Wednesday, July 19, 2017

Sang Guru Sejati (4)

Adam memandangku. Dan lagi-lagi, aku merasa, akulah yang sedang memandang diriku sendiri.

” Apa yang kamu rasakan, Nak,” bisik Guru Sejatiku.

” Tiap kali aku memandang Adam, aku seperti memandang diriku sendiri, Guru,” sahutku.

Guru Sejatiku terkekeh. Dia membelai kepalaku, dan aku merasakan kelembutan belaiannya. Aku tidak dapat mengelak, keadaan seperti ini selalu aku rindukan. Belaian lembutnya dan kata-katanya yang terdengar merdu.

Pertemuanku dengan Guru Sejatiku sebenarnya merupakan keberuntungan paling besar dalam hidupku. Aku nyaris putus asa ditikam kegelisahan panjang, karena banyak sekali pertanyaan yang menggelayuti pikiran dan perasaanku untuk hal-hal yang bagi orang lain barangkali dianggap terlalu mengada-ada. Tetapi bagiku, pertanyaan itu adalah hal yang sangat penting. Misalnya aku bertanya tentang syahadat kepada para ustad atau kyai.

” Mohon maaf, Kyai, sebenarnya syahadat itu bagaimana ?” tanyaku.

” Syahadat itu merupakan pondasi iman seorang yang telah menyatakan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”

” Sekali mohon maaf, Kyai. Apa yang Kyai kemukakan itu sebenarnya ucapan kalimat syahadat, atau memang persaksian dari seorang yang mengucapkan syahadat ?”

” Pertanyaanmu itu aneh, Nak,” sahut Pak Kyai sembari membetulkan duduknya.

” Kenapa, Kyai ?”

” Ya, karena tidak lazim hal seperti itu ditanyakan,” ujar Pak Kyai.

” Mengapa tidak lazim ?”

Pak Kyai memandangku.

” Kamu jangan main-main, Nak,” katanya kemudian.

Kini akulah yang memandang Pak Kyai.

” Aku tidak main-main, Kyai. Aku sungguh-sungguh ingin tahu, sebenarnya bagaimana caranya bersyahadat itu.”

” Ya, kamu tinggal mengucapkan saja dua kalimat syahadat itu,” sahut Pak Kyai. Kali ini terdengar ketus.

Aku sadar, Pak Kyai mulai marah. Atau setidak-tidaknya, emosinya mulai naik. Maka aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Sikap Pak Kyai yang seperti itu sudah dapat menjadi petunjuk bagiku bahwa dia pun belum tahu, sama seperti aku.

Tidak hanya satu dua orang Kyai dan Ustad yang aku jumpai untuk menanyakan bagaimana caranya bersyahadat. Aku tidak bertanya tentang apa itu syahadat. Karena jika aku menggunakan kata tanya apa, maka jawaban yang akan aku peroleh adalah definisi yang berupa untaian kata-kata. Padahal aku tidak memerlukan untaian kata-kata. Maka aku menggunakan kata tanya bagaimana supaya para Kyai dan Ustad yang aku temui itu memberikan contoh cara bersyahadat.

Sejak kecil, aku memang sudah diajari bagaimana menyampaikan pertanyaan cerdas, yang dengan pertanyaan itu, kita akan mendapatkan jawaban berupa cara atau praktek melakukannya.

Misalnya, ketika masih kelas nol (sekarang Taman Kanak-kanak), Ibu Guru mengajarkan nyanyian dalam bahasa Jawa : paman tukang kayu/ pripun solah ndiko masang paku/ paman tukang kayu/ pripun solah ndiko nggraji kayu dstnya. Lalu ketika aku sekolah rakyat (sekarang Sekolah Dasar) aku diajari nyanyian yang sama dalam bahasa Indonesia : paman tukang kayu/ bagaimana caranya menebang kayu, dan ada lagi tembang yang berisi jawaban atas pertanyaan bagaimana yaitu : kuambil bambu sebatang/ kupotong sama panjang/ kuraut dan kutimbang dengan benang/ kujadikan layang-layang.

Dan para guru kami, ketika itu pun, jika menyanyikan lagu-lagu itu diikuti dengan peragaan, sehingga anak-anak pun dapat menirukannya. Tidak hanya itu, bahkan mereka berani melakukan praktek itu membuat sendiri layang-layang, atau gangsing yang dalam bahasa dialek Banyumasanku disebut panggal, doran yang dalam bahasa dialek Banyumasan tempatku disebut walesan dari bambu untuk memancing ikan.

Kebiasaan bertanya seperti itu terus terbawa sampai tua untuk menyikapi sesuatu dengan sikap yang kritis. Aku jarang sekali bertanya dengan kata apa, karena aku tidak menyukai jawaban teoritis. Aku nyaris selalu bertanya dengan kata bagaimana atau mengapa supaya aku mendapatkan jawaban yang dapat aku praktekkan dan alasan yang masuk akal untuk suatu kasus.

Lebih dari itu, karena Kakek pun selalu menunjukkan kepadaku melalui contoh nyata. Misalnya, ketika aku masih kecil, dia yang mengajarkan kepadaku bagaimana caranya bertoharoh atau berwudlu dengan langsung praktek di padasan, bahasa lokal Banyumasan untuk menyebut keran air. Dimulai dengan doa, lalu satu demi satu membasuh anggota wudlu, dan ditutup dengan doa. Semuanya diberi contoh. Begitu pun ketika aku sudah disunat, Kakek yang mengajari aku bagaimana cara bersuci setelah buang air kecil. Dia menunjukkan caranya.

Ketika aku beranjak remaja, aku sudah mulai bertanya kepada Kakek tentang syahadat. Dia tersenyum memandangku.

” Kenapa kamu bertanya begitu ?” selidik Kakek.

” Lha, Kakek kan sering bilang untuk selalu memperbaharui syahadat setiap hari. Syukur-syukur setiap pagi dan petang,” sahutku.

” Kamu sudah melakukannya kan ?”

Yang kulakukan dengan melafalkan kalimat syahadat itukah syahadat ?”

Kakek tersenyum.

” Segala sesuatu ada waktunya. Tuhan berfirman ”Manusia selalu tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan tanda-tandaKu. Maka janganlah kamu minta kepadaku mendatangkannya dengan segera” (QS 21:37). Jadi, nanti pada waktunya kamu akan tahu jika kamu berusaha untuk mencari tahu.”

Ah, segala sesuatu ada waktunya, kata Kakek. Artinya, memang belum tiba waktunya bagiku untuk mengetahui kesejatian syahadat. Pernyataan Kakek ini selalu aku simpan, dan kuingat. Seiring bertambahnya usia, aku masih selalu menanyakan hal itu kepadanya. Kakek menyuruhku mendatangi Kyai atau Ustad untuk menanyakan hal itu. Maka pada waktu-waktu tertentu aku sering berkunjung ke berbagai pondok pesantren untuk mencari jawaban atas pertanyaanku. Tidak terhitung berapa banyak pondok yang aku datangi untuk bertakzim kepada para Kyai mencari kesejatian syahadat.

” Kakek,” kataku suatu malam ketika menungguinya di rumahsakit. Kakek terbaring sakit yang makin lama makin melemahkan fisiknya. ” Barangkali Kakek tahu, Kyai mana lagi yang harus aku sowani untuk mencari jawaban atas pertanyaanku.”

Kakek memegang tanganku. ” Sabarlah,” katanya, ” insya Allah kamu akan dapat menemukan jawaban itu pada waktunya nanti.”

Itu adalah kata-kata Kakek yang terakhir yang terus aku ingat. Karena, dua hari setelah itu, Kakek wafat. Aku tak kuasa menangis, hanya memandang wajah Kakek yang jernih seperti layaknya dia sedang tidur.*****

Sang Guru Sejati (3)


” Sebenarnya, Tuhan sudah mengajarkan kepada aku sesuatu yang tidak pernah diajarkan kepada Malaikat dan mahlukNya yang lain,” kata Adam setelah ia melihatku dalam kebingungan. ” Dia mengajarkanseluruh nama-nama (QS 2:31). Nama-nama itu adalah milikNya, sifatNya, ilmuNya, kekuasaanNya dan segala sesuatu yang meliputi seluruh alam. Dengan pengajaran itu sebenarnya Tuhan sedang memberitahu bahwa Dia melakukan sesuatu atas kemauanNya sendiri dan untuk diriNya sendiri. Dia memberikan segala sesuatu kepada mahlukNya atas kemauanNya sendiri dan untuk diriNya sendiri. Dia menghukum atas kemauanNya sendiri dan untuk diriNya sendiri.”

” Terus, apa kesalahanmu ?”

” Kesalahanku ada dua, yaitu, melupakan sesuatu yang telah ditunjukkannya kepadaku dan lemah kemauan. Dia menyatakan ”sesungguhnya telah Kami perlihatkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa, dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS 20:115). Dua kesalahan itulah yang aku alami. Maka aku tidak ingin anak-anak keturunanku melakukan kesalahan yang serupa.”

” Maaf,” kataku, ” jika kamu tidak lupa, apakah itu berarti takdir Tuhan tidak berlaku padamu ?”

” Kenapa kamu tanyakan itu ?”

” Ya, karena tadi kamu mengatakan bahwa takdirmu adalah tinggal di bumi, bukan di sorga. Kamu diturunkan ke bumi karena kamu membuat kesalahan. Kamu tidak ingat kepada apa yang sudah ditunjukkan Tuhan kepadamu dan kemauanmu pun lemah. Nah, bukankah itu berarti, jika kamu tidak lupa dan jika kamu memiliki kemauan yang kuat, Tuhan tidak akan menyuruhmu turun ke bumi ? Jika itu terjadi, bukankah takdir Tuhan juga tidak berlaku ?”

Adam tertawa. Mungkin ia senang karena aku sudah mulai dapat mengikuti pembicaraannya.

” Anak bebal,” kata Adam di ujung tertawanya, dan aku kesal jika disebut anak bebal. ” tadi kan aku sudah bilang, Tuhan melakukan sesuatu itu atas kemauanNya sendiri dan untuk diriNya sendiri. Tidak ada yang dapat membatalkan rencana Tuhan. Setiap rencana Tuhan pasti terjadi. Begitu pun rencanaNya untuk menempatkan aku di bumi. Tuhan punya cara untuk memuluskan rencanaNya.”

Aku memandang Adam.

” Semua yang terjadi dan menimpa manusia itu sudah berada dalam rencana Tuhan,” kata Adam lagi. ” Tidak ada satu pun mahluk yang dapat mengelak dari rencana itu. Maka tidak ada gunanya melawan kehendak Tuhan. Yang harus kita lakukan adalah menyesuaikan diri, jika rencana Tuhan itu terjadi pada kita. Tidak usah melawan. Tidak usah berontak. Terimalah semuanya, dan sesuaikan dirimu dengan keadaan baru yang telah terjadi pada dirimu sesuai dengan rencanaNya.”

” Tetapi bagaimana Tuhan memuluskan rencanaNya sehingga kamu akhirnya juga harus turun dari sorga ?”

Adam terkekeh. ” Dasar anak bebal,” ujarnya dengan menyebutku anak bebal, sebutan yang amat kubenci. ” Mula-mula Tuhan memberiku kemuliaan, yang dengan kemuliaan itu Dia memerintahkan kepada para Malaikat "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis (QS 2:34). Artinya Dia menciptakan musuh yang bertugas untuk membuatku lalai dan ingkar kepadaNya, yaitu Iblis. Itulah rencana Tuhan untuk pada akhirnya menempatkan aku di bumi. Iblis selalu membisikkan kepadaku untuk melanggar apa yang sudah dilarang oleh Tuhan, yaitu janganlah kamu dekati pohon ini yangmenyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim (QS 2:35). Iblis menjalankan tugasnya dengan baik lalu aku dan isteriku digelincirkan dari sorga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula (QS 2:36). Semula aku adalah menyandang baju kemuliaan, tetapi karena aku dan isteriku memakan dari buah pohon itu, lalu ditanggalkanlah baju kemuliaan itu sehingga nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia (QS 20:112).”

Aku tercenung, Adam dan isterinya yang semula mengenakan baju kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan, gagal mempertahankan baju itu, karena ia tergoda oleh rayuan Iblis. Kedurhakaan telah menyebabkan Adam harus menanggalkan baju kemuliaan, bahkan ia berada dalam kelompok manusia yang sesat.

” Ketahuilah,” kata Adam lagi, ” sejak itu, takdir Tuhan menempatkan aku di bumi menjadi kenyataan. Aku tidak mungkin mengelak dari rencana Tuhan. Yang dapat aku lakukan adalah menyesuaikan diri dengan keadaanku yang baru. Karena Tuhan sudah berjanji kepadaku turunlah kamu ke bumi, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan (QS 2:36).”

Aku mengangguk, ” Pantas dunia ini penuh dengan gejolak, permusuhan, kebencian dan balas dendam,” kataku.

” Bahkan kamu pun menjadi musuh bagi dirimu sendiri,” kata Adam.

