Dia hanya seorang manusia biasa yang
sama sekali tidak dikenal. Bahkan namanya pun tidak pernah akrab dengan
telingamu, terutama jika kamu salah satu penggemar siaran keagamaan di
televisi, atau pembaca buku-buku karya para ulama besar di dunia maupun
di Indonesia. Dia benar-benar manusia biasa yang jauh dari hiruk pikuk
dunia. Bahkan jika aku sebutkan pun, kamu pasti tidak akan pernah
mengenal nama itu. Atau kamu pasti akan bertanya siapa dia ?
Itu
adalah kata-kata yang diucapkan oleh sahabat baikku, seorang yang
bahkan di lingkungan kerjanya sama sekali tidak pernah mendapat
apresiasi. Banyak teman-temanku yang heran, kenapa aku akrab dengan dia.
Ada beberapa orang yang berusaha memengaruhi aku agar tidak dekat-dekat
dengan dia.
” Bapak kan orang baru di sini,” kata orang itu. ” Daripada nanti Bapak terjebak, lebih baik jangan dekat-dekat dengannya.”
Ya,
aku memang belum lama berada di kantor baruku di Bandung, karena oleh
Direksi aku dipindah ke sini dari posisi lamaku di Purwokerto. Maka,
layak orang-orang mengingatkan aku.
” Terimakasih,” jawabku.
Tetapi
aku tidak ingin memutus pertemanan ini. Tidak hanya dengan dia, tetapi
dengan semuanya saja yang ada di tempat baruku. Aku selalu ingat untuk merendahkan egomu, karena Kebenaran tidak akan datang kepada orang yang egonya menjulang tinggi menyentuh langit. Tuhan sudah menyatakan takabur adalah selengdangKu, barangsiapa merebutnya dariKu, maka murkaKu akan menimpanya.
Takabur adalah sifat yang lahir dari ketinggian ego. Sedangkan ego akan
tumbuh subur, jika orang membanggakan asal-usul, pangkat, jabatan,
kekayaan, kekuasaan, kepandaian dan kekuatan pengaruhnya. Orang boleh
memiliki semuanya, tetapi semuanya itu hanyalah aksesoris yang sekejap
dikenakan untuk dilukar kembali jika waktunya telah tiba. Semuanya bukan
untuk dijadikan kebanggaan, melainkan untuk diemban sebagai amanat
Tuhan yang kelak harus dipertanggungjawabkan.
Nyatanya, aku memang menemukan ketulusan dengan cara pertemanan yang egaliter seperti itu. Justru dari teman-teman yang ”bukan siapa-siapa”
inilah aku mulai menyadari bahwa memang benar Kebenaran itu datang dari
arah yang tidak disangka-sangka. Semula aku menyangka, Kebenaran itu
hanya datang dari kalangan agamawan, para Kyai, Ustad, Romo, Pendeta dan
sebutan