“Wa’alaykum salam wr.wb,” sahut si mbah, “duduk, le…!”
Akoe pun duduk bersila, berhadapan dengan kakeknya, tungku bara arang, yang ada
diantara mereka, mengeluarkan asap harum setelah ditaburi semacam serbuk oleh kakeknya.
Akoe tidak tahu serbuk itu, tapi yang jelas bukan kemenyan, kalau kemenyan dia tahu,
wanginya tajam nyegak, yang ini lain harumnya semilir lembut, terus terang,
magis terasa suasana jadinya.
Si mbah tersenyum melihat ‘kemagisan’ sang cucu…
“Tole,…” si mbah buka pembicaraan
“Dirasa rasa, hidupmu ini lumayan berwarna, ya ? Bapakmu Jawa, ibumu Sunda,
sekarang sudah yatim piatu, mbah sama mbah puteri yo wis maghrib,
tapi Gusti Alloh itu ada, le’, nyata adanya, bukan seolah-olah.”ujar si mbah tegas.
Akoe menyimak, belum jelas arah pembicaraan ini.
Si mbah membuka-buka kitab terjemahan al-Qur’an milik Akoe.
“Coba kamu baca.” Pintanya, menunjukkan surat Fushilat ayat 54. (QS : 41;54)
“Alaa innahum fii miryatim mil-liqoo’i robbihim, alaa innahuu bikulli syai-im muhiith.”
“Ingatlah, bahwa sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan,
Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
Akoe pun menghela napas setelah membaca ayat ini, apa maksudnya ?
“Mengerti, le’ ?” Tanya sang kakek
“Tidak,” jawab cucunya
Si mbah tersenyum lebar,
“Nggak apa-apa kalau sekarang belum mengerti, tapi,..kamu percaya, ..kan ?”
Akoe langsung mengangguk.
“Lumayan, iman dalil, he….he…”
Mendengar itu, Akoe ikut terkekeh, teringat pelajaran ‘Iman Dalil’ yang dulu,
yang lewih apik dari pada melu-melu kebo itu.
“Pertemuan…., si mbah mendesah, “Kata Alloh, banyak yang ragu tentang pertemuan
dengan-Nya, ada yang percaya, tapi ada yang nanti katanya, nanti di alam akhirat,
kalau manusianya sudah mati, padahal,….Gusti Alloh itu sami mawon – sama aja,
dulu ada, sekarang ada, nanti ya tetap ada, wong Maha ada.”
Akoe sigap hendak bertanya, tapi ditahan oleh kakeknya.
“Jangan Tanya, percuma…karena kamu belum tahu ‘rasa’ nya, yang mbah sampaikan ini
terima dulu untuk bekalmu nanti mencari ‘rasa’nya, bukan mbah ga mau cerita,..
tapi piye carane’ cerita ‘rasa’?
Rasa, ..ketemunya ya sama rasa lagi, kalau sudah ada ‘rasa’mu, baru kita bisa
ngerasani ‘rasa’, mengerti gak le’….?”
Akoe terdiam sejenak, lalu mengangguk, dulu kakeknya sudah pernah membahas
sedikit tentang ‘rasa-rasa’ ini.
Si mbah tersenyum, membuka-buka lagi kitab terjemahan itu,
“Ayo sekarang baca yang ini.” dia menunjukkan surat ar-Ruum ayat 8. (QS : 30;8)
Akoe membacanya seperti tadi,
“……Wa inna katsiirom minan naasi biliqoo’i robbihim lakaafiruun.”
“….Dan sesungguhnya, kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan
pertemuan dengan Tuhannya.”
Lalu Akoe terkesiap menatap sang kakek.
“He…he..benar-benar ingkar, tidak percayanya bundar, kebanyakan lagi,
bukan yang sedikitnya, nah,…kamu jangan sampai termasuk mereka yang benar-benar
ingkar itu, ya..? awas,…hati..hati..,” ujar si mbah kalem.
Akoe mengangguk cepat, siapa yang mau..emangnya ada yang mau…?