Aku terkejut dengan pernyataan ini. Mana mungkin aku memusuhi diriku sendiri ? Tetapi Adam hanya tersenyum melihatku dalam kebingungan mencerna kata-katanya.

” Perhatikan baik-baik, anak bebal,” katanya. ” Tuhan mengatakan sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Ini seharusnya menyadarkan kamu, bahwa dalam dirimu ada dua potensi, yaitu potensi kemuliaan dan potensi kehinaan. Jika kamu punya keinginan untuk berbuat atau melakukan perbuatan mulia, itu artinya bagian dari potensi kemuliaan itu ingin tetap eksis. Tetapi, jika kemudian kamu merasa malas melakukan perbuatan mulia, itu artinya bagian dari potensi kehinaan pun sedang berjuang untuk tetap eksis. Bukankah itu artinya, keduanya saling bermusuhan ?”

” Benar juga,” gumamku.

” Bukan benar juga, tetapi memang benar begitu, anak bebal,” sahut Adam. ” Manusia sering terkecoh karena mereka lebih suka memandang ke luar dari dirinya. Jika diberitahu bahwa setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka perhatiannya di arahkan ke luar. Lalu kamu menuduh orang yang tidak pernah salat, tidak pernah berpuasa, tidak pernah mengaji, tidak mau pergi haji, yang tidak pernah mau berbuat kebaikan sebagai anak buah setan. Merekalah musuh, karena mereka berteman dengan setan. Tidak pernah sekali pun mereka melihat kepada dirinya sendiri. Mereka tidak merasa, jika dalam kesendirian tidak ada orang lain, lalu mereka merasa aman sehingga berani melakukan perbuatan tercela, bahwa dirinya adalah teman setan. Mungkin malah dirimu sendiri itulah setan bagi dirimu. Maka dari itu, lihatlah selalu dirimu sebelum kamu mengarahkan jari telunjukmu kepada orang lain.”

Aku menghela nafas. Adam memandangku. Anehnya, tiap kali Adam memandangku aku merasa diriku sedang memandangi diriku sendiri.

” Coba ingat,” kata Adam lagi. ” Ketika aku tergoda Iblis, apakah ada orang lain ?”

” Ada,” kataku.

” Siapa ?”

” Isterimu.”

” Isteriku pun bagian dari diriku. Dia adalah tulang rusukku. Sehingga apa yang menjadi keinginannya pun menjadi keinginanku. Aku tidak berhak menyalahkan dia, karena keberadaannya mendampingiku juga karena diriku. Tuhan menyayangi aku, dan memberiku teman dari diriku sendiri.”

” Jadi ?”

” Kalau aku berbuat baik kepadanya, itu artinya aku berbuat baik bagi diriku sendiri. Sebaliknya, jika aku jahat kepadanya, artinya aku pun jahat pada diriku.”

” Kalau dia yang berbuat jahat ?”

” Itu perbuatan jahat untuk dirinya dan diriku juga.”

Aku terperangah. Aneh.*****

Sang Guru Sejati (2)

dam masih tersenyum. Barangkali dia melihat wajahku tampak lucu ketika menunggu jawabanya. Orang-orang dekatku sering menyindir aku dengan kata-kata bayem, untuk memerintahkan aku supaya menutup mulut yang seringkali melongo ketika mendengarkan pembicaraan orang.

” Karena Tuhan telah meniupkan RuhNya kepadaku, maka Dia memerintahkan Malaikat supaya menghormati aku” sahut Adam. ” Itu yang menyebabkan aku jadi mulia. Ada roh Tuhan di dalam diriku.”

” Tetapi karena kamu melalaikan larangan Tuhan, maka kemuliaan itu diambil kembali oleh Tuhan, dan kamu harus menjalani kehidupan di dunia ?” tanyaku.

Adam – sekali lagi – tersenyum. Agaknya ia sudah mulai kembali mencium adanya pertanyaan bodoh yang meluncur dari mulutku.

” Sama sekali tidak,” katanya masih sambil tersenyum. ” Aku sekedar menjalani takdirku saja. Lagi pula, Tuhan menciptakan aku memang untuk tinggal di bumi. Dia sendiri yang menyatakan kepada para Malaikat, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Artinya memang takdirku adalah tinggal di bumi.”

” Bukan di sorga ?”

” Sorga lagi ... sorga lagi ...” Adam menyindirku. Aku cuma meringis. Malu pada pertanyaan bodoh itu.

” Tuhan sudah menciptakan semuanya, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, tetumbuhan, binatang dan segalanya. Semua ciptaanNya menjalani takdirnya sendiri dan harus berada di tempat yang telah ditakdirkan, menjalankan pekerjaan yang sudah ditakdirkan tanpa melakukan protes. Tetaplah berada di dalam takdir itu, dan kerjakanlah bagian yang memang menjadi pekerjaanmu. Jangan melebihi dan jangan mengurangi. Jika melebihi, artinya kamu telah memasuki wilayah yang bukan wilayahmu”.

Aku merasa pening mendengarkan kata-kata Adam yang terakhir ini. Maka aku coba untuk menghilangkan rasa pening itu dengan memijat-mijat keningku.

” Kenapa kamu, Nak,” bisik Guru Sejatiku.

” Ucapan Adam membuat aku pening, Guru,” sahutku terus terang, Dia sendiri sebenarnya sudah tahu.

” Makanya, Nak, jangan pernah meninggalkan dirimu,” kata Guru Sejatiku.

Aku tercenung. Meninggalkan diriku sendiri ? Ah, ini sungguh sebuah teguran yang sangat halus. Meskipun demikian aku merasakannya sebagai tamparan yang keras, karena Guru Sejatiku mengingatkan aku untuk tetap senantiasa berada dalam kesadaran diri. Aku tidak boleh meninggalkan diriku untuk menjadi orang lain dan bersama orang lain.

” Jika kamu meninggalkan dirimu, Nak, ” kata Guru Sejatiku lagi, ” kamu akan kehilangan banyak hal. Kamu tidak dapat memahami kata-kata Adam, karena kamu tidak menempatkan dirimu sebagai kamu. Jika kamu tetap ditempatmu maka kamu akan mengerti, ada wilayah yang menjadi wilayahmu, dan ada wilayah yang bukan menjadi wilayahmu. Tetaplah berada di wilayahmu, artinya tetaplah menjadi dirimu sendiri. Menjadi manusia yang memikul amanah Tuhan.”

Aku mengangguk. Kalau saja Guru Sejatiku tidak selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi, barangkali aku hanya terdiam bingung. Tetapi pada saat-saat seperti itu, dia – Guru Sejatiku – selalu datang dan membantuku. Begitu pun ketika dia menyuruhku menemui dan belajar dari Adam, dia tidak benar-benar melepaskanku sendiri. Dia selalu ada bersamaku ketika aku berbicara dengan Adam.

” Baiklah,” kataku kemudian. ” Aku paham dengan maksudmu.”

” Yang mana yang sudah kamu pahami ?” tanya Adam.

” Bahwa takdirmu memang untuk tinggal di bumi.”

Adam tertawa kecil. ” Jadi kamu sudah tahu, aku berada di bumi ini bukan karena Tuhan mengutuk aku ?”

” Ya, aku tahu. Kamu berada di bumi, karena memang Tuhan menciptakan kamu untuk hidup di bumi, untuk menjaga bumi, dan untuk memakmurkan bumi. Bumi adalah wilayah kekuasaanmu.”

Adam masih tertawa. Kali ini agak lebih keras dari sebelumnya.

” Tetapi sayang,” kataku kemudian.

Adam berhenti tertawa. Memandangku dengan dahi berkerut.

” Kenapa heran ?” sekarang gantian aku yang ngerjain Adam. ” Kamu dan Tuhan itu sama-sama egois.”

Adam terkesiap.” Beraninya kamu berkata begitu ?”

” Ya berani saja,” kataku lagi. ” Benar kan kamu egois karena hanya kamu sendiri yang mendapatkan kemuliaan dari Tuhan ? Mentang-mentang Tuhan memberikan kemuliaan padamu, kamu merasa tidak butuh sorga. Kamu merasa lebih pantas untuk selalu bersama-sama Tuhan, sehingga ketika kamu disuruh Tuhan untuk tinggal di bumi, kamu merasa sedih. Betul kan ?”

Kini Adam yang tertawa. Kali ini jelas dia menertawakan aku.

” Dengar, anak bebal,” kata Adam. Kali ini sangat serius.” Aku tidak perlu berbagi kemuliaan dengan siapa pun.”

” Nah kan ? Kamu egois kan ?”

” Tidak. Karena Tuhan sudah memberitahukan kepadaku ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS 17:70). Dengar itu, anak bebal ?”

Aku tertegun kehilangan kata-kata.

” Makanya, Nak, kalau mau bicara dipikir dulu,” kata Guru Sejatiku. ” Karena kamu tergoda oleh nafsu untuk mempermalukan Adam, maka kamu sendiri yang sekarang jadi malu.”

” Ya, Guru,” kataku sambil menunduk.

” Aturlah pembicaraanmu, kendalikan lisanmu. Mulut kamu harimau kamu, Nak. Jika tidak hati-hati, ucapanmu akan menerkam dirimu sendiri.”

” Baik, Guru,” sahutku sambil membungkuk.

” Tidak usah membungkuk-bungkuk begitu,” ujar Adam. ” Menghormati sesama memang penting, tapi tidak perlu sampai segitunya.”

Capek, deh,” kataku sampil meletakkan telapak tanganku di dahi. ” Aku membungkuk karena aku bersyukur, ternyata Tuhan pun telah memuliakan aku.”

” Jangan terlalu bangga dengan kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan,” kata Adam.

” Kenapa?”

” Kebanggaan yang berlebihan akan menyebabkan kamu lupa, seperti dulu aku lupa pada perintah Tuhan. Kebanggaan yang berlebihan juga menyebabkan kemauanmu untuk berjihad jadi lemah.”

” Tuhan memberitahukan itu kepadamu ?”

” Ya. Dia memberitahukan ” dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa, dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS 20:115). Aku lupa karena aku amat bangga dengan kemuliaan yang dikaruniakan Allah kepadaku. Siapa yang tidak bangga, bahkan Malaikat pun disuruhNya menghormatiku. Kebanggaan itu juga menyebabkan aku jadi tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mempertahankan nikmat Tuhan.”

Aku tidak menyahut. Kali ini aku ingin memberi kesempatan pada Adam untuk berkata sebanyak yang dia butuhkan. Tetapi sebenarnya – yang terutama – adalah untuk memberi kesempatan pada diriku sendiri, memperoleh pelajaran berharga dari Adam.

” Maka,” kata Adam lagi, ” aku minta kepadamu, jangan terlalu bangga dengan kedudukanmu sebagai khalifah di bumi Tuhan. Kebanggaan yang berlebihan benar-benar membutakan mata hati. Aku sudah mengalaminya, dan aku tidak ingin anak keturunanku melakukan kesalahan yang sama.”

” Kesalahan yang sama ?”*****

Bersambung 


diambil dari:http://www.kompasiana.com

17. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ngawulang Umat”~3.

