Oleh Halim Ambiya
Bunga melati di balkon itu tampak berubah
warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya
mulai berguguran. Tak ada tunas muda. Tanaman perdu berbatang tegak yang
bisa hidup menahun itu seolah sedang merana. Tak mampu menahan terik
mentari akhir-akhir ini. Jasminum Sambac itu merasakan apa yang
dirasakan Yasmin Samad.
Yasmin, melatiku tersayang, kini
bertambah sedih. Masalah semakin melebar. Kecantikan perempuan Melayu
ini terhalang kemurungannya. Padahal, aku berani bertaruh dari atas
Tanah Genting Kra hingga Pasir Gudang, Johor Bahru, Yasminku yang paling
cantik rupawan. Namun, kali ini, bebannya semakin berat. Puspa bangsaku
itu mulai layu. Lukanya meradang. Rahasia kejahatan Razi mulai menyebar
di antara keluarga dan rekan kerja.
Yasmin memutuskan untuk
berhenti kerja. Aku tak dapat melarangnya, sebab kutahu bisik-bisik
teman kerja pasti terasa sangat menyakitkan. Sangat menghantui, dia
dilecehkan oleh seorang Razi yang gila kuasa terhadap wanita. Kalau
hanya sekadar bercerai mungkin bisa diselesaikan dengan pergi menjauh,
pindah rumah, pindah kerja. Tapi, malangnya justru apa yang dialami
Yasmin jauh dari itu. Dia harus merawat dan mencintai anak hasil
perselingkuhan Razi dan Zahra. Yasmin merasa ditipu, dihina dan
dikhianati berkali-kali. Tentu rasa sakit dan marahku tak sebesar apa
yang dirasakan Yasmin. Aku tahu itu, sungguh menyakitkan.
Untungnya, dia masih menganggapku sebagai suami yang berdaulat. Suami
yang bisa memberi kehangatan dan kedamaian saat perasaan-perasaan sakit
dan sedih itu membuncah di hati. Aku bisa menjadi sandaran bagi
keluh-kesah dan asa yang tertunda. “Aku ingin selalu bersama Abang dan
Sean. Aku tak mau lagi bekerja di luar,” kata Yasmin meyakinkanku. Abah
Samad pun mendukung kami dengan bijak. Ayah mertua yang benar-benar
menjadi figur Bapak bagi kami. Aku sangat mengormati dan menyayangi.
Sayangnya, aku tak berkesempatan untuk melihat ibu mertuaku, Mak Hasanah
yang melahirkan melati indah pujaan hatiku. Aku menikahi Yasmin dua
tahun sepeninggal beliau.
Dari cerita-cerita Abah Samad dan Bang
Faizal, Yasmin mewarisi kelembutan hati ibunya. Kulihat ada garis-garis
kecantikan yang sama dengan Mak Hasanah saat kubandingkan fotonya di
dinding rumah. Abang Faizal satu-satunya saudara Yasmin. Aku bisa
mengerti kemarahan Bang Faizal terhadap Razi yang telah melakukan
pengkhianatan itu, sebab Bang Faizal sangat menyayangi adik
satu-satunya. Aku masih ingat, ketika pertama kali aku putuskan untuk
menikah sirri dengan Yasmin di Patani, Bang Faizal adalah orang pertama
yang kami beritahu. Lalu, dia juga yang meyakinkan Abah untuk merestui
hubungan kami. Alhamdulillah, akhirnya aku, Yasmin dan Abah bisa pergi
jalan-jalan ke Patani, mengunjungi pondok kecil disana dan Abah
menikahkan kami di tempat itu.
Bang Faizal pula yang memudahkan
proses pernikahan resmi kami di Kuala Lumpur, 6 bulan setelah pernikahan
sirri kami. Aku pun tak banyak mendapat kesulitan untuk mengurus
birokrasi penikahanku di KBRI. Seolah-olah pernikahan kami begitu
dimudahkan, semudah jatuh cintaku dulu kepada Yasmin. Aku adalah seorang
kutu buku yang paling beruntung di seluruh Semenanjung Malaya.
Dulu, di masa proses perceraian Yasmin dengan Razi, dia sering
berkunjung ke Perpustakaan Utama Universiti Malaya (UM). Dan, aku kala
itu telah menjadikan perpustakaan seperti rumah dan arena bermain
kegelisahan intelektualku. Setiap hari, aku membaca buku di perpustakaan
itu untuk menyiapkan thesisku di UM yang berjudul The Influence of Imam
Al-Ghazali’s Thoughts and Teachings in Southeast Asia (Pengaruh
Pemikiran dan Ajaran Imam Al-Ghazali di Asia Tenggara). Di saat itulah
aku menemukan kembang melati itu di perpustakaan. Harum baunya semerbab
mewangi ke seluruh ruangan.
Aku sering mengintipnya saat membaca
buku. Wajah Yasmin benar-benar memberi gairah kesegaranku membaca dan
melakukan riset kepustakaan di sana. Jika di perpustakaan ISTAC di
Damansara aku mendapatkan kedalaman khazanah Islam dan samudra ilmu yang
luas dan profesor-profesor hebat, di sini, di Perpustakaan Umum UM di
Petaling Jaya aku mendapatkan keindahan sastra dan warna-warni
bunga-bunga indah ilmu dan kehidupan.
Yasmin selalu berada di
dekat rak-rak sastra Indonesia. Awalnya aku ragu untuk mengajaknya
berkenalan. Tiga hari dan tiga kali pertemuan, aku sama sekali tak
berani mengenalkan diri. Aku berlagak dingin dan cuek di depannya,
padahal itu kulakukan untuk menutupi kegelisahanku. Namun, Tuhan
menginginkan lebih dari itu.
Saat aku memerlukan bacaan ringan,
setelah membaca tulisan-tulisan Prof Alattas, Drewes, Snouck Hurgronje
dan beberapa jurnal kala itu, aku mencari novel-novel karya Pramoedya
Ananta Toer. Semua koleksi karya Pram, lengkap di rak itu, sebuah
pemandangan yang tak akan pernah terjadi di Indonesia di zamannya.
Karya Pram mendapat apresiasi luar biasa di negeri ini. Tak seperti di
negeri asalnya. Dulu membaca karya Pram di Indonesia bisa dipenjara
karena dianggap melanggar undang-undang subversif, tapi di negeri ini
karya Pram adalah bacaan wajib mahasiswa sastra. Bahkan, beberapa cerpen
Pram menjadi bacaan wajib pada buku ajar di sekolah menengah atas.
Saat aku menemukan buku “Nyanyian Sunyi Seorang Bisu” di sudut rak,
tiba-tiba, ketika aku akan menarik buku itu, ada tangan putih halus
mulus dengan jari-jemari nan lentik menarik lebih dulu. “Ledies first!”
katanya setengah teriak. Gara-gara perebutan buku itu, aku jadi
berkenalan. Dia pun mulai melirik bahan-bahan bacaanku kala itu. Dia
bertambah tertarik untuk berdiskusi tentang sastra Melayu denganku.
Sebenarnya, basic pendidikan Yasmin adalah keuangan, tapi kecintaannya
kepada sastra terdorong saat belenggu rumah tangganya memuncak. Dia
menemukan kebebasan, kejernihan akal, pengetahuan dan hikmah dari
buku-buku sastra yang dibacanya, terutama sastra Melayu-Indonesia.
Sejak perkenalan itu, kami sering berbagi pengalaman. Dia sering
bertanya banyak hal tentang Indonesia dan masalah-masalah agama Islam.
Sedangkan aku, banyak bertanya tentang masalah ekonomi dan keuangan
Malaysia dari mulutnya yang mungil. Kita saling berbagi. Berdiskusi di
ruang perpustaan yang nyaman, sepi dan kadang romantis. Lalu,
dilanjutkan untuk duduk-duduk santai di bangku taman yang asri, di
kantin, di tepi danau kampus, di dekat hostel atau dimana pun di
lingkungan UM yang bisa kita jadikan untuk “mojok.”