“Ayo terusin,..sekarang yang ini,” si mbah kembali menunjukkan dalil al-Qur’an
surat al-Insiqooq ayat 6 (QS : 84;6)
“Yaa ayyuhal insaanu innaka kaadihun ilaa robbika kad han famulaaqiihi.”
“Hai manusia, sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, sehingga kamu menemui-Nya.”
Akoe pun manggut-manggut sekarang, perasaan rada-rada ngerti deh…
“Kita disuruh berusaha, ya..? berusaha dengan sungguh-sungguh, nah seperti itu
seharusnya , kita para manusia, jelas-jelas diperintah oleh Gusti Alloh untuk menuju
kepada-Nya,…menuju kepada-Nya ini maksudnya mengenal Dia.
Kalau bahasa arabnya, ‘makrifatulloh’, jangan dibayangkan kayak kamu
pergi dan menemui seseorang..? sebab Gusti Alloh tidak tinggal disuatu tempat.
Alloh itu laysa kamislihi syai’un, tidak serupa dengan apapun, jangan disamakan
dengan segala yang bisa dibayangkan oleh akal,..jangan pernah..”
Maka Akoe pun melongo, rada mengerti,..apanya..?
Laysa kamislihi syai’un, wa huwas samii’ul bashiir, tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-nya, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS :42;11)
“Kamu tahu bedanya sholat Nabi dengan sholatnya kebanyakan kita ?”
Sang kakek kembali bertanya,..Akoe menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak Ustadz belum sempat memberitahukan tentang ini ?”
Akoe merenung, lalu mengangguk, seingatnya memang iya pak ustadz mengajarkan
tata cara sholat, tapi tidak pernah bilang ‘bedanya’ dengan sholat Nabi, adanya malah
bilang seperti itulah sholatnya Nabi, bagaimana ini…?
“Memang ada bedanya mbah..?”
“Ada, he..he..nyata sekali, satu raka’at sholatnya Nabi, lebih tinggi nilainya dari seribu
raka’at sholatnya kebanyakan kita, kenapa..? karena Nabi sholat dengan makrifatnya,
dengan mengenal kepada yang disembahnya, benar-benar kenal, bukan kenal-kenalan.
Itu sebabnya dalam riwayat Isro Mi’roj dikisahkan bahwa Nabi Musa AS meminta
Kanjeng Nabi Muhammad untuk naik lagi memohon keringanan atas jumlah sholat fardhu.
Bahkan, ketika sholat fardhu tinggal lima waktu dari awalnya yang lima puluh waktu,
Umatmu di akhir zaman tidak akan mampu, kata Nabi Musa AS.
Apanya yang tidak mampu..? tata caranya..? bacaan dan gerakkannya..?
Akh nggak mungkin, mudah kalau cuma soal itu, lha kamu saja sekarang sudah pintar
melaksanakan tata cara sholat, bukan…?” Akoe mengangguk.
“Jadi apanya yang tidak mampu itu..?”
“eemm, makrifatnya mungkin ya mbah..?”
“He..he.. itulah, Nabi sholat dengan makrifatnya, lha kita boro-boro kenal,
wong ingat saja nggak, sholatnya kebanyakan kita itu, lahiriyah saja yang bagus,
tertib gerakannya, fasih bacaannya, kalau perlu skalian pakai cengkok arab
yang ‘yaqin’ itu, he…he…”
Akoe ikut terkekeh, soalnya si mbah bilang ‘yaqin’nya pakai gaya yang pentolan
jakun dilehernya naik turun.
“Bukan salah pakai’yaqin’ tadi, silahkan saja kalau memang mantapnya begitu,
tapi jangan ‘yaqin’ lahiriyahnya saja, hatinya harus juga ‘yaqin’, percuma kalau
cuma luarnya saja, sebab sholat itu sejatine’ urusan dalam.”
Akoe pun merenung.
“Sudah cukup dulu kata-katanya, nanti jadi iman kata-kata, kalau kebanyakan
kata-kata,..he..he..kalau mau cari dalilnya di Qur’an dan Hadits, akeh..banyak buanget
yang menegaskan tentang pertemuan dengan-Nya.