Raden Mas Akoe mengangguk-angguk memahami apa yang dinamakan Rasaning Alloh.
“Dengungmu ini karena sudah sampai pada rasanya, maka tidak akan hilang barang sekejap pun,
sedang apapun kamu, dalam keadaan apapun kamu, tetap ada. Tasbih tunggal ini menempatkanmu
pada keadaan tidak mampu melupakan-Nya, kenapa..? sebab bukan lagi kamu yang berupaya
mengingat-Nya, melainkan Dia yang mengingatmu,..kalau Dia mengingatmu,..bagaimana
akan terlepas…? Tidak akan,..terus ber-Dengung Agung hingga akhir masamu kelak,
inilah Adzkurkum dalam taraf kesejatiannya, diingat oleh-Nya,
sekarang ini dengungmu ada kan…?”
“Iya Bib, terasa sekali…”
“Saat sakaratul maut pun, kesucian azalimu, membawamu melebur bersama ‘Rasaning Alloh’
yang dengan itu sampailah kamu kepada-Nya. Sebagaimana Firman Alloh dalam sekian
banyak ayat suci Al Qur’an, “Kembalilah kepada-Ku”, kepada-Ku kata Alloh
bukan kepada yang lain, apapun yang lain itu.
Raden Mas Alkoe menghela napas panjang.
“Kalau tidak salah dulu kita sudah penah membahas Asmaning Alloh  kan,..?”
Habib Atho’ kembali bertanya.
Raden Mas mengangguk, “Hakikat ‘adam Asmaning Alloh .”
“Nah yang ini adalah hakikatnya Hakikat ‘adam Asmaning Alloh tadi.”
“Lebih dalam ya bib,…?”
Habib mengangguk, “Martabat rasa melebihi martabat nama, martabat rasa setingkat
martabat sifat, misalkan dirimu sebagai zat, maka adakah sifatmu..?”
“Iya bib..”
“ada namamu juga kan..”
“Iya bib..”
“Nah ditinjau dari dirimu sebagai zat, dekat mana sifat dengan nama…?”
“Sifat,..”
“Itulah sifat tidak lepas dari zatnya, dimana ada zat disitulah ada sifatnya, kalau nama,…
bisa saja namamu terdengar disana, namun zatmu tidak sedang disana, tapi ini sekedar
gambaran lho…bukan keadaan yang sebenarnya bagi Dzatulloh, sebab segalanya Dia.
Semua ini hanyalah Dzat-Nya, kembali kepada-Nya, kesimpulannya,..Dia..ya hulu..ya..muaranya.”
Raden kembali mengangguk.
“Adakah hal lain yang hendak kamu tanyakan ?” Habib mulai bertanya lagi.
“Sudah habis ceritanya bib,..” jawab sang murid.
“He..he..he..” sang guru pun tertawa pelan.
“Tapi,…satu lagi deh,….terakhir,…” menyelak Raden.
Habib pun kembali tertawa, “Silahkan…”
“Apa maksudnya nanggung Dun-ya ?” Raden menatap gurunya, yakin ini hanyalah
istilah, tapi apa maknanya ? daripada penasaran……
“Wah berat ini, he..he..he.., harus dengan rasa juga, dibatas pengertian, setiap ulama…
orang yang berilmu pada hakikatnya diberi tanggungan untuk menjaga amanah dunia,
itulah mengapa mereka ditinggikan beberapa derajat dari yang lain, dengan ilmunya,…
maka ilmu atau pengetahuan itu bukanlah barang gratisan, he..he..ada pertanggung
jawabannya kelak kepada Yang Memberi, semua ilmu pada dasarnya harus bisa membawa
dunia dan seisinya ini kembali kepada-Nya, begitu gambaran sederhananya.”
“Semua ilmu ? kalau ilmu-ilmu yang lain itu…?”
“Tidak ada ilmu yang lain-lain, pada hakikatnya semua ilmu adalah satu, seolahnya saja
yang terpecah-pecah, pengetahuan apapun itu, jika dibaca dengan iman, maka akan kembali
‘satu’ kepada-Nya, sebab Dial ah Sang Maha Ilmu, Maha Berpengetahuan, semua ilmu ini
yang lurus maupun yang bengkok, milik-Nya, kata siapa milik malaikat ? kata siapa milik iblis ?
kata siapa milik kita ? bagaimana bisa dikata milik mereka, kalau bahkan mereka itu pun
milik-Nya bukan,….?”
Raden Mas tercekat,..benar !
“Tapi,..bib,..kan ada ilmu yang menyesatkan ?”
“Nah ini dia,..bukan ilmunya, pengetahuan tidak kena salah, yang salah orangnya, yang disebut
ilmu agama sekalipun, kalau salah orang, katakanlah kurang imannya,..jadinya menyesatkan juga,
baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang mengikutinya, Walaa tasytaruu
bi ‘abdillaahi syamanan qoliilaa bukankah telah jelas ?
Silahkan dilihat kejadiannya disekitar kita,….”
Raden Mas Akoe terpekur.

Walaa tasytaruu bi ‘abdillaahi syamanan qoliilaa, innamaa ‘indalloohi huwa khoyrul
lakum inkuntum ta’lamuun.
Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan
Alloh dengan harga yang murah, sesungguhnya apa yang ada disisi Alloh itulah yang lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. An Nahl :95)

“Setiap percikan ilmu, turun dengan harganya, dengan perjanjiannya, jangan sombong
menerimanya, merasa itu miliknya, semata-mata itu hasil kerja kerasnya, lalu merasa berhak
mempergunakan sekehendaknya, ingat ada perjanjiannya, ada bentuk pertanggung
jawabannya kelak, Alaysalloohu bi ahkamil haakimiin bukankah Alloh
Hakim yang seadil-adilnya ? tidak luput sebiji dzarrah pun….”
Raden Mas mengangkat wajah memandang gurunya.
Habib tersenyum, “Jangan khawatir dan jangan bersedih hati, hanya diminta mengembalikan
semua akuan diri kepada-Nya, itu saja,…he…he…..”
Raden mengangguk-angguk tegang.
“Ayo senyum lagi, he..he..he.. dikasih ilmu sama Alloh kok malah pucat.”
Habib mencandai muridnya, menenangkannya.
Maka Raden pun mesem sambil garuk-garuk kepala.
Sejenak Habib membawa muridnya ‘turun gunung’, ngobrol ringan dulu,
memberi kesempatan bagi Raden menenangkan diri, usai tesengat ayat akhir surat At Tin tadi,
tertawalah beliau mendengar kisah muridnya yang dikerjain Mang Ihin saat menuju tempat
Ajengan Sanusi, “Macam-macam saja Ihin, gimana kalau orang jadi celaka ?”
Ujarnya disela tawa.
“Nanti itu diminta pertanggung jawabannya nggak bib….?”
“He..he..he..” mereka pun tertawa-tawa lagi pelan saja.
Setelah dirasa cukup, Habib pun kembali mengajak muridnya ‘naik-naik kepuncak gunung’
balik ke level perbincangan kelas berat tadi.
“Anakku, tampaknya telah tiba saatnya bagi saya untuk melepaskanmu, syariatnya tugas saya
Sebagai pe,bombing ruhaniahmu telah dicukupkan, kamu sudah punya taraf keimanan
Haqqul Yaqin kepada-Nya, setiap pembimbing ruhaniah hanya ditugaskan mengantar
manusia sampai gerbang makrifat pertama, selanjutnya,…Dia langsung yang akan
membimbing menuju-Nya.”
Raden Mas Akoe tercekat, “Maksudnya gimana bib,…?”
“Syariatnya tugas saya sudah selesai, lanjutkan perjalananmu atas bimbingan-Nya, Dial ah
Sang Maha Mursyid, Dial ah Sang Maha Pembimbing, nanti amu akan paham sendiri, bagaimananya.
Jangan dipertanyakan sekarang, sungguh ini tidak bisa dijelaskan, bahkan dengan isyarat,…
Aqrobu ilayhi min hablil wariid itu, bukankah telah kamu rasakan
dengan sebenar-benarnya…?”
Raden Mas mengangguk mantap, demikian kebenaran adanya.
“Nah itulah Dia….”
Wa laqod kholaqnal insaana wa na’lamu maa yuwaswisu bihii nafsuh,
wa nahnu aqrobu ilayhi min hablil wariid, dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya. (QS. Qoof :16)
Hening sejenak.
“Hadits Nabi, Awwalu diini makrifatulloh, awal beragama adalah mengenal Alloh,
secara hakikat demikianlah, dibatas akal pun bisa dipahami, tanpa mengenal-Nya, lantas
menyembah apa ? namun ini dalam tataran hakikat, janganlah kamu memaksakan pengertian
ini kepada mereka yang tidak membutuhkannya, sebab zholim hukumnya, tapi jangan juga
ditutupi dari mereka yang benar-benar membutuhkannya, sama zholim juga.
Biarlah Alloh yang menentukan siapa diantara hamba-Nya yang berwaris ‘arif
dan yang ‘abid’, siapa yang ahli makrifat, siapa yang ahli ibadah,
kedua golongan ini adalah hamba-Nya, pada tingkatan masing-masing.”
Raden Mas Akoe kembali mengangguk.
“Makrifatulloh itu sendiri berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, tapi jangan dibayangkan macam
lapisan-lapisan yang berderet ya ? misalnya kamu melihat satu titik cahaya dari sini,
maka benar jika dikatakan bahwa kamu telah makrifat kepada titik cahaya itu dari posisimu,
lalu anggaplah kamu berjalan mendekat kearah titik cahaya itu, pada setiap kedekatan
yang baru, ada tingkatan makrifat lagi bukan..? yang lebih dekat disbanding sebelumnya..”
Raden Mas melongo.
Habib tersenyum, “Seperti itulah gambarannya, ingat ini sekedar gambaran,
hingga pada suatu taraf jarakmu dengan titik cahaya tadi telah sedemikian dekatnya,
lalu…tiba-tiba kamu telah tiada, tenggelam bersama lautan…”Beliau menatap syahdu
muridnya, “Bisakah ini dipahami..?”
Raden menghela napas, “Bisa  bib, jelas sekali.”
Bismillaahi wa min bismillaaah, laa ilaha illallooh..…” desah Habib.
“Apakah kamu hafal surat At-Taubah ayat dua puluh ?”
“Yang gimana pertamanya bib,…?”
Habib pun melantunkan bagian awal ayat itu, lalu Raden menyambungnya, Alhamdulillah,
Alloh telah memudahkan baginya untuk menghafal ayat-ayat suci Al Qur’an,
berikut terjemahannya, walau tidak sampai taraf hafidz.

Alladziina  aamanuu  wa  haajaruu  wa  jaahaduu  fii  sabiilillaahi  bi-amwaalihim
wa  anfusihim    a’zhomu  darojatan  ‘indalloohi,  wa  ulaa’ika  humul  faa’izuun.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Alloh dengan harta benda
dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Alloh, dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah : 20)

“Nah diayat tadi Alloh telah menjelaskan hubungan antara iman, hijrah dan jihad,
sebelum hijrah dan jihad yang harus ada imannya dulu, jika iman sudah terbentuk,
secara alamiah seseorang akan berpindah atau berhijrah.
Hanya banyak yang memaknai hijrah ini secara lahiriah saja, berpindah dari satu tempat
ke tempat yang lain, macam pindahan rumah saja.” Ujar Habib.
Raden menyimak, sekalianpikirannya terbang ke Al Hikam kitab karangan Syekh Ibnu Atho’illah,
disana ada bagian yang membahas soal hijrah.
Habib tersenyum, “Apa kata Syekh Atho’illah tentang ini ?”
Raden kaget sekejap, lalu meringis, sudah maklum atas ‘kesaktian’ gurunya, sudah sering
kejadian tebak tepat macam ini sebelumnya.
“Apa kata beliau ?” Habib bertanya lagi.
“Ehmm…Jangan berhijrah dari satu keadaan ke keadaan lain, sebab kelakuan itu seperti
Keledai penggilingan.” Jawab Raden, lanjut nyengir.
“He..he..he….mestinya gimana ?”
Berhijrahlah dari suatu keadaan ke yang bukan keadaan.”
“Nah itu baru aslinya, kamu paham yang dimaksud beliau dengan ungkapan
yang bukan keadaan tadi ?”
Raden mengangguk.
“Apa…?”
“Apa lagi ? Adakah yang lainnya..?”
Maka Habib pun kembali terkekeh, sang murid ikutan….
“Hijrah selalu bersama jaahaduu fii sabiilillaah nya, tidak ada makna hijrah tanpa
jihad kecuali dengan fii sabiilillaah- nya, kalau tanpa fii sabiilillaah, namanya
bukan jihad, itu sekedar kerusuhan duniawi saja, perang rebutan harta, tahta atau wanita,
tidak lebih.” Lanjut sang guru.
Raden menyimak.
“Jadi nyatalah bahwa aamanuu, haajaruu, dan jaahaduu fii sabiilillaah,
adalah satu kesatuan syarat, iman, hijrah dan jihad tidak terpisahkan.
Selanjutnya akan ada pengorbanan dengan harta benda atau bahkan diri pelaksananya,
tidak mudah, bukan…? Kata siapa beribadah itu gampang ?” habib tersenyum.
Raden meringis garuk-garuk kepala.
“Tapi jangan khawatir, sebab Alloh akan melimpahkan ikhlas kepada para pejuang-Nya,
mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya, dijamin ikhlas oleh-Nya,
walau katakanlah harta bendanya habis, atau mati syahid sekalipun, ikhlas ini bukan hal
sembarangan, bukan cerita ikhlas-ikhlasan, manusia tidak akan bisa ikhlas tanpa diberi haknya,
ikhlas adalah hak Alloh, bukan hak makhluk, janganlah kamu berkata ikhlas,
jangan kamu berkata sabar, dan jangan kamu berkata iman, tanpa makrifatullooh.
Batil ! demikian diwejangkan oleh Sulthon Awliya Syekh muhyiddin Abdul Qodir Jaylani.”
tutur Habib lebih lanjut.
 Raden menghela napas, menunduk, lalu mengangguk-angguk.
“Siapa tahu….” Ujar Habib, “Siapa tahu garis hidupmu mirip-mirip saya…”
Raden mengangkat wajah memandang gurunya.
“Tua tua begini, saya kan putra mahkota he..he..he…”Sang guru terkekeh.
Maka sang murid pun tersenyum….
Jamak diketahui oleh sebagian muridnya, bahwa habib adalah seorang pangeran,
bahkan bukan sembarang pangeran karena beliau berkedudukan putra mahkota, bakal pewaris
tahta sebuah kerajaan yang kini masuk wilayah Kalimantan Barat, saat mudanya beliau
menanggalkan hak singgasananya itu atas nama ‘hijrah’.
Melintasi daratan, melanglang lautan, hingga tertambat di desa ini, yang entah sebelah mana
kerajaannya, tidak pernah disandang, namun para murid seniornya tahu kalau beliau bergelar
‘Gusti’ yang sama dengan ‘Raden’ kalau di kerajaan jawa.
Ada surat keterangan asli silsilahnya, yang dibuat oleh penguasa kerajaan saat itu,
kabarnya sekian puluh tahun dicari-cari keberadaan putra mahkota yang ‘hilang’ ini,
sebelum akhirnya ‘kapanggih’ di desa ini, tidak sengaja ketemunya, soalnya Habib tidak mau
ngontak kesana, cuek saja, Raden tahu kisah ini dari sang mertua, sekalian sang mertua
memperlihatkan kopi surat silsilah itu….
Masjid-masjid mulai ‘bangun’ menjelang subuh, Habib menatap syahdu muridnya,
“Mari, kamu harus berbai’at Talqin.” ujarnya.
“Bai’at apa itu bib..?”
“Bai’at penutup, dengan itu maka saya melepaskanmu atas nama-Nya,
Ibarat sumpah wisudawan “ Habib tersenyum
Raden manggut-manggut paham.
Lalu bai’at talqin pun dilaksanakan, tiga gemuruh Guntur mengiringi bai’at ini, diawal, ditengah
dan diujungnya, kebetulan atau bukan, demikian adanya.
Usai itu Habib menyerahkan bungkusan yang sedari awal ada disebelahnya.
“Ini untukmu, bukalah..” ujarnya.
Raden menerima dan membukanya, ternyata sepotong pakaian dan sehelai sarung,
jelas bukan baru karena tampak sudah agak lusuh namun bersih, kelihatannya perkakas tua.
“Dulu, baju dan sarung itu menemani perjalanan ruhani saya, usianya jelas lebih tua dari usiamu, terimalah sebagai tanda ijazah…..sekalian ini….” Habib menyerahkan sebuah buku kecil
bersampul coklat, “Ini adalah petunjuk tata cara bai’at, kelak jika ada manusia yang butuh
kebenaran datang kepadamu, bai’at saja, jangan takut dan jangan ragu, kalau ada yang
meragukanmu, ajak dia bersumpah dibawah Qur’an, apa yang kamu pegang ini adalah
kebenaran, nash nya (Sanad- nya) jelas hingga ke Rosululloh Muhammad SAW,
melalui Syekh………, bukan ilmu tanpa dasar.”
Raden menghela napas lalu mengangguk-angguk takzim.
“Jangan sengaja dicari, yang ada hak akan datang dengan sendirinya, kamu tidak perlu
memberi  tahu orang-orang tentang ini, pasang pengumuman atau semacamnya,
jangan,…. zholim itu. Ini tataran hakikat, melampaui syariat, bagian ilmu mu ini menembus
batas peribadatan, bagianmu adalah jalan kesempurnaan, jalan menuju Al-Insanul Kamil,
bukan bahasan pahala, dosa, surga, dan neraka. Maka memang bukan untuk semua,
hanya bagi mereka yang diberi hak oleh-Nya,…paham…?”
“Iya, bib..”
“Jangan tinggalkan syariat, melampaui batas syariat bukan bermakna meninggalkannya,
kerjakan syariat dengan hakikatnya, islam adalah utuh meliputi lahir dan batin.
Udkhuluu fis silmi kaaffah, jangan setengah-setengah, kafah yang sesungguhnya
bukan sekedar mengenai hukum zohir  dan tata caranya saja.”
Raden kembali mengangguk-angguk.