Untuk
pertama kalinya dalam hidupku kala itu, aku mendapat hadiah sepeda motor
baru dari seseorang yang baru dikenal selama sebulan. Seorang peri
cantik Melayu yang mengagumkan. Sahabat diskusi yang mengasyikkan:
Yasmin binti Samad.
“Terimalah sebagai buah tangan dari seorang sahabat,” tuturnya.
Waktu itu, aku masih belum percaya. Yasmin hanya sahabat, aku sama
sekali belum mengutarakan isi hatiku kepadanya. Yasmin belum ditembak.
Tapi, dia sudah memberi hadiah yang sangat bermanfaat buatku kala itu.
Aku bingung harus bilang apa. Namun, berkali-kali Yasmin meyakinkan
bahwa itu adalah hadiah tulus ikhlas dari seorang sahabat Melayu;
“Perempuan Melayu Terakhir”-ku.
“Minggu lepas, aku tengok awak bekerja di kedai minyak,” tuturnya.
“Bila?”
“Hari Rabu. Waktu awak berlari-lari sambil membawa buku-buku. Aku kat situ, tengah beli minyak.”
Rupanya Yasmin menyaksikan peristiwa sedihku hari itu. Aku terlambat
datang ke pom bensin di Jalan Universiti, tempat aku magang. Karena, aku
harus membawa tumpukan buku dari perpustakaan yang begitu banyak. Bos
Indiaku marah-marah di depan pelanggan. Aku cukup malu karenanya.
Ternyata, Yasmin berada disana menyaksikan peristiwa itu.
“Bukankah awak dapat beasiswa dari kerajaan?” tanyanya.
“Dapat, tapi kurang buat belanja,” kataku sambil tertawa-tawa.
Aku memang mendapat kesempatan magang di tempat itu karena mendapat
rekomendasi dari seorang dosen sastraku. Seperti juga mahasiswa
Indonesia yang lain, kuliah sambil bekerja adalah hal lumrah. Kadang
kami mengajar private, menjadi asisten dosen, menjaga toko dan lainnya.
Pokoknya, mendapat uang saku lebih dari beasiswa yang kami dapat.
Motor hadiah itu akhirnya menjadi motor bersama kami. Yasmin lebih
sering memboncengku kemana-mana daripada menggunakan mobilnya sendiri.
Kami memiliki weekend yang lebih seru. Aku mengutarakan cintaku justru
di tepi jalan, saat motorku bocor dan harus menuntunnya ke arah pom
bensin. Tak akan dijumpai tukang tambal ban di Malaysia. Setiap kali ban
dalam bocor, maka kita harus segera menelpon bengkel untuk mengirim
orang mengganti ban. Sayangnya saat itu, nomer bengkelku hilang. Aku
harus berjuang mendorong motor itu, sedangkan Yasmin berjalan
mengikutiku dari belakang.
Aku tak melihat muka sedih Yasmin atau
marah menyalahkan aku saat ban motor itu bocor. Dia justru merasa
senang melihatku berkeringat mendorong motor di perbukitan kampus UM
yang melelahkan. Saat itu, kutahu bahwa aku harus mengutarakan cintaku.
Itu adalah waktu yang paling tepat dan mudah untuk diabadikan bagi jalan
cintaku.
Maka, kuhentikan dan kusandarkan motorku sebentar,
sambil menunggu Yasmin yang berjalan di belakang. Aku menepi ke sisi
jalan, di bawah pohon beringin yang rindang.
“Yasmin, aku ingin mengatakan sesuatu?” kataku serius.
Yasmin masih terengah-engah karena berjalan di terik mentari UM kala itu. Tapi, dia mengerti keseriusanku waktu itu.
“Ada apa?” katanya sambil tersenyum manis.