Pertemuan ini jangan selalu dipandang nanti, kenapa harus nanti..? sekarang saja,..
wong sekarang juga ada, yang nanti itu hasilnya sekarang, kalau sekarang bias,
nanti lebih bias, kalau sekarang nggak bias, ya..nggak tahu nantinya..bisa apa nggak..”
“Mengerti, le’…?”
“agak-agak, mbah…”
Si mbah tersenyum, “Lumayan,..dari pada nggak ada….”
Cucunya meringis.
“Tole’, dengarkan ini…yang lebih benar adalah..’batin – lahir’, bukan lahir batin,
‘Hakikat – syari’at’, bukan syari’at hakikat.
Kanjeng Nabi Muhammad itu, paham hakikatnya dulu, baru dikenai hukum hukum
syari’at, Beliau berjumpa dulu dengan Alloh, makrifat dulu, kemudian barulah
turun perintah sholat, iya khan…Itu sebabnya, satu raka’at sholatnya Nabi, kata Hadits
lebih berat disbanding seribu raka’at sholatnya kita, jangankan seribu, sejuta raka’at
juga tetap beratan seraka’at sholatnya Nabi.
Tapi jangan lantas gampang berkilah, itu kan Nabi…..,kita manusia biasa nggak bias
kayak Nabi, wah ya susah kalau suka-sukanya bikin pagar duluan seperti itu.
Kanjeng Nabi juga manusia, Beliau di maksum, di sucikan oleh Alloh untuk
dijadikan teladan bagi umat manusia,…manusia yang lain disuruh mencontoh….,
kalau contohnya tidak bisa dicontoh…..?”
Akoe bengong menatap sang kakek,..wah makin seru nih…
“Meneladani Nabi,..bukan artinya menjadi nabi, gombal mukiyo kalau ada
yang mengaku aku nabi, Nabi terakhir ya Kanjeng Nabi Muhammad, titik,
nggak pakai koma komaan, kita disuruh Gusti Alloh mencontoh Beliau, meneladani,
mencontohnya, ya semuanya,…kabeh, luar dalam, jangan milih-milih,
enak men boleh milih milih, he..he.he..memangnya milih duren ?
termasuk soal hakikat-syariat tadi, batinnya dulu diberesin, barulah lahirnya.”
“Itu bedanya, Kanjeng Nabi, hakikat dulu baru syari’at, kita syar’at dulu baru disuruh
mencari hakikat, piye carane’..? dengan mencontoh contohnya yang sudah disediakan,
tapi jangan cuma lahiriyahnya, batiniyahnya juga harus disimak, justru bagian batin
inilah hakikatnya, kalau cuma luarannya, keenakan nanti Yamani sama tuan Salim, he..he..
dari lahir jenggotnya sudah lebat, wong turunan arab, tinggal dirapikan sedikit, gagah,..
yang lokalan agak repot, sebab bulunya cuma sepuluh lebih selembar, ha…ha….”
Akoe pun ikut terkekeh.
“Tapi bukan maksudnya dilarang lho, kalau kamu mau pelihara jenggotmu
yang pas pasan itu, ya nggak apa apa, yang penting bareng sama hatinya,
nah jelas khan hubungannya hakikat dengan makrifat..?” Tanya si mbah.
“Belum mbah, gimana itu..?”
“oo belum kelihatan ya..? begini, makrifat itu hasilnya hakikat, tidak ada makrifat
tanpa menembus tabir hakikat.
Hakikat itu, wujudnya ‘rasa-rasa’, kumpulan ‘rasa’.
‘Rasa-rasa’ itu nantinya terasa hanya satu ‘rasa’, yaitu ‘kebersamaan’.
Rasa kebersamaan dengan-Nya, itulah makrifat, gambaran mudahnya begitu…,
tapi aslinya tidak segampang ini, kenapa…? Karena makrifat bertingkat-tingkat
tidak ada batasnya, dan bukan hak manusia, pasti kamu bingung iya khan..?”