Yaa ayyuhal ladziina aamanuud khuluu fis silmi kaffah wa laaa tattabi’uu
Khuthuwaatisy syaythoon innahuu akum ‘aduwwum mubiin.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagimu. (QS. Al Baqoroh :208)

“Ooo iya, satu lagi…hampir kelupaan…” Habib tersenyum.
“dengungmu itu adalah Sirr as Sirr, Rahasia dari Rahasia, suatu martabat dzikir
sangat rahasia, hanya Alloh dan rasa sejati diri hamba-Nya yang terlibat disana.
hamba-Nya yang diberi karunia atas ini oleh-Nya.
Rasa sejati diri adalah ruhnya ruh, inti sejati diri manusia, bahkan Jibril AS tidak berhak
menembus tabir ini.”
Raden lanjut mengangguk-angguk.
Diriwayatkan ketika Nabi Muhammad SAW bersama malaikat Jibril AS mi’roj,
Jibril tidak diizinkan naik melebihi langit ke tujuh, ia berkata :
“Sampai di batas ini saja aku menemanimu, wahai Muhammad, jika bergerak selangkah lagi
aku akan hangus.” Kemudian Nabi melanjutkan perjalanannya seorang diri.
Demikianlah,…..hingga kemudian Raden mohon diri, usai mereka menunaikan sholat subuh
berjama’ah di ruangan itu, saat melangkahkan kaki meninggalkan rumah Habib,
segumpal guruh bergemuruh syahdu, lalu satu lagi menggema saat tibanya dia di rumah.
Wa yusabbihuur Ro’du bi hamdihi  demikian nyata,
mengiringi  dengung  Unaning ning anung nan suci ini…

Tiga bulan berselang, Habib berpulang ke Rahmatulloh, tidak sakit menerus,
beliau sembuh selepas malam itu, hingga tiga harian menjelang ajalnya.
Di penghujung waktu Habib kembali sakit serupa lalu, diiringi khusyuk melantunkan Asma-Nya,
“Alloh,….Alloh,…Alloh….” Beliau pun wafat dengan tenang,
Senyum terlihat pada garis bibirnya. Selamat jalan Syaikhuna…….


GURU SEJATI         SANG KYAI         CAHAYA SEJATI          WALI PAIDI 

diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id
Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

16. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ngawulang Umat”~2.

Tidak lama setelah itu Raden Mas akoe mohon diri, sekali lagi Ajengan sanusi mengulang
pesannya tadi, sekalian membenarkan arah pulang Raden yang hendak menyusur rute
datangnya semula, “Jangan lewat sana, jembatannya sudah rapuh, lewat sini saja..lebih gampang
dan lebih dekat.” Ujarnya disambung member arahan yang dianggap perlu.
Dan benar, jauh lebih gampang lewat sini, sebentar saja sudah ketemu jalan raya, harusnya ya
lewat sini tadi, ngapain lewat sana ? Raden meringis sadar dirinya dikerjain Mang Ihin,
dan nyengir lagi saat jumpa pertigaan tempatnya tadi membelok membelah persawahan,
hingga harus melintasi ‘titian rambut dibelah tujuh’ untuk sampai ketempat Ajengan Sanusi.
Jarak dari situ ke titik temu jalan raya tadi tidak jauh.

Sesaat lewat, hujan merintik turun..dari tadi memang sudah mendung, tidak deras sih
gerimis sedang aja, hujan seperti ini biasanya merata dan lama, kagok tembus hujan-hujanan,
sadar kalau jas hujan ketinggalan, tadinya tidak menyangka bakal sampai ke Ajengan Sanusi.
Saat memasuki batas kota, Guuur…! Guruh bergemuruh syahdu, Raden tersenyum kuyup.
Wa Yusabbihuur Ro’du bi hamdihi, nyata terasa olehnya.
“Alloh,… Maha Jalal Engkau….” Desahnya sambil mengusap wajahnya yang terbasuh percikan
Malaikat Mikail itu, memang berkala harus diusap begitu, macam wiper kaca depan mobil,
namanya juga nunggang vespa hujan-hujanan, tadinya mau langsung singgah ke Habib,
tapi…karena sudah kuyup,..besok saja lah, kasihan Habib kalau diganggu istirahatnya….
Namun tidak perlu sampai besok ternyata,..malam ini juga menjelang tengah malam,..
Raden merasa dipanggil batin oleh gurunya, karena ini adalah kejadian pertama,
Maka perlu sampai tiga kali “SMS” itu berkumandang, bukan tidak percaya, tapi Habib
memang telah memberi tahu caranya mengecek ‘Khotir’, siapa tahu cuma bersitan hati,
namun setelah di cek, asli ternyata,..ini benar-benar panggilan batin dari sang guru.
Maka Raden pun segera bersiap diri…
“Mau kemana lagi mas ?” Tanya sang isteri.
“Dipanggil Habib….”
“Malam-malam gini..?”
“He-eh,..kenapa,..mau ikut..?”
Sang isteri memandang suaminya, “Beneran nih…?”
Raden mengangguk.
“Oh ya sudah, nggak apa-apa sih kalau ke Habib…”
“He..he..”
Jalan kaki saja ke rumah Habib, sejuk hawanya sekarang, hujan gerimis tadi sudah mereda,
di depan rumah Habib terlihat Mang Ihin sibuk menstater motor, ngadat tampaknya,
dipancal-pancal segan nyambar api busi ke bensinnya, maklum minim perawatan.
“Ngapain mang ? sapa Raden
Mang Ihin menoleh agak kaget, “Panjang umur kamu, mau dijemput kesana malah datang
sendiri kesini…”
Raden nyengir, “Mamang mau ke tempat saya ?”
Mang Ihin mengangguk, “Disuruh Habib nyulik kamu, perintahnya paksa..kalau tidak mau..he..he..”
Raden ikut terkekeh, “Habib sudah sembuh ?”
“Lumayan,..tadi habis isya sudah bisa ngobrol sama tamu sebentar.”
“Alhamdulillah, saya masuk ya..?”
“Mangga, sudah ditunggu diruang biasa,.ee..ee ..sebentar,..sebentar….,
tadi ketemu jembatannya nggak…..?”
“Banyak,..”
“Gimana tuh…?” Mang Ihin nyengir.
“Tunggu pembalasanku,” sahut Raden sambil melangkah masuk.
Sang kuncen tertawa senang.

Di dalam ruangan itu, Raden terkesima melihat penampilan Habib yang berjubah
dan bersurban putih, selama ini dia belum pernah melihat Habib berpenampilan demikian.
Paling banter semodel ‘Pak Haji’ yang berkupluk atau berpeci saja.
Duduk bersila ditempatnya, sang guru terlihat berwibawa sekali, tidak tampak kalau beliau
sedang sakit, agak disebelah sana..buhur telah mengharum dalam tungku baranya.
“Duduklah…” ujar beliau usai beruluk salam.
Raden pun duduk bersila dihadapan guru hakikatnya itu.
Sesaat hening, belum ada pembicaraan, Habib mesam mesem saja melihat muridnya,
bahagia sekali kelihatannya, hingga kemudian, “Apa pesan Ajengan Sanusi ?” Tanya beliau.
“Abah titip salam buat Habib, semoga lekas sembuh,” jawab Raden.
“Terima kasih, he..he..yang lain..?”
Yang lain… ? apa ya… ? Raden mengingat ingat, lalu dia memandang  gurunya.
“Ada yang lain kan…?”
“Eeem, katanya saya tos tiasa ngawulang, sekalian abah nitipkeun dunya…”
Habib menghela napas lalu mengangguk-angguk, hening sejenak..,sampai beliau bertanya,
“Kamu sudah periksa makna ayat Cahaya ?”
Raden agak terkejut, pantesan perasaan dari kemarin ada yang ‘manggil-manggil’ minta dilihat,
tapi apa ya..? ternyata ayat Cahaya, An Nur 35 itu….
“Sudah diperiksa ?”
“Belum Bib..”
“Nah kalau gitu sekarang saja,” beliau meraih buku tebal disebelahnya, lalu membuka halaman
yang sudah ditandai, “Bacalah….”
Raden menerima kitab itu, bukan Al Qur’an, sebuah kitab tafsir karangan seorang ulama ternama,
namun telah wafat, disitu beliau menafsirkan ayat Cahaya dalam sebuah uraian panjang
yang kelihatannya dibahas khusus karena halamannya beda sendiri, pinggir kertasnya diberi
corak hiasan macam ukiran, tintanya pun hijau bukan hitam sebagaimana lazimnya.
Lalu dia pun membacanya dalam hati, mulai dari terjemahan ayat tersebut :
Alloh Cahaya langit dan bumi, perumpamaan Cahaya Alloh adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
yang seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak ditimur dan tidak pula dibarat,
minyaknya hamper-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya diatas Cahaya, Alloh membimbing kepada Cahaya-Nya siapa yang DIA kehendaki,
dan Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,
dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.
Usai membaca ini, Raden tersenyum, sambil melintas tadi sekalian langsung maknanya
mengiring masuk, jelas sekali terpampang, demi kebenaran tidak ada dusta disini.

