Aku pikir, Adam hanya sekedar bergurau.
Tetapi ketika kutatap wajahnya, dia tidak kelihatan bergurau. Dia
serius. Ini menyebabkan aku jadi penasaran sekali.
” Kamu jangan bergurau,” kataku.
Adam terkekeh, ” dasar anak bebal,” katanya. ” Ngakunya
tidak pernah lupa baca Al Quran, bahkan sudah berkali-kali katam, koq
masih bebal juga kamu. Apa kamu tidak penah menemukan ayat yang
menyatakan hanya orang-orang yang pernah mengunjungi sorga yang dapat
menikmati sorga.”
Aku
tertunduk. Malu juga rasanya, karena kebiasaan membaca Al Quran, bahkan
sampai katam berkali-kali, masih tetap saja tidak dapat menyembuhkan
penyakit bebalku.
”
Baiklah,” kataku, ” jujur aku akui, aku tidak pernah benar-benar mau
memahami ayat-ayat yang aku baca. Kalau toh aku membaca terjemahan
ayatnya pun hanya sekedar lewat, tidak pernah aku renungkan.”
” Baguslah kalau kamu jujur,” sahut Adam. ” Coba perhatikan firman yang satu ini dengan pikiran yang jernih. Dan
sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal
saleh, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga itu, mereka mengatakan :”Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya (QS 2:25).”
Aku memperhatikan ayat itu agak cukup lama, sampai Adam memberitahu aku, ” lihat tuh pada bagian yang berbunyi setiap
mereka diberi rezeki berupa buah-buahan dalam surga itu mereka
mengatakan ”inilah yang pernah diberikankepada kami dahulu”. Menurut kamu, apa itu maksudny?”
Aku mengangguk. Benar juga pikirku. Kata-kata ”inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”, itu menekankan pada waktu. Jika kata-kata itu diungkapkan hari ini, maka dahulu bisa berarti kemarin, kemarin dulu, seminggu yang lalu dan seterusnya. Jika konteks ucapan kata-kata itu dikaitkan dengan penduduk atau penghuni sorga, maka kata dahulu itu bermakna ketika mereka masih menjadi penghuni dunia. Bukankah itu berarti, penduduk sorga adalah mereka yang telah menikmati sorga ketika masih menjadi penghuni dunia ?
Dan
dalam dialog dengan seorang teman baikku yang beragama nasrani,
ternyata dia pun menyatakan, hal serupa disebutkan juga dalam Injil.
Mohon maaf, aku hanya ingat ungkapan kalimatnya yaitu : yang masuk sorga adalah dia yang baru turun dari sorga.
Sekali mohon maaf kalau aku keliru mengutipnya. Aku hanya ingin
menyebutkan di sini adanya kesamaan visi dari masing-masing agama
tentang sesuatu yang universal. Artinya, jika kita berada di ruang yang
universal, maka tidak ada yang berbeda. Menjadi berbeda jika kita
dibatasi oleh sekat-sekat, entah itu sekat yang berupa nama agama,
bahasa, suku, ras dan lain-lain.
” Apa yang kamu pikirkan, Nak ?” ujar Guru Sejatiku.
” Aku berfikir tentang universalitas, Guru,” kataku.
” Kenapa ?”
”
Aku melihat masih banyak saudara-saudaraku yang tidak juga mau membuka
diri, melihat wajah lain di cermin kesamaan dan kesetaraan.”
Guru Sejatiku tersenyum.
” Makanya aku menyuruhmu untuk menemui Adam,” katanya,” supaya kamu belajar darinya.”
Penasaran
juga rasanya, karena Guru Sejatiku selalu mendorong aku untuk menemukan
jawaban dari semua persoalan itu sendiri. Dia hampir tidak pernah
mengatakan sesuatu dengan kata-kata yang menyebabkan aku segera
menemukan jawaban yang aku cari. Dia lebih senang mendorongku untuk
melakukan pencarian. Kali ini melalui Adam.
Ketika
hal itu aku katakan kepada Adam, dia hanya tersenyum. Sekarang dia
tidak lagi menyebut aku anak bebal, setelah dengan jujur aku katakan,
masih banyak hal yang aku tidak tahu.