“Nggih mbah,” sahut sang cucu cepat.
“Nggak apa apa, banyak ko temannya di dunia, he…he…terima saja dulu,
nanti kalau sudah ada ‘rasa’mu, baru kamu tahu..”
Akoe manggut manggut, soal kumpulan ‘rasa’ yang nantinya jadi ‘satu rasa’
harus di’rasa’kan dulu, baru tahu ‘rasa’nya, tidak bakal te’rasa’
kalau cuma di ceritakan, di’rasa-rasa’,….iya juga sih….
Si mbah menaburkan lagi serbuk tadi ke tungku bara arang di depannya,
harum pun menyebar. “Tole’..” desahnya pelan.
“Balik kedepan lagi, yang lebih utama itu batinnya, hakikatnya, tanpa ini
syari’atnya tidak akan benar, kalau batinnya sudah benar, maka syari’atnya
akan terbawa benar.”
Sambil agak menunduk, Akoe mendengarkan.
Hening sejenak, si mbah menatap sang cucu.
“Diterima dari,……fulan bin fulan…sebuah pengetahuan untuk membuka hakikat,
mbah akan menurunkan pengetahuan ini kepadamu, apa kamu mau..?”
Akoe terpana, lalu mengangguk seraya “Baik mbah..”
Si mbah menghela napas, “Alhamdulillah,” desahnya.
“Kalau kamu mau, ayo dimulai, kita hadiahan tawasulan dulu ya baca Fatihah”
Lalu hadiahan itu pun dilaksanakan, ilaa hadhroti…….dst.
Setengah jam berlalu, si mbah menggeser tungku bara agak menjauh dan meminta
sang cucu merapat hingga ‘ketemu dengkul’, lutut mereka saling menempel
selanjutnya sang kakek membisikkan pengetahuan hakikat itu kepada cucunya,
sang cucu pun kembali terpana dengan keringat dingin bercucuran.
“Tole’ itulah koncinya,” ujar sang kakek pelan.
“Tapi itu baru koncinya, kamu masih harus mencari pintu yang cocok dengan koncimu,
dibalik pintu itulah, kumpulan ‘rasa’, bisa dipahami…?”
“Iya, mbah, Cuma kenapa nggak sekalian dengan pintunya..?”
“Masing-masing sesuai jatah, bagian mbah sampai kunci, ada kekasih lain
yang bagian pintunya.”
“Kekasih..? apa itu mbah..? perempuan..?”
Si mbah terkekeh lagi,..”Bisa lelaki, bias perempuan, seseorang yang sudah
melintasi alam ‘Barzakh’, sudah melebur, lenyap.”
Akoe melongo, melintas alam barzakh ? lebur, lenyap ? apa maksudnya ?
Menembus alam barzakh ? alam penantian sesudah mati itu ?
Ah…maka dia pun bertanya tentang ini, tapi kakeknya nyerengeh saja
tidak hendak menjawab.
“Sudahlah,..simpan saja pertanyaanmu karena ini memang bukan bagian
tanya jawab, tidak ada petanyaan, tidak ada jawaban, adanya hanya ‘rasa’,
yang penting jaga koncimu, terus cari pintunya sampai ketemu, kalau tidak cocok
dengan koncimu, jangan berguru dengan orang itu, biarpun sehebat apa kelihatannya,
percuma,..mbah yakin dia tidak tahu hakikat agama, tahunya sekedar dalil-dalil
hakikat, atau syari’at yang di hakikat-hakikatkan, sebenarnya hakikat dan syari’at
itu satu geluntungan, tidak terpisah.
Kalau kelapa, syari’at itu sabutnya, hakikat itu minyaknya, lewat daging buahnya,
sebab hakikatlah yang membentuk syari’at, jangan dibalik,..
hakikat adalah kebenaran atas keseluruhan akhirnya.
BERSAMBUNG
Sumber di ambil dari :https://thoriqohalfisbuqi.wordpress.com/
Ila ruhi Mas Andi Bombang....Al-Fatiha...
No comments:
Post a Comment