Namun dia ganti terkesiap saat menelaah uraian tafsir atas ayat Cahaya yang ada dikitab ini,
kok begitu ? dikatakan bahwa yang dimaksud “Alloh Cahaya langit dan bumi
adalah adanya matahari, beliau berpegang pada kalimat ayatnya, yang kalau diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia sesuai kaidah yang baik dan benar, maka mestinya (diharapkan)
berbunyi “Alloh (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, ada sisipan kata ‘pemberi’
dan ‘kepada’ disitu, jadilah huruf ‘C’ nya Cahaya ditulis menjadi huruf kecil karena sekedar
dipandang cahaya matahari, waduh…padahal telah nyata bahwa Alloh lah Cahaya langit dan
bumi, apakah kurang jelas yang sedemikian terangnya ?
Bukankah didekat penghujung ayat ini tercantum kalimat Nuurun alaa Nuurin ?
Bagaimana mengenakan martabat “Cahaya diatas Cahaya” bagi sekedar cahaya matahari ?
Lalu Raden mendelik saat menelaah uraian selanjutnya, ‘Perumpamaan Cahaya Alloh
adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang didalamnya ada pelita besar,
pelita itu didalam kaca yang seakan-akan bintang seperti mutiara….
tafsirannya itu adalah isyarat dari adanya  cahaya yang dihasilkan dari aliran listrik, yang kalau
dimasukkan kedalam ruang hampa, maka ia akan menghasilkan cahaya yang terlihat
bagaikan bintang gemerlap layaknya mutiara.
Wuih….
Tiba pada tafsir kalimat, ‘…yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya
 pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak juga di barat..
Raden Mas Akoe tambah mendelik, soalnya dikatakan bahwa itu menunjukkan adanya cahaya
yang dihasilkan dari minyak bumi, yang banyak terdapat ditanah yang banyak ditumbuhi
pohon zaitun, dari ujung timur sampai ujung barat, jadi tanah yang banyak pohon zaitunnya
adalah Negara-negara Timur Tengah, busyet….sama persis dengan akal-akalan si’penjahat’
dulu, zaman  sebelum  taslim.
Lanjut,…’yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api
Kabarnya siloka ini menunjukkan adanya cahaya yang ditimbulkan dari gas bumi, yang tidak
memerlukan api untuk menyalakannya.
“Allohu Akbar..” Raden mendesah, “Api-Mu seperti korek api saja….”
Habib tersenyum, tapi belum berkomentar.
Raden Mas Akoe membalik halaman mencari terusannya, ternyata tidak ada..habis begitu aja.
Yang ‘Nuurun alaa Nuurin’ dan seterusnya tidak ditafsirkan, entah mengapa..
mungkin kalau ini ‘berhasil’ ditafsirkan,…bubar semua yang tadi.
Hening sejenak, Raden menutup kitab lalu memandangi ‘hard cover’ nya yang berhias indah itu
sambil menggeleng-geleng.
Habib lanjut tersenyum, “Jangan merasa tinggi, jangan pula merasa rendah, dihadapan makhluk,
manusia adalah yang paling mulia, sama martabat kesucian azalinya.” Beliau mendesah pelan.
Raden Mas Akoe memandang gurunya lalu mengangguk-angguk, terucap kepada Kiayi Haji
yang menulis kitab tafsir itu lewat hati.
Sesaat senyum Habib kembali mengembang, seakan tahu apa yang diucapkan hati muridnya
barusan, atau entahlah karena alasan apa.
“Apa yang disampaikan beliau dalam kitabnya, tetap punya nilai kebenaran, sebab segala
yang diniatkan untuk ‘Taqorub ilalloh’ adalah benar, hanya seberapa tinggi nilai kebenarannya
tergantung derajat kedekatannya kepada Sang Maha Benar, Alloh memandang hati, maka manusia
adalah Hum darojaatun ‘indalloh pada martabat manusiawinya,
bertingkat-tingkat….” Beliau lanjut berujar.
Raden Mas Akoe menghela napas
Hum darojaatun ‘indalloh, walloohu bashiirun bimaa ya’maluun,
Kedudukan mereka bertingkat-tingkat disisi Alloh, dan Alloh Maha Melihat apa
yang mereka kerjakan (QS. Ali Imron : 163)

Mohon  di simak baik-baik

“Baiklah, sekarang apa menurutmu ‘Lubang yang tak tembus’ itu ?”
Habib bertanya sekaligus menguji.
Sejati Hati, Qolbu..” jawab Raden tanpa ragu.
Habib tersenyum, “Apakah ‘Pelita besar’ itu ?”
Sejati Diri, Ruh…
“Apakah ‘Kaca yang seakan gemerlap bintang’…?”
Rasa Sejati Diri, Rasa Ruh..
“Apakah ‘Pohon zaitun yang tidak di timur dan tidak di barat’..?”
Iman Tauhid, Setunggalnya Tunggal…
“Apakah ‘Minyak yang terang walau tidak disentuh api…?”
Keagungan-Nya…” Raden tersenyum, melihat ini Habib Atho’ pun ikutan, sama-sama
tahu rasanya “Maha Minyak” tersebut.
“Apakah ‘Nuurun alaa Nuurin’….?”
Huwa,…Anta,…Ana….” Raden meringis manis, entah mengapa Habib Atho’ ikutan pula,
padahal terjemahannya ‘sekedar’ Dia,…Engkau,..Aku…
“Terakhir, apakah ‘Perumpamaan’ itu…?”
Senda gurau-NyaWamal hayaatud Dunyaa illaa la’ibuw wa lahwu,
Wa laddaarul aakhirotu khoyrul lil ladziina yattaquun, afalaa ta’qiluun.
Tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan sekedar senda gurau belaka, sesungguhnya
kampung akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, tidakkah kamu berpikir ?
Surat Al-An’aam ayat tiga dua” Raden kembali tersenyum.
Habib juga.
“Alhamdulillah, maka benarlah apa yang dituduhkan Ajengan Sanusi kepadamu, pada hakikaynya
kamu sudah tiasa ngawulang sekalian nanggung Dunya, jika dikehendaki-Nya.”
Beliau menatap sang murid, lalu beranjak memeluknya.
Mereka pun saling berpelukan erat.
Sesaat kemudian…
“Sebelumnya, adakah yang hendak kamu tanyakan ?” ujar Habib usai mereka berpelukan.
Raden Mas Akoe mengangguk, “Apakah dengungan ini ?”
Habib tersenyum, “Tadi sudah kamu jawab, apakah kaca yang seakan gemerlap bintang ?”
“Rasa Sejati Diri ?”
“Iya Nurani, dibatas pengertian, nurani adalah rasa sejati diri, ketahuilah ada tiga tingkatan rasa,
yang  terluar adalah rasa jasadi, lalu rasa ruhani, masuk kedalam lagi jumpa rasa ruhani.
Panas  atau  dingin adalah contoh rasa jasadi, kalau rasa ruhani misalnya sedih atau gembira,
rasa nurani wujudnya seperti dengungan itu, bagaimanakah rasanya..?”
“Hmmm gimana ya..? berdengung saja begitu, hening dan agung….”
“He..he..rasa jasadi aja tidak bisa digambarkan, apalagi ini, namun benar katamu, dibatas kata
rasa nurani ya seperti itu, kalau kata para wali tanah jawa, apa yang kamu rasakan secara
nurani ini disebut Rasaning Alloh

Bersambung…. 
diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

15. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ngawulang Umat”~1.

Beberapa minggu setelah pertemuan dirumah Pak Haji ‘abidin’ Mukhyar, Raden Mas
Akoe kembali mendapat pengalaman spiritual “Hebring”.
Saat itu malam belum begitu larut, dia sedang duduk sendirian di beranda depan,
mulanya sih ditemani sang isteri, tapi kemudian isteri tercinta undur diri, mau bobo
duluan katanya, cape mungkin karena tadi siang menghadiri syukuran wisuda anak
tetangga, yang saat ini ada bergelar A.Md , Ahli Madya,..bukan ABRI masuk Desa.

Saat Raden Mas Akoe sedang melarut bersama dzikir Cahaya, yang dengan itu
berarti bareng juga dengan dzikir Qolbi dan Kullu Jasad, tiba-tiba tak terbatas tasbih
yang menggema dari segala maujud itu lenyap,…ya lenyap seketika berganti jadi
hanya satu, ‘bunyinya’ sama namun tunggal.
Dipendengaran hati Raden muncul semacam dengungan panjang tak terputus,
kalau diambil hakikat rasanya, maka dengung ini berbunyi, “Alloooooh….”
Dan bukan hanya itu, di penglihatan hati pun demikian, segala maujud itu kini
bermakna tunggal, Alloh, …tidak ada tanah, tidak ada pohon, tidak ada derik jangkrik,
tidak ada semuanya, yang ada hanyalah DIA, meliputi segalanya,
Qul huwalloohu ahad, katakanlah Alloh itu Tunggal.
Tentu Raden tersentak karena ini, sampai-sampai pegangan kursi kayu jati
yang didudukinya copot gara-gara terhentak keras oleh dorongan tangannya.
Dua-duanya lepas, kiri dan kanan, bukan cuma itu kursinya pun gemerutuk
karena yang mendudukinya gemetar, untung sendirian dia mala mini, tidak ada orang
lain yang melihat gempa lokal itu, dan juga tidak berlangsung lama,
karena Raden bisa segera mengendalikan diri.
Usai melantunkan do’a khusus, getaran pun mereda, namun dengungnya tetap ada,
yang didengar, yang dilihat dan yang dirasa, tetaplah tunggal, bukan berarti
pohonnya lenyap, derik jangkriknya senyap pun yang lainnya tidak kelihatan
atau terdengar, bukan begitu,..secara harfiah, secara lahiriah,..mereka tetap ada.
Makna keberadaannya yang ‘tiada’, adanya Alloh Yang Maha Tunggal.
Demikian yang masih bisa disampaikan sebatas kata-kata, yang sebenarnya tidaklah
bisa digambarkan utuh, bahasa manusia tidak akan sanggup melukiskannya,
ini melampaui batas semesta, sesaat tadi semesta raya tidaklah lebih dari sebutir
debu dalam penglihatan rasa yang diizinkan oleh-Nya untuk Raden Mas Akoe.
Alloh memaparkan pandangan mata hati ini sedemikia rupa, sesuai firman-Nya :
Maa kadzabal fu’aadu maa ro’aa (QS. An Najm :11) Hatinya tidak
mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Namun dimanakah kini tasbih tak terhingga ? maka jlep….seketika setelah Raden
bertanya dalam hati, serasa dirinya dibawa turun dari ‘suatu ketinggian’, turun satu
tingkat, dan disini kembali bergaung tasbih tak terhingga itu, riuh rendah sebagaimana
biasanya, “Alloh,…Alloh,..Aloh…” dimana-mana, maka Raden pun tersenyum pasrah.
“Allohu Akbar” desahnya syahdu, dimanakah wahai tasbih qolbu ? jlep…turun lagi
satu tingkat, disitu qolbunya berdenyut nyata, melantunkan asma-Nya, air mata pun
merembes tanpa diminta, lalu dia memohon kembali ke semula, sret…, seketika
semuanya kembali manunggal, maka air mata yang menitik itu dipersilahkan bertasbih
mengagungkan-Nya, melebur bersama Cahaya, waktu tidaklah lagi ada, maksudnya
tidak terasa, sungguh tidak terasa, ketika demikian, tidak ada memandang tidak pula
dipandang,..pun tiada pandang memandang, siapa memandang siapa..?
yang ada hanyalah DIA, Cahaya dan hanya Cahaya, maka,….saat mertua menyapa
kala subuh menjelang, serasa Raden ‘terjun bebas’ dari suatu ‘ketinggian tak terkira’
hingga mentok ke martabat manusiawinya, juuus…slep ! kaget sekejap, lalu tersenyum.
Soalnya ternyata pada martabat ini, dengung tunggal itu hilang, walau lainnya telah
kembali normal, senormal yang mungkin  disangka kebanyakan orang, yang pada
segalanya ini seolah tiada tapak Sang Dia…….
“Lagi apa kamu ?” Tanya sang mertua, seperti biasa beliau telah berseragam lengkap
hendak subuhan, “Diluar semalaman…?”
“Iya, pak “ jawab sang menantu sambil nyengir sedikit.
“Ngapain ?”
“Meresapi Keagungan-Nya…”
Sang mertua memandang menantunya, lalu mengangguk-angguk pelan,
“Mau subuhan di mesjid ?” beliau lanjut bertanya.
Raden mengangguk.
“Ayo, bapak tunggu.”
Sang menantu pun segera bersiap diri, sebentar kemudian mereka telah berjalan
bersama menuju mesjid, seiring adzan mengalun…..
saat mereka kembali ba’da subuh, Raden bertanya
“Pak tahu nggak rasanya Keagungan Alloh..?”
“Alloh ya Maha Agung, apa yang kamu tanyakan..?”
“Rasanya…..”
Sang merua pun tersentak, dia memandang lekat menantu disebelahnya.
“Kenapa,..kamu tahu rasanya…?”
“Justru saya mau Tanya ke bapak..” Raden mengoper kembali bolanya.
Sang mertua pun terdiam agak lama,
“Kan kamu tahu kalau rasa itu tidak bisa diucapkan ? susah ini….”
Raden Mas Akoe manggut-manggut, berarti….tapi Wa ilalloohi turja’ul umuur
Kepada Alloh lah dikembalikan segala urusan (QS. Ali Imron : 109),
Maka sang menantu mengalihkan obrolan ke topik lain, bla…bla…akhirnya
nyambung  ke kisah masa lalu Habib Atho’
“Usia Habib yang sebenarnya berapa sih pak ?”
“Nggak ada yang tahu,..habib sendiri tidak mau kasih tahu, yang jelas sepuh banget
beliau itu, saat pertama jumpa dulu, zaman para sinyo dan noni belanda masih
berkeliaran disini, kira-kira Habib ada empat puluhan, bapak sendiri waktu itu
sekitar enam belasan tujuh belas tahunlah…”
“Lho bapak sekarang ini berapa umurnya ?”
Sang mertua menyebutkan usianya yang telah menjelang delapan puluh tahun itu,
kira-kita tujuh puluh delapan tahunan, terpaksa kira-kira karena beliau tidak tahu
persis tanggal dan tahun kelahirannya, katanya orang zaman dulu males nyatet beginian,
kalau bikinnya sih rajin, walau zaman susah, tapi tidak rajin mencatatnya,
soalnya anak-anak itu dibutuhkan mendesak untuk penerus perjuangan bangsa,
urusan administrasi mah gampang, nanti saja diberesin kalau sudah merdeka…
Raden mesem, sekilas teringat mbah kaspo, kayaknya beliau berdua rajin bikin,
namanya juga pejuang, tapi ternyata yang jadi cuma satu, memang sepenuhnya
hak Alloh, bikin membikin itu hanya ceritanya saja, keputusan mutlak berada
di tangan-Nya.
“Jadi umur Habib Atho’ sekarang ini lebih dari seratus tahun dong pak..?”
“Iya bapak yakin sekali itu.”
“Tapi kok…kayaknya…..”
Sang mertua gantian mesem, “Kenapa,…awet muda ya…?”
Raden mengangguk sambil nyengir, memang ini yang hendak ditanyakan,
cuma nggak sama mertua, soalnya kalau dilihat sekarang, kayaknya Habib dan
sang mertua sepantaran.
“Itulah hemat menuanya beliau, pelan mengeriputnya, jadi nya kesusul sama kita-kita,
lihat Mang Ihin, boros sekali kan ?”
raden mengangguk masih nyengir.
“Padahal enam puluh juga belum dia, waktu Habib awal-awal tiba disini, Ihin masih
diayun-ayun pake kemben yang digantungkan dipohon nangka dibelakang rumah
Habib oleh emaknya, masih suka ngompol, kalau nangis, ngejeritnya nggak kira-kira,
sekarang kelihatannya mudaan bapak, iya nggak..?”
“Iya pak.” Jawab menantunya, memang iya sih.
“Nah itulah.”sang mertua rada mekar juga disanjung menantu kesayangan.
“Kayaknya sakit Habib belakangan ini sakit sepuh ya pak..?”
“Kelihatannya begitu, dari dulu Habib jarang sakit, paling cuma masuk angin
atau flu-flu ringan, nggak pernah aneh-aneh, belakangan ini saja agak lamaan,
tapi kata dokter juga cuma demam biasa.”
Raden Mas Akoe manggut-manggut.
Maka siangnya sekitar pukul setengah sepuluh, dia bertandang lagi kerumah Habib,
setiap dua hari sekali, semenjak beliau sakit, Raden memang selalu menjenguk gurunya.
Yang kali ini kalau memungkinkan, hendak sekaliaan mutholaah atas apa yang dia
alami tadi malam.
Ternyata Habib masih sakit, terlihat banyak penjenguk disitu, tertahan diluar karena
dilarang semuanya masuk kamar oleh mang ihin, demi kesehatan Habib,
cukup diwakili saja, para penjenguk yang kebanyakan murid itu tentu maklum adanya.
Semua tahu kalau mang ihin adalah ‘kuncen’ disini, sejak balita dia sudah bercokol
disini karena ibunya salah seorang tukang masak keluarga Habib.
“Masuk….” Ujar ihin kepada Raden Mas Akoe.
“Saya boleh mang ?” Tanya Raden, soalnya tidak sedikit murid tua-tua yang ditahan
mang ihin, kalau keamanatan tugas penjagaan seperti ini, mang ihin memang layaknya PM,
tegas, tidak pandang bulu, bulu tua bulu muda, dibabat sama rata.
Ihin mengangguk, “Habib pesan begitu subuh tadi.”
Raden manggut-manggut, lalu bergegas masuk, daripada izinnya keburu dianulir
oleh sang PM, mungkin saja itu, namanya juga Mang Ihin tea.
“Assalamu’alaykum.” Sapanya kepada sang guru.
“Wa’alaykum salam.” Sahut Habib pelan.
Usai mencium tangan sang guru dan merapikan selimutnya, Raden duduk di kursi
samping tempat tidur Habib, terlihat beliau tersenyum…
“Pergilah ketempat Ajengan Sanusi, bicarakan dengannya, apa yang mau kamu
bicarakan, sampaikan salam saya buatnya.” Ujar sang guru.
“Baik, Bib.” Jawab Raden takzim.
Usai beruluk salam, Raden segera keluar kamar, langsung mencari Mang Ihin
untuk bertanya alamat Ajengan Sanusi.
“Untuk apa..?” Tanya ihin.
“Saya diminta Habib untuk ketemu beliau.”
Mang Ihin mengangguk-angguk, dia mengambil selembar kertas lalu menggambarkan
peta alamat Ajengan Sanusi.
Lumayan jauh disebuah kampong perbatasan, tidak ada nomornya,
tidak ada telponnya, adanya cuma cirri-ciri, untung Raden tahu wajah Ajengan Sanusi,
sempat sekali berjumpa beliau disini, sekali itu saja, tapi hafal,..penampilannya
yang tenang dan berwibawa membuatnya mudah diingat, beliau sangat jarang
tampak disini, kata mang ihin kalau mutholaah, Ajengan Sanusi selalu menjelang
tengah malam, sendirian dan tidak pakai callingan dulu, tahu-tahu nongol saja,
untung mang ihin paham siapa beliau, jadinya segan juga.
Beres itu langsung cabut, kebetulan datangnya tadi naik vespa, jadi tidak usah balik
dulu kerumah, namun busyet….lain peta lain fakta, aslinya jauh ‘lebih indah’
dibanding gambarnya mang ihin, payah juga mamang satu ini, petanya tidak pakai
skala, yang garis pendek,..tahu-tahu jauh, giliran disangka jauh, nyatanya Cuma
sejengkal, jembatan yang dia sebut-sebut sebagai patokan itu, ternyata hanya jembatan
bambu yang mesti dilintasi pelan-pelan, vespanya dituntun, tidak bisa dinaiki,
meleng sedikit, plung…seperti melintasi ‘titian serambut dibelah tujuh’saja.
Tadi mang ihin promosi jembatannya mantap berbunga-bunga, jadilah Raden
membayangkan serupa Jembatan Merah di Surabaya sana, tahunya cuma model pring
mana bambunya sudah pada tua, melenyot rengkah-rengkah….
Tapi berhasil juga dilintasi, Alhamdulillah berarti ni sudah masuk kampungnya
Ajengan Sanusi, sungai tadi adalah perbatasannya dengan kampung tetangga,
selanjutnya tinggal tanya-tanya ke warga disini.
Adzan zuhur sayup-sayup berkumandang, Raden mencari arah datangnya
‘panggilan Alloh’ itu, dapat..sebuah surau kecil tepi persawahan, maka dia ikut
berjamaah disitu, masbuk ketinggalan dua raka’at karena tadi ambil wudhu dulu,
sebagaimana lazim, tidak banyak pesertanya, hanya berlima saja, termasuk sang imam.
Usai dia menuntaskan sholatnya, tinggal berdua disitu, Raden dan sang imam
yang sesaat masih tafakur ditempatnya, tiga peserta lain telah kembali bertebaran
di muka bumi, sebagaimana perintah Alloh setelah menunaikan kewajiban, lalu kagetlah
Raden saat tahu bahwa sang imam ternyata Ajengan Sanusi sendiri.
“Assalamu’alaykum” cepat-cepat dia menyapa.
“Wa’alaykum salam” sahut sang ajengan.
Karena tangannya sudah keburu dipegang Raden, maka beliau membiarkan mantan
makmum ini menciumnya, soalnya Ajengan Sanusi bukan penggemar gaya tarik cepat,
ada sebagian orang kalau salaman suka bikin kaget, tangannya buru-buru ditarik
pulang begitu nempel sedikit, kadang-kadang bahkan belum sempat nyenggol
sudah dibetot, macam khawatir ketularan bakteri mematikan saja, entah aliran apa itu,
tapi terserahlah….
“Benarkah abah Ajengan Sanusi..?” Tanya Raden usai bersalaman.
Sang Ajengan tersenyum ramah, lalu mengangguk kecil.
Raden Mas akoe balas tersenyum, “Saya Raden, murid Habib Atho’”
Ajengan Sanusi tersenyum, “Ada keperluan apa, anaking ?”
“Saya diminta Habib kesini, bertemu dengan abah ada hal yang hendak saya mutholaahkan
dengan abah.”
Ajengan Sanusi manggut-manggut, lalu mengajak Raden kerumahnya yang ternyata
rumah semi permanen persis disebelah surau ini.
Wah kacau petanya mang ihin, mushola dan sawahnya ini tidak digambarkan,
cuma jembatan pring tadi saja yang gencar disebut, untung ketemu, memang sudah
ada yang ngatur sih.
Dirumah Ajengan Sanusi, Raden dan murid senior Habib ini pun mulai berdiskusi ilmu,
nyaman berbincang denga beliau yang sudah sampai ilmunya ini, saat mereka membahas
dzikir Qolbi dan kejadian-kejadianya, nyambung semua, apa yang dikata Raden,
dibenarkan haqul yaqin oleh Ajengan Sanusi, ketika di Kullu Jasadin pun demikian…
Wa yusabbihuur ro’d bi hamdih, kan..?” ujar beliau.
Raden tersenyum cerah, “Betul bah, benar sekali…”
Apa yang diucap Ajengan Sanusi itu adalah firman Alloh, tercantum dalam surat
Ar-Ro’d ayat 13,  Dan guruh pun bertasbih memuji-Nya..” Maha Benar, Raden telah
haqul yaqin atas ayat suci ini, sebab pada setiap guruh yang menggemuruh di penghujung
musim hujan ini, nyata-nyata dia mendengar hakikat tasbihnya.
Tasbih guruh itu hanya bisa tersadap oleh pendengaran hati, tidak kena kalau sekedar
pasang gendang telinga biasa, disampaikan ini atas nama-Nya, demi kebenaran,
tidak ada dusta disini.
Perbincangan ‘guruh’ ini tersela sejenak oleh kemunculan Nyonya Sanusi membawa
ubi goreng dan kopi, Raden cepat-cepat bangkit lalu menyalami cium tangan kepada
isteri Ajengan Sanusi, usai beliau menaruh hidangan itu diatas meja.
Sudah sepuh juga tentu, diatas enam puluh tahunan, tapi sisa-sisa kecantikan
masih tertera diwajah tua nan ramah ini.
Usai itu, diskusi dilanjutkan beberapa saatm Ajengan Sanusi masih berkisah tentang
tasbih dimana-mana yang luar biasa ini, segalanya adalah lautan tasbih, riuh saling
menyahut, Raden mengimbangi karena mereka sama-sama tahu ‘rasa’nya.
Lalu pelan-pelan Raden mengajak beliau nanjak ke tingkatan selanjutnya, pelan-pelan
juga Ajengan Sanusi mulai banyak termangu, Raden melihat gaya ini, tapi belum sadar,
disangkanya sang Ajengan sekadar terpesona karena tahu ‘ada teman’ dalam memahami
Keagungan Alloh, asyik memang kalau punya teman, soalnya terus terang tidak banyak
yang paham ‘rasa’nya ini, mau cerita…nggak nyambung,..salah-salah malah dianggap
ngibul, masih bagus kalau cuma segitu, lha kalau dibilang kafir, kan sedih,….
Tapi peringatannya memang sudah diberi, ‘Man lam yadzud lam yadri,
yang tidak merasakan, tidak tahu.
“Jadi apa sebenarnya dengungan ini bah ?” Tanya Raden wajahnya terlihat antusias,
sebab dia kesini memang hendak diskusi tingkatan ini, Maqom Qolbu dan Kullu Jasadin
sudah pernah dijelaskan oleh Habib dulu.
“Dengungan…?” Ajengan Sanusi bergumam.
“Iya, dengungan yang tidak putus ini, nyata kan bah..?”
Raden nyengir, disangkanya Ajengan Sanusi sekadar belum paham yang dia maksud
‘dengungkan’, soalnya ini memang istilah Raden,..belum sempat dapat ‘penjelasan
resmi’ dari Habib dan Ajengan Sanusi.
“Dengung apa..?” Ajengan Sanusi kembali bergumam pelan.
Raden tersentak, dengung apa ? bukankah demikian jelasnya ? maka dia memandang
‘tidak percaya’ ke Ajengan sepuh itu, bercanda kali abah…..
“Dengung seperti apa nak.?” Beliau bertanya lagi.
Kening Raden semakin berkerut, “Dengung…yang ini bah,..yang begini nyata ini..
apa abah tidak merasakannya ?” dia balik bertanya.
Ajengan Sanusi menghela napas, “Apakah ngeeeng..begitu ?”
“Kalau katakanlah dibunyikan,.. iya,..tapi aslinya tidak ada bunyi ngeeng itu,
ehmm…seperti tasbih guruh tadi bah,..tapi yang ini meliput segalanya, lautan tasbih
digulung jadi satu,.. bahkan diri saya,..tida ada saya,..tidak ada abah,..
tidak ada makna segalanya,..kecuali DIA, tunggal,..seakan berdengung tanpa putus.”
Raden pun jadi bingung menjelaskannya, kalau saat membahas tasbih Guntur,
nyaman, dua-duanya paham,..punya ‘rasa’nya, tanpa kata-kata pun,
hanya dengan saling menatap atau bertutur simbolis, mereka sama-sama mampu
menangkap pesan tersirat didalamnya, yang ini macet tampaknya…
Hening menyergap, Ajengan Sanusi menatap Raden Mas Akoe dengan matanya
yang telah keabua-abuan tua, seolah terselip diantara keriput kelopaknya,
lalu sepasang mata sepuh itu berkejap-kejap pelan, terlihat jelas bening air mata
berkumpul disitu, “Anakku, sudah berapa lamakah kamu dibimbing Habib..?”
Beliau bertanya pelan, hampir tidak terdengar desahannya.
Raden Mas Akoe menjawab pertanyaan itu apa adanya.
Ajengan Sanusi terpana, “Subhanalloh, alangkah cepatnya,..Qod aflaha man
dzakkaahaa, beruntung kamu anakku, Aloh telah melimpahkan karunia-Nya
kepadamu secepat ini, abah lebih dari tiga puluh lima tahun bermujahadah,
belum diberi hak mukasyafah sepeti yang nyata diberitakan kepadamu,
bagi abah Maa indakum yanfadu wa maa indalloohi baqqi, apa yang ada
disisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Alloh adalah kekal, masih berupa
dalil, bagimu sudah menjadi ilmu.”
Raden Mas Akoe pun terpekur syahdu….
Lalu tanpa sungkan Ajengan Sanusi memeluk yuniornya dengan bercucuran air mata,
Raden Mas balas memeluk, sama bercucuran air mata juga sampai-sampai
Nyonya Sanusi sempat bingung saat mengintip kelakuan suami dan tamu mudanya.
Masalahnya sudah sekian puluh tahun suami tersayang tidak pernah nangis seperti itu,
adanya tersenyum terus…..
Saat ‘bermesraan’, Ajengan Sanusi berbisik kepada Raden Mas, “Anaking, anjeun
tos tiasa ngawulang umat, abah nitipkeun dunya.”
Terus terang Raden Mas akoe tercekat, bagaimana tidak ? bisikan Ajengan sanusi tadi,
kalau dibahasa Indonesia kan, berbunyi “Anakku, kamu sudah bisa membimbing umat,
abah menitipkan dunia.”
Demikianlah hingga kemudian adzan ashar berkumandang dari surau sebelah,
Ajengan Sanusi pun kesana,..tanpa sungkan lagi beliau meminta Raden Mas Akoe
bersedia mengimami.
Tiga peserta lain yang itu-itu juga, sama dengan saat zuhur tadi sempat heran
melihat abah meminta orang asing memimpin, tapi mereka tidak keberatan
karena bahkan abah pun tidak keberatan, pasti mengandung sesuatu orang asing ini,
begitulah kira-kira bunyi dalam benak mereka.