Aku menarik nafas panjang, mendekat ke arahnya. Tak memedulikan
mobil-mobil melaju di jalan itu. Aku tak peduli sorot mata liar orang
dari ujung jalan. Kupikir, ini hakku untuk memilih. Ini hakku untuk
menentukan mimpi. Ini hakku untuk mengutarakan cintaku kepada melati
indah di bawah pohon rindang.
“Maukah kau menjadi pacarku,” kataku.
“Yes! Yes!!” Jawab Yasmin tiba-tiba. Tak kusangka, Yasmin
berjingkrak-jingkrak seperti anak ABG mendengar pertanyaanku. Awalnya,
aku merasa seperti dilecehkan, seperti ditolak Yasmin. Tapi, ternyata
tidak. Itu adalah jawaban yang sebenarnya.
“Aku jadi pacar. Pacar
orang Indonesia. Aku jadi pacar. Yes! Yes!” katanya lagi sambil
senyum-senyum. Kita memang sama-sama sudah dewasa. Aku sudah berumur 29
tahun dan Yasmin adalah janda berumur 27 tahun. Tak sulit untuk
mengutarakan suka dan cinta kepada orang lain di usia kita. Tapi, yang
membuat Yasmin girang adalah kata “Pacar.” Sebuah kata yang hanya dia
dapatkan di film-film Indonesia yang menyebar di sini. Tapi, kata
“pacar” tak akan mudah dijumpai dalam perbendaharaan kata remaja atau
masyarakat di Malaysia. Yasmin suka dengan kata itu.
“Aku sudah menjadi pacar kamu, sejak kita berebut novel Pram,” katanya dengan tersenyum.
Aku tak mungkin bisa melupakan masa-masa pacaran dulu. Kenangan indah
antara kami. Masa dimana kami menyongsong harapan dan meniti jalan
menuju bahtera rumah tangga. Yasmin yang dulu sering murung karena
kegagalan rumah tangganya seperti mendapat angin segar perubahan dengan
kehadiranku. Namun, kemurungan 3 tahun lalu, kini kulihat lagi di
wajahnya. Yasmin tampak sedih, seperti kesedihan dan kesendiriannya dulu
saat bercerai dengan Razi.
***
Yasmin ingin memulai membuat
bisnis online sendiri agar bisa selalu bersama Sean. Masa-masa bersama
Sean dirasakan sebagai masa terakhir. Yasmin ingin agar kelak ketika
kemungkinan buruk terjadi, dirinya sudah siap. “Kalau tiba-tiba Razi
mengambil Sean dariku aku sudah siap,” katanya. Dia mulai menyibukkan
diri dengan membuat web, blog, facebook, twitter, instagram, path, dan
wattpad. Semua dikerjakan sendiri. Dengan bekal pengalaman menjadi
manager keuangan, Yasmin mulai membuat perencanaan-perencanaan bisnis
online dengan matang. Mencari produk yang tepat, menjaring klien,
menyiapkan packing dan pengiriman. Praktis, rumah kami menjadi kantor
sekaligus gudang baju muslimah yang dikelolanya.
Yasmin bekeja
sama dengan beberapa kawan terpercaya untuk membuat boutique online. Dia
memberi nama Puspa Boutique. Aku berharap kesibukan barunya bisa
membuatnya move on. Aku tak ingin melihat Yasmin terus bersedih. Biar
bagaimana pun, masalah Razi harus diselesaikan dengan baik. Jangan
sampai membuat luka baru dan meradang lama.
Sayangnya, melibatkan
orang lain dalam masalah rumah tangga kadang justru menjadi bumerang
tersendiri. Aku dan Yasmin tak mampu menghentikan amarah Bang Faizal.
Kini, Bang Faizal beberapa kali mendatangi keluarga Razi, seperti
menteror. Aku berinisiatif untuk menghubungi Datuk Rustam, ayah Razi.
Tapi, sudah berkali-kali telponnya tak diangkat. Aku berharap, aku bisa
mengambil jalan damai yang lebih kekeluargaan. Meskipun aku harus
memelas dan merendahkan diri di depan mereka. Bagiku, itu adalah harga
yang harus aku bayar untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan menghindar
dari konflik yang berkepanjangan.
“Abang tak perlu jumpa Datuk,” cegah Yasmin.
“Aku ingin meredakan masalah ini, sayang,” kataku kepada Yasmin.
“Bagaimana Abang jelaskan kepada Datuk Rustam?”
“Aku akan jelaskan semuanya. Aku yakin, sebagai orangtua, dia adalah
orang yang bijak. Aku percaya Datuk Rustam adalah jalan kita
menyelesaikan masalah ini.”
“Tapi, beliau itu orangnya keras juga.”
“Tak apa, akita harus coba.”
“Terserah Abang saja lah. Aku tak nak ikut campur. Aku malas nak cakap dengan keluarga Razi lagi. Sudah lama sakit ini.”
Aku berniat untuk mengunjungi rumah Datuk Rustam atau bila perlu
menjumpai beliau di kantornya. Tapi, rupanya aku terlambat. Bang Faizal
menelpon Yasmin dari Ceras. Dia memberitahu bahwa dirinya telah berhasil
menemui Razi.
“Abang!” teriak Yasmin di telpon. Aku hanya mendengar
suara Yasmin membentak Bang Faizal. Wajah Yasmin memerah mendengar
cerita Bang Faizal di ujung telpon.
“Abang jangan buat gaduh. Sudahlah Bang, ini masalah aku!” kata Yasmin lagi.
KL menjerit. Aku dan Yasmin tak mampu menghentikan Bang Faizal berbuat
kasar. Razi babak belur digebuk Bang Faizal. Pasti Datuk Rustam murka.
Akan ada teror antara masing-masing keluarga. Entah sampai kapan ini
berakhir. Rencanaku untuk meminta bantuan Datuk Rustam pasti akan menuai
jalan buntu.
Aku memang tak boleh berharap kepada makhluk.
Karena hanya bisa melahirkan kekecewaan demi kekecewaan. Aku harus tetap
berharap kepada Allah, satu-satunya pemberi harapan yang tak pernah
ingkar janji. Hasbunallâh wa ni’mal-wakîl ni’mal mawlâ wa ni’man natsîr
(Cukuplah Allah saja bagiku dan Dia adalah sebaik-baik pelindung).
***
Beberapa kali Maryam menelponku. Berpuluh pesan whatsapp aku terima
darinya. Ini seperti teror terhadap diriku yang sedang banyak masalah.
Dia seolah tak mau peduli dengan masalah yang sedang kuhadapi. Beberapa
kali kulihat Yasmin mengintip-ngintip handphone-ku karena curiga. Meski
dia tak berusaha bertanya kepadaku, namun kutahu dia tak merasa nyaman
dengan kehadiran Maryam. Aku sudah berusaha menjelaskan agar bersabar,
aku tak bisa setiap saat menemuinya. Istri dan anakku pun punya hak yang
harus kupenuhi. Aku punya pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Tapi,
Maryam begitu egois seolah punya hak atas diriku.
“Tolong aku, Matin!”
“Masak kamu tega. Kahar sudah seminggu tak pulang-pulang.”
“Tolong aku. Aku butuh teman curhat.”
Sederet pesan Maryam masuk ke handphone-ku. Aku biarkan beberapa lama,
aku masih sibuk mengurus dokumen pengambilan barang di Port Dickson.
Bolak balik custom bea cukai dan karantina pasti melelahkan. Aku juga
tak boleh salah memilih perusahaan ekspedisi. Pesan seperti itu jelas
mengganggu, apa lagi kalau dibaca Yasmin.
“Kamu tega!”
“Kawan macam apa kamu?!”
“Tolong mengertilah, aku tak punya siapa-siapa di KL ini.”
“Apakah menurutmu aku bercerai saja? Aku sudah muak. Aku sudah tak tahan lagi. Sakit, sakit banget.”
Maryam terus mengirim pesan dan kadang menelpon di jam kerja berkali-kali.