” Mengapa kamu kesal, hanya karena tidak diberikan jawaban langsung oleh Guru Sejati itu ?” tanya Adam.
Aku menggeleng. ” Entahlah,” sahutku.
” Katakan padaku, siapakah dirimu ?”
Aku terperangah.
” Kenapa kamu terkejut ?”
” Sama seperti kamu, aku ini manusia juga,”sahutku.
” Itu aku sudah tahu.”
” Jadi kenapa kamu masih bertanya ?”
” Karena aku ingin tahu, apakah kamu sudah benar-benar mengenali dirimu, atau belum.”
Aku terdiam.
” Jika setiap orang yang ditanya dengan pertanyaan serupa, siapakah dirimu, kemudian dia menjawab, aku ini manusia, maka apa yang membedakan kamu dengan orang lain ?” tanya Adam lagi.
Aku makin terdiam. Kata-kata Adam kali ini agak sulit aku tangkap maknanya. Maka aku hanya memandang dia.
” Kamu harus mengenali dirimu dari tiga sisi,” ujar Adam lagi. ” Pertama, dari sisi jasad.
Jasad manusia di mana pun serupa. Punya satu kepala, dua tangan, dua
kaki, satu badan dan lain-lain. Jasadmu tidak ada bedanya dengan jasad
para Nabi. Maka, Tuhan selalu mengingatkan para Nabi dengan firmanNya
yang sangat jela, yaitu ”katakanlah, aku ini manusia biasa seperti kamu”(QS 18:110). Kata manusia biasa dalam ayat itu merupakan terjemah dari kata al-basyar dalam teks Bahasa Arab, yang arti asalnya adalah jasad. Dan setiap jasad berasal dari tempat yang sama, yaitu dari sesuatu yang rendah dan hina. Tuhan memberitahu aku, Allah menciptakan Adam dari tanah (QS 3:59). Lalu tentang anak-anak ketrurunanku, Tuhanku juga memberitahu : bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina ?(QS
77:20). Dan jika benar kamu rajin membaca Al Quran, maka akan kamu
dapati ayat-ayat yang menyatakan hal serupa, bahwa jasad manusia di mana
pun sama, dan berasal dari tempat yang rendah dan hina. Atau dalam
bahasa Arab, disebut berasal dari alam mulki, alam kerendahan.”
Aku mengangguk.
”
Anak bebal,” kata Adam lagi.” Siapa pun manusianya yang lebih mencintai
jasad dan hal-hal yang bersifat jasad, maka orientasi hidupnya hanya
akan berada di alam kerendahan. Sama seperti binatang.”
” Kamu bilang, hal-hal yang bersifat jasad. Apa itu maksudnya ?” tanyaku.
Adam tertawa kecil.
”
Jasad itu berasal dari tanah, tanah itu juga disebut bumi, dan bumi itu
pun disebut dunia. Maka jasad itu juga disebut sebagai kendaraan, kuda
tunggangan, bahtera, pakaian dan segala sesuatu yang berguna sebagai
alat. Bumi, dunia, tanah dan segala sesuatu yang ada di atas dunia ini
adalah alat. Bukan tujuan, maka dia tidak layak dijadikan tujuan.
Walaupun alat itu penting dan diperlukan, tetapi dia tetaplah alat, yang
ada masa berlakunya sehingga suatu ketika akan rusak atau aus, tidak
sesuai lagi dengan tuntutan jaman yang terus berubah sehingga harus
diganti atau disesuaikan dengan keadaan. Maka, hal-hal yang bersifat
jasad pun adalah sesuatu yang karena sifatnya adalah alat. Contohnya :
kekayaan, jabatan, kekuasaan, ilmu, hukum, peraturan –atau ada orang
yang lebih suka menggunakan istilah : syariat- dan lain-lain pun adalah
hanya alat untuk mencapai tujuan. Bukan tujuan itu sendiri.”
” Jadi tidak layak dijadikan tujuan ya ?”
” Ya. Semua itu hanya alat, dan selamanya tetap alat atau perkakas.”
Mendengar penjelasan Adam, aku tersenyum-senyum sendiri.
” Kenapa kamu tersenyum ?”
Kupandang Adam dengan tersenyum.
Dia jadi penasaran.*****
diambil dari:http://www.kompasiana.com
No comments:
Post a Comment