Bersambung …..

 diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

14. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ayat-ayat kauniyah”~3

Mukhyar mendelik, “Maksudnya gimana lagi ini ?”
“Katanya berurutan ? yang paling rumit,..ya urutan pertama..Syahadat tadi,
kalau ini beres, kesananya tinggal ngikutin doang….”
“Alaaaah..jangan berbelit, terus terangnya gimana nih..?” Muhkyar maksa.
Raden Mas Akoe garuk-garuk kepala, “Alloh,..Alloh,..Alloh…” begitu terasa dalam
hakikatnya, maka dia tersenyum simpul karena ini.
“Jangan meledek dong..” Mukhyar protes melihat Raden tersenyum.
“He….he…he…” Raden malah terkekeh, soalnya Mukhyar ‘kedengeran’ bertasbih juga,
apalagi ada sederet kue lapis di keningnya.
“Eee malah ketawa..” haji ‘abidin’ kembali protes.
“Nggak kang,…bukan ngetawain akang,..cuma pengen ketawa aja..”
Mukhyar merengut, soalnya Raden berkata itu sambil terus nyerengeh,
tampilan luarnya sih boleh jadi terkesan meledek.
“Oke,..oke kita teruskan sedikit,..kata akang intinya Sholat apa sih..?”
Mukhyar terdiam berpikir, “Apa…?” dia malah balik bertanya.
“Lho…masak kang Mukhyar nggak tahu…?”
“Alaaah apaan sih ?”
“Ya..Syahadat dong,…katanya tadi berurutan..?”
Mukhyar tercekat lalu terpekur, Amir juga, yang lain sama.
“Mudahnya nih,…dibatas kata-kata..Sholat itu harus dengan Syahadatnya,
bukan Syahadat ucapan saja, harus dengan Haqqul Yaqin nya, tanpa itu
terus terang belum tentu Sholat namanya, ini secara Hakikat lho,
jangan salah terima,..ya ? tanya saja hati masing-masing, sudah benar belum
Sholat saya ? kalau belum, berarti ada yang harus ditata ulang, masih ada
belum beres,…kenapa ? sebab Alloh telah menjanjikan ini,
Inna sholaata tanhaa ‘anil fahsyaa’i wal munkar..hafal kan..?
Haditsnya  juga ada, Laa yaqbalulloohu sholaatan bighoyri thuhuur,
Alloh tidak menerima Sholat tanpa kesucian, nah..kesucian ini lahir dan batin,
bukan Cuma soal tempat dan pakaiannya saja.”
Mukhyar menunduk, Amir menerawang, yang lain bengong….
Raden tersenyum.
“Begitulah kang, kalau Sholatnya sudah benar, yang bermakna Syahadatnya juga benar,
barulah syahdu Puasanya, puasa beneran,…bukan sekedar menahan perut
dan kerongkongan (tenggorokan).
Satu,..dua..tiga..dapat,..lanjut ke empat, yakin beda nuansa bayar Zakat Fitrah
karena bareng ‘rasa’nya, berapa sih ongkos Zakat Fitrah ? maaf ya..?
Mahalan rokok Djie Sam Soe tiga bungkus, nah masak sih cuma sekedar begitu ?
jangan dong,…rugi besar kita..harus bisa sampai melihat ‘rasa’nya Fitrah,
yang menembus sejagat alam,…he…he…he…”
Serentak,…memandang Raden Mas Akoe semuanya, mungkin tertarik oleh
‘rasa’nya menembus sejagat alam tadi, yang dipandang sih mesem saja,
soalnya yang memandang belum sadar kalau mereka pun dipandang.
“Sudah ya…sudah cukup kan…?” Tanya Raden.
“Yang kelima mana…?” amir menimpali.
“Sama jalurnya, setelah satu, dua, tiga, empat, benar…siahkan lanjut ke lima,
bagian dalamnya sudah beres tuh, tinggal bagian luarnya, punya duit nggak ?
sehat nggak ? kalau bagian itu sudah siap, berarti sudah intan, belum berangkatnya
saja sudah intan, baliknya nanti makin mengkilat pasti, digosok di Masjidil Harom
sana, lain kalau dari sininya masih keras batu koral, baliknya dari sana malah tambah
nggak karuan, somplak dimana-mana, lha koral mau coba-coba digosok
di Masjidil Harom, ya runyam…Mesjidil Harom bukannya tempat coba-coba,
sekedar iseng-iseng berhadiah karena merasa punya duit dan butuh gelar haji
atau hajjah demi yang lain-lain selain Alloh,..wah enggak kepake tuh….”
“Jadi Mas Raden belum kesana karena ini..?” Tanya chacha.
Raden Mas Akoe mesem lalu mengangguk, “Hakikatnya semua karena Alloh,
di batas Syariat… iya, soalnya Syahadat saya masih belum pol,…cha…”
“Berarti belum benar juga dong Sholatnya, sama yang lainnya ?”mukhyar menyodok.
“He..he..he…” Raden tertawa pelan, “Hakikatnya,..iya,…Syariatnya..nggak dong…
Nih kang Mukhyar…karena kita mengaku beragama Islam, ya kena hukum Syariat,
maka kerjakanlah perintah-perintah Syariat, tapi jangan segitu saja, hakikatnya juga
harus dikejar, Syariat dikerjakan, Hakikat dicari, jangan bingung…sebenarnya
syariat dan hakikat tidaklah terpisah, pada setiap syariat ada hakikat, pada hakikat
ada syariatnya, ini soal luaran dan dalaman, lahir dan batin, katanya mohon maaf
lahir-batin kalau lebaran..? benar nih..? kompak lahir sama batinnya..? apa bukan
sekedar dibibir saja ? soalnya banyak kejadian belum lama lebaran…sudah bertengkar
lagi, bahkan ada yang disaat lebarannya, hebat kan…?”
Mukhyar terdiam, amir mengangguk-angguk pelan.
“Terus gimana caranya meluruskan Syahadat ?” Tanya Amir.
“Kuncinya ada di iman ustadz…, kalau rukunnya iman ..hafal kan…? Masak ustadz
nggak hafal rukun iman ?” jawab Raden sekalian menggoda sedikit.
“Hafal sih hafal…cuma gimana ceritanya ini.?”
“Sama kayak tadi, beresin dulu yang pertama, kalau sudah dapat, yang lain
dijamin oke punnya.”
“Iman kepada Alloh..?”
Iyalah…emang ada yang lain ? he…he..he..”
Sang Ustadz terdiam sejenak, lalu nembak lagi, “Caranya gimana ?”
“Cara apa..?”
“Supaya bisa beriman kepada Alloh….”
“Lah…belum gituh…?” Raden meringis manis.
Amir mendelik, “Sudah sih..cuma perlu ditingkatkan, biar lebih bagus..”
Raden Mas Akoe terkekeh, Amir juga, Mukhyar dan yang lain bengong,
terus terang tidak gampang mengakui bahwa keimanannya yang ada perlu
ditingkatkan, apalagi bagi seseorang yang sudah kepalang basah disapa ustadz.
“Gimana…?” Amir menuntut jawaban.
“Caranya,..ya carilah jalan untuk mendekat kepada-Nya.”
“Waduh…gimana lagi caranya itu…?”
Innanii analloohu laa ilaaha illa ana, fa’budnii wa aqimish sholaata li dzikrii
Sesungguhnya aku inilah Alloh, tidak ada Tuhan selain Aku, dan dirikanlah Sholat
untuk mengingat-Ku, itu salah satu dalilnya…ustadz..perhatikan kata li dzikrii,
dzikir,…banyak-banyaklah mengingat Alloh…” (Afwan ne salafi yo ra mudeng)
Ustadz Amir mengangguk-angguk, “Setiap habis Sholat ya..?”
Raden Mas Akoe mesem, “Termasuk..tapi..kalau cuma habis Sholat,..rasanya
kurang penuh tuh..tiga kali tiga puluh tiga, seratus kurang satu, kalau saya sih kurang,
kalau saya lho…kalau kata ustadz itu sudah cukup banyak,…ya silahkan..”
“Iya sih,…perasaansaya juga kurang, jadi gimana..?” Amir minta tambah info.
Ya pokoknya sebanyak-banyaknya, itu yang saya tahu, silahkan ustadz cari
sendiri maknanya.”
“Apa nggak berlebihan tuh..?” pak haji ‘abidin kembali nyodok, “Alloh tidak suka
yang berlebihan kan…?”
“Betul kang, kecuali dzikir,..dzikir adalah satu-satunya hal yang tidak kena hukum
jangan berlebihan, Alloh jelas-jelas menyuruh kita mengingat-Nya dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring, Fadzkuruullooha qiyaaman wa qu’uudan wa ‘alaa
junuubikum, (QS. An Nisaa : 103) di surat Al-Anfal juga ada,
Fasbutuu wadz kurullooha katsiiro, teguhkan hatimu dan sebutlah
Alloh sebanyak-banyaknya, kalau tidak salah ayat 45 itu, banyak lagi keterangan
lainnya di Al-Qur’an, silahkan kang Mukhyar periksa sendiri.”
Mukhyar pun terdiam, terus terang sebenarnya dari tadi dia kaget mengetahui Raden Mas
ini banyak tahu dalil, padahal dulu…begitulah..pas-pasan modal ayatnya,
paling sekedar tukang protes, atau kreatif bikin gara-gara penyebab kekacauan
kalau sedang berkumpul nanggap jin di tempat keramat….
Perbincangan itu masih berlangsung beberapa saat kedepan, hingga kemudian
Raden Mas Akoe kembali mohon diri.
“Buru-buru amat ? masih sore ini.” Mukhyar menahan, setelah melihat arlojinya
jam sebelas malam lewat dua belas menit.
“Kasihan isteriku, he..he..he…” Raden ngeles.
Sebagian ikut tertawa.
“Tapi urusan Haji Fikri, gimana kesimpulannya nih..?” Tanya Sulaiman.
“Iya gimana tuh..?” chacha menimpali.
“Nggak tahu aku, kesimpulanku, nggak ada kesimpulan, urus saja urusannya sendiri-
sendiri dengan Tuhan, wong baliknya nanti juga sendiri-sendiri, sama seperti datangnya,
Wa laqod ji’tumuunaa furoodaa kamaa kholaqnaakum awwala marrotin
Wa taroktum maa khowwalnaakum wa roo’a dzuhuurikum.
Itu ayatnya, Al-An’am 94, jadi bagusnya sih kita jangan kebanyakan ngekerin orang,
teropong saja diri sendiri, siapa tahu masih banyak borok diri yang belum ketahuan.”
Sebagian besar rekan melongo, termasuk chacha, sulaiman meringis
Amir manggut-manggut, sementara haji’abidin’ kembali tercekat, beneran ini…
banyak tahu ayat Raden sekarang, tapi mereka tidak tahu kalau Raden bukan
cuma hafal dalil, sebab paham sekalian maknanya, jangan main-main dengan
penjahat insaf, kalau sudah insaf..si penjahat itu meningkat tajam kemampuannya,
saat belum insaf saja sudah hebat, apalagi setelah bertaubat…
“Ooo iya ustadz, tentang dzikir tadi, sesuai dengan artinya, maka dzikir bermakna
ingatannya, bukan sekedar ‘pengulangan/bilangan’nya yang sekian ratus atau sekian ribu,
pengulangan itu bisalah dipandang sebagai sarana, tapi bukan tujuan, sebab tujuannya
jelas yaitu ingat kepada-Nya,..ingat itulah…begitu ya..? ujar Raden sesaat sebelum
beranjak pulang, ustadz Amir mengangguk-angguk.
Entah paham,…entah tidak,………

BERSAMBUNG “Ngawulang Umat.”

 diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

13. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ayat-ayat kauniyah”~2.

Raden Mas akoe mesam-mesem saja, soalnya tidak ada yang tahu kalau sejati dirinya
sedang melarut, pandang-memandang syahdu dengan maujud teman-temannya itu…
“Iya kan Mas raden..?” Tanya Sulaiman agak merah wajahnya.
“Hm…” Raden tersadar dari kesyahduannya.
“Urusan ini gimana ?” Sulaiman mengulang pertanyaannya.
Raden Mas Akoe tersenyum, “Urusan apa ?”
“Ini urusan haji Fikri…”sulaiman agak melotot.
“Oo, he..he..he…kalau aku nggak ada urusan, urus masing-masing saja,
wong nanti ‘balik kampung juga manggul karungnya sendiri-sendiri’.
Jep..langsung hening suasana, semua pasang mata memandang murid Habib Atho’
ini, apa maksudnya karung-karungan tadi ? segala balik kampung pula…
Sadar kalau dirinya jadi pusat perhatian, Raden Mas Akoe malah nyerengeh,
tidak ngomong, meringis doang, lama juga ‘setan lewat’ ini, sampai kemudian
Pak Mukhyar memecah, “Mana terusannya ?”
Dan tertawalah semua entah mengapa, mungkin memang harusnya begitu.
“Oke, sekarang jelaskan.” Pinta Pak Mukhyar
“Apa yang harus dijelaskan ?” Raden kembali tertawa.
“Eee jangan ketawa lagi, kita minta penjelasannya.” Pak Mukhyar mendelik.
Maka tertawa lagi lah mereka, maklum bukan tentara, mana komandan Aji Bugel
berhalangan pula, namun usai terkekeh babak kedua ini, Raden Mas Akoe
menjelaskan apa yang dia maksud tadi, soalnya dipaksa terus….
“Pergi haji bagi yang mampu itu jelas-jelas perintah agama, tidak ada yang perlu
di perdebatkan  di bagian ini.” ujarnya memulai.
Tampak Sulaiman sudah akan menyerang balik, tapi ditahan Pak Mukhyar.
“Sabar..Man, orang sabar..subur” celetuk Amir
Raden Mas Akoe mesem saja, “Gimana ? teruskan nggak ?”
“Lanjut..” sambar Pak Mukhyar.
Raden manggut-manggut, “Cuma harus bareng ilmunya…”
“Ilmu apa…?” kejar Pak Mukhyar.
“Ya ilmunya pergi haji dong, masak ilmu sulap..?” Raden meringis.
“Eee… malah main-main..serius ini, ilmu apa ?” Pak Mukhyar melotot.
“Kalem pak haji..masak haji nggak tenang bawaannya ? nanti jadi gossip baru lho,”
Raden merespons positif sambil terus nyengir.
“Ha..ha..ha..” Chacha tertawa sendirian.
“Apa kamu ketawa..?” Pak Mukhyar balik melotot ke bujang lapuk.
“Apaan..? Cabe kegigit…” ujar chacha berpura-pura kepedesan.
Yang lain jadi cengengesan, tapi Raden cepat-cepat melanjutkan ‘ilmunya’,
Sebab Haji Mukhyar dikenal temperamental, maklum pensiunan.
“Pergi haji itu jelas wajib bagi mereka yang mampu.”
Raden berujar pelan, “Persoalannya banyak yang meninjau aspek kemampuan ini
sekedar luaran saja, punya duit, badan sehat dan sejenisnya, padahal….
ya itu tadi…harus juga mampu ilmunya.”
“Ilmunya…ilmunya.., maksudnya apa..? manasik ? kejar Pak Mukhyar.
“Ya di satu sisi, itu termasuk ilmu luar, bagian tata cara, penting ini…tapi yang sisi dalam
jangan ditinggalin dong, berangkatnya mesti sejodoh, luar dalam, kalau cuma luarnya..
nanti seperti ondel-ondel, he..he..he…jangan marah ya..kang.
masak haji sukanya marah-marah…” Raden meringis lagi.
Terpaksa Pak Mukhyar tidak bisa marah, malah ikutan meringis.
“Oke, terus gimana ?” Pak Mukhyar minta tambahan info, terus terang dia memang
belum jelas yang dimaksud ‘ilmu dalam’ oleh juragan gas itu.
“Sholat ada rukunnya kan…?” Raden memancing.
Mukhyar dan yang lain mengangguk.
“Berurutan nggak..?”
“Apanya..?”
“Rukun Sholat itu ?”
“Ooo..iya dong, nggak sah kalau tidak berurutan.”
Raden Mas Akoe tersenyum, “Nah Islam juga ada rukunnya, kan..?”

Terdiam lagi semuanya, tampak agak mikir, kemudian hampir serempak mereka
mengangguk meng iya kan, muter-muter juga sih Raden ini, bilang saja langsung
Rukun Islam,…. gitu kan beres..jelas…
 “Terus gimana tuh ?” Raden Mas Akoe memancing lagi.
“Gimana apanya, Mas..?” Tanya chacha.
“Rukun Islam tadi,…mesti berurutan nggak…?”
Hening lagi, berurutan gimana maksudnya ? Rukun Islam ya memang berurutan ;
Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Haji…tapi apa maksudnya..?
“Gimana ?” Raden kembali bertanya.
“Semua orang Islam juga tahu kalau Rukun Islam berurutan, terus apa
pertanyaannya nih ?” Pak Mukhyar balik nanya.
“He..he..berarti mesti dilaksanakan sesuai urutannya, ya ?
Kan tadi katanya Rukun Sholat mesti begitu ? salah kalau takbirotul ihrom
dan mengucap salam bertukar tempat, iya kan…?”
Pak Mukhyar terkesiap, Amir tercekat, yang lain pun sama, kecuali chacha,
sebab dia sedang sibuk mengaduk saus acar untuk martabak.
“Sebentar Mas Raden..maksudnya urutan Rukun Islam itu bermakna berurutan ?”
Pak Mukhyar bertanya, setelah sesaat hening.
Raden mengangguk, “Pada pelaksanaannya, demikian…Zakat Fitrah adanya
di ujung masa bulan Romadhon, tidak disebut Zakat Fitrah yang dilunasi sebulan
sebelum bulan Romadhon misalnya, betul tidak (pengucapan gaya AA Gym)....?”
Mengangguk-angguk semuanya.
“Nah secara hakikat, yang lain juga mestinya begitu, kalau mau loncat-loncat
silakan…, tapi tanggung sendiri resikonya, itulah pergi haji tanpa bekal yang benar
empat lainnya, ya runyam…judulnya boleh ‘Haji’,..kelakuan…? tentu tidak semua
begitu, yang mabrur pasti ada, namun kenyataan di lapangan jangan dikesampingkan,
sebab justru pada kenyataan itulah kebenarannya.
Kebenaran tidak bertempat pada angan-angan atau bayangan, aslinya pada
kenyataannya, kalau tidak sesuai harapan berarti ada yang mesti di tinjau ulang,
begitu garisnya, kang…”
Hening lagi  agak lama setelah itu.
“Aku pulang ah…nggak rame, pada diem-dieman begini.”celetuk Raden Mas Akoe.
“Eee..jangan dulu, belum puas nih.” Sahut Pak Mukhyar.
Raden Mas Akoe yang sedang mesem itu lanjut tertawa pelan.
“Urusan puas nggak puas bukan bagian saya kang…”
“Bagian siapa..?”
“Chacha lah,…siapa lagi..?”
Bujang lapuk yang sesaat masih terpekur itu langsung mendelik.
“kok aku..?”
“Kan katanya kamu yang paling pinter mengurus kepuasan ?
Beli rokok mesti kamu, beli martabak mesti kamu, lain-lainnya juga harus kamu.”
“Termasuk menghabiskannya.” Timpal Sulaiman, baru sadar dia kalau martabak telur
itu sudah ludes, benar-benar bersih.
Chacha tertawa, yang lain juga, untung masih tersedia gorengan dan bandrek,
aman lah, lagian sudah di maklumi kalau chacha memang tongkat berusus panjang.**4
Maka perbincangan pun berlanjut, masih soal berurutan….
“Berarti, Syahadatnya dulu dong yang harus dibenerin ?” Tanya Amir
Raden mengangguk, ”Yang bengkok-bengkok diluruskan, yang cabang-cabang
dipangkas, Syahadat mestilah lurus selurus-lurusnya, hanya satu, tidak ada dua,
tiga, empat, atau sejuta,…pokoknya DIA thok,…titik.”
“Mengucap dua kalimat Syahadat kan sudah, Mas..” kejar Pak Mukhyar.
Raden Mas Akoe tersenyum, tidak langsung menjawab.
 “Gimana ? sudah kan ?” Pak Mukhyar memaksa.
“Eeem…mengucapnya sih sudah, pada setiap sholat juga dibaca, tapi…
mungkin penyaksiannya yang belum, mungkin lho….”
“Maksudnya..?”
Raden menghela napas, tidak mudah menjelaskan ini…
“Baiklah,…saya coba jelaskan di batas kata-kata, sebab sejatinya ini melampaui
segala ucapan, tidak bisa dijelaskan dengan sekedar ucapan, gimana ? setuju..?”
Mengangguk semua.
Raden Mas Akoe diam sejenak, “Syahadat adalah penyaksian, dalam hal ini
kita bersaksi atas ke ‘Tauhid’ an dan ke ‘Rosul’ an, Syahadat Tauhid dan
Syahadat Rosul, nah penyaksian ini harus lah benar, artinya kita harus meyakini
itu dengan Haqqul Yaqin, kalau tidak….” Raden berhenti,..dia bertanya
kepada hatinya yang berdzikir, yang hakikatnya bertanya kepada-Nya.
“Kenapa ?” kejar Pak Mukhyar.
Raden Mas Akoe menghela napas lagi, “Akang beneran mau tahu..?”
Mukhyar mengangguk mantap, yang lain juga.
Raden Mas Akoe manggut-manggut.
“Kalau tanpa Haqqul Yaqin, berarti penyaksian itu bohong, dan bohong disini
sama artinya membohongi Alloh dan Rosul-Nya. Tolong dipahami bahwa kata
membohongi tadi bermakna dalam, tidak sama wujudnya dengan kita membohongi
orang misalnya, sebab Alloh Maha Mengetahui, nah kalau ini dihukumi,
maka batal ke ‘Islam’ an orang yang berbohong itu.
Dalam Al-Qur’an banyak sekali keterangan tentang mereka yang mendustakan
Alloh dan Rosul-Nya.”
 Hening menyergap….
“Bahkan sumpah palsu di tingkat muamalah manusiawi pun diganjar hukuman berat,
apalagi hukuman dusta yang ini, A’udzubillahi minasy syaithoonir rojiim….”
Raden Mas Akoe menyambung sedikit tuturannya.
Senyap pun semakin menyergap….
“Pulang ah…diem-dieman lagi sih…” celetuk Raden sesaat lewat.
“Jangan,..jangan.., belum tuntas ini..” Mukhyar kembali menahan.
“Sudah dong…masak belum ? kalau Syahadatnya sudah beres, ya tuntas juga
kesananya, he..he..he….”


BERSAMBUNG
diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id
Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

Takut jadi Rakyat Negeri ini

 Eskalasi politik di negeri ini sedang memanas, pengumuman tarif pajak yang melambung, dan wakil rakyat naik tunjangannya, kesenjangan sosia...