“Please…Be patient (Tolong bersabarlah)” jawabku singkat.
“Tak mungkin aku mengajarkanmu tentang sabar,” kataku lagi.
“Hmmm. Sampai kapan? Kamu nggak ada waktu buat temanmu sama sekali?”
“Sorry, I’am too busy rightnow (Maaf, aku terlalu sibuk sekarang)
Ternyata penjelasanku sama sekali tak menghentikan gangguan Maryam
kepadaku. Aku sudah jelaskan bahwa aku tak bisa bertemu dan tak bisa
menjanjikan kapan waktunya. Bagiku, dia tetap teman, tapi bukan berarti
bisa seenaknya saja mengaturku. Aku harus adil membagi waktu untuk
pekerjaan dan keluarga. Aku bukan konsultan psikologis atau psikiater.
Masalahku justru kadang lebih berat dari itu semua. Maryam tahu itu,
tapi dia tak mau mengerti.
“Maryam sahabatku, aku benar-benar
merasa terganggu! Mungkin ini adalah pesan terakhirku untukmu. Jika kamu
beruntung, aku akan menghubungimu nanti, saat waktu senggang.”
“Hmmm. Pesan terakhir? Kamu sudah nggak mau berkawan lagi? Jahat kamu! Kamu tega!”
Akhirnya, saat waktu senggang menunggu klienku di lobby Hotel Grand Lexis Port Dickson, aku menulis pesan penting untuk Maryam:
“Dawil-ghadhab bil-shamti
(Obati marahmu dengan diam)
tsamratul-iman al-fawz bil-allahi ta’ala
(Buah iman adalah “keberhasilan” menemukan Allah Ta’ala)
wa tsamratul-ilmi ma’rifatullah ta’ala
(Dan, buah ilmu adalah mengenal Allah Ta’ala)”
Kulihat dia langsung membaca pesanku. Lalu berusaha menulis jawaban.
Tanpa menunggu balasannya, aku segera mengetik penjelasan maksud dari
pesanku tadi.
“Aku berharap kau bisa memahami nasehat Syekh Abu
Hasan Asy-Syadzili ini. Karena, kadang-kadang, diam adalah penyelesaian
masalah yang terbaik. Itulah makna sabar yang sesungguhnya. Sabar adalah
ruh bagi makna diam. Sabar bukan hanya berarti nrimo (menerima), tapi
juga gerak untuk melangkah. Tapi, dengan berusaha diam, kamu akan
menemukan wujud “ada”-nya diri ini dan melihat “gerak” kuasa-Nya: sadar
akan adanya Allah dan merasakan gerak kehendak-Nya. Lalu, melalui iman
dan ilmu kelak kau akan mendapat secercah cahaya dalam diammu. Maka,
gunakan iman dan ilmumu dengan benar! Aku bukan sandaran atas
harapan-harapanmu. Temukan itu dalam dirimu sendiri! Anggap saja ini
pesan terakhirku. Mengertilah sahabatku. Salam.”
Setelah
kupastikan dia membaca pesanku, aku segera memblokir telpon, whatsapp,
dan facebooknya. Kupikir ini yang terbaik. “Bismillah. Semoga dia dapat
pencerahan. Aku akan menghubunginya nanti saat longgar,” bisikku.
---BERSAMBUNG PART 13---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1671500296233231
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
2 comments:
The Ultimate Tipster Guide - TITanium Art
As you would expect, the tipster's goal is 4x8 sheet metal prices near me to have the titanium auto sales best efficiency possible with babylisspro nano titanium his tips for the tipster's black titanium wedding bands success in the 2021 ford escape titanium hybrid sport. With a
additional hints cheap jerseys,wholesale jerseys from china,Cheap Jerseys china,cheap nfl jerseys,Cheap Jerseys china,Cheap Jerseys free shipping,Cheap Jerseys china,wholesale nfl jerseys from china,Cheap Jerseys free shipping,cheap nfl jerseys Check This Out
Post a Comment