lagi mataku.
Rasanya, aku ingin kembali tidur. Detak jarum jam terdengar agak nyaring
menggema ke seluruh ruangan perawatanku. Aku kangen Yasmin dan Sean.
Aku benar-benar merindukan keduanya saat ini. Aku merasa tak nyaman
berada di ruangan ini bersama Maryam. Jika Yasmin datang tentu akan
membuatnya curiga dan bertanya-tanya mengapa justru Maryam yang harus
menemaniku di sini, di ruangan ini. “Hmmm. Ada-ada saja. Tak baik Maryam
malam-malam ada disini. Mengapa dia tak bersama suaminya saja? Apa aku
minta dia untuk keluar saja dari sini?” bisikku lagi.
Maryam pun
akhirnya duduk kembali di sudut ruangan. Lalu, membaca Surah Ar-Ra’d
seperti yang kuminta. Suara Maryam cukup merdu. Bacaannya sangat fasih.
Tak percuma dia belajar di pondok. “Tapi, ah…Aku kangen suara bacaan
Al-Qur’an Yasmin. Lebih menusuk ke jantungku,” bisikku. Aku berusaha
mengalihkan suara Maryam dari telingaku dan menggantikannya dengan suara
Yasmin. Tapi, ternyata susah juga melakukannya.
Dalam
hitunganku, kepergian Datuk Rustam untuk menjemput Yasmin memakan waktu
cukup lama. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya. Aku berharap Yasmin
dan Abah mau mendengarkan penjelasan Datuk Rustam dan mau memaafkannya.
Inilah saatnya masing-masing mau membuka diri, mengakui kekhilafan
masing-masing, lalu berusaha menyelesaikan masalah dengan baik-baik.
“Ya Allah berilah kami rasa kesejukan ampunan-Mu dan manisnya
rahmat-Mu. Bimbinglah jiwa kami tetap di jalan-Mu. Berilah anugerah
kesabaran di hati kami dengan kelembutan kasih dan cinta-Mu.”
***
“Abang,” teriak Yasmin berlari dari arah pintu ruangan menghampiriku
yang masih terbaring. Dia langsung mendekatiku, mencium pipiku dengan
lembut. Dia mengusap kepalaku yang diperban gulungan kain.
“Tak
perlu menangis sayang. Abang tak apa-apa. Hanya luka ringan saja,”
kataku sambil senyum canda. “Abang tak apa-apa, sayang,” kataku sambil
tersenyum gembira memandang wajahnya yang cantik.
Kulihat Datuk
Rustam pun memasuki ruangan. Lalu, memberi isyarat kepada Maryam yang
berdiri kaku di sudut ruangan untuk meninggalkan kami berdua.
“Terima kasih, Datuk sudah bawa Yasmin kemari,” kataku.
“Sama-sama. Kita keluar dulu sekejap,” jawabnya sambil menundukkan
kepala sebagai tanda keramahan. Kami pun menunduk sebagai tanda sopan
santun. Tapi, pada saat langkahan kaki Maryam mendekat ke arah pintu
keluar, tiba-tiba dia berbalik dan berjalan menuju Yasmin.
“Yasmin,
kenalkan. Aku Maryam, kawan Matin,” ucapnya sambil terbata-bata, lalu
mengulurkan tangan. Sejurus kemudian, keduanya langsung berpelukkan. Aku
tak ingat, siapa yang lebih dulu mengajak untuk saling berpelukkan.
Bahasa perempuan yang susah untuk dimengerti. Mereka tampak seperti dua
sahabat lama yang baru bertemu puluhan tahun.
Maryam dan Datuk
Rustam pun meninggalkan kami berdua. Suasana menjadi sepi. Aku mendapat
belaian mesra dari Yasmin. Saat airmatanya kembali berlinang, segera
kukatan: “Aku sehat wal afiat. Ini hanya luka ringan saja. Besok insya
Allah aku bisa pulang.” Lalu, aku bertanya-tanya tentang Sean. Apakah
dia masih dalam keadaan tidur saat ditinggal di rumah bersama Abah. Tak
lupa bertanya tentang Datuk Rustam yang datang ke rumah menjemput
Yasmin.
“Datuk sendiri yang datang menjemputmu?”
“Betul.”
“Alhamdulillah.”
“Tak perlu cerita sekarang. Lebih baik Abang istirahat.”
“Abang dari tadi siang istirahat. Sekarang Abang nak dengar cerita awak.”
Yasmin duduk persis di sebelah pembaringanku. Lalu mencium pipiku lagi
dan lagi. Dia menempelkan pipiku terus, dengan tangan lembut
mengelus-ngelus lenganku pelan.
“Terima kasih, Abang. Terima
kasih. Akhirnya Abah dan Datuk Rustam bisa saling memaafkan. Baru
pertama kali aku melihat keduanya saling berpelukan dan menangis. Moga
ini menjadi awal yang baik,” bisiknya di telingaku.
“Alhamdulillah. Sama-sama, sayangku.”
“Abang hebat. Aku bangga memilikimu, Bang,” tutur Yasmin, lalu mencium
keningku dalam-dalam. “Abang berhasil menyadarkan Datuk. Dia sekarang
dipihak kita, Bang. Alhamdulillah. Abang benar, bukan dengan kekerasan
masalah ini bisa diselesaikan. Tak semua orang mampu melakukan ini.
Abang telah mengajarkan kami tentang indahnya kasih sayang. I love you
so much.”
“Aamiin. Semoga Allah meridhai jalan yang kita pilih sayang.”
Aku meminta izin kepada Yasmin untuk melakukan shalat. Aku ingin
merayakan saat-saat indah ini dengan shalatku malam ini, sebagai tanda
syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, atas semua nikmat yang
diberikan kepadaku, atas semua mimpi-mimpi indah yang kualami, atas
semua anugerah yang kurasakan dan kusaksikan.
“Ya Allah, terima
kasih atas jamuan cinta-Mu malam ini. Rangkaian perjalanan batin yang
dahsyat, yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Keindahan pesona
alam-alam-Mu yang mengagumkan. Peristiwa-peristiwa batin yang
menggetarkan. Aku tak akan bisa melupakan keagungan rahmat-Mu yang
begitu jelas kusaksikan. Subhanâllah wal-hamdulillâh wa lâ ilaha illâhu
Allâhu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan tidak ada
tuhan selain Allah, Allah Mahabesar).”
–BERSAMBUNG PART 16—
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1674922715890989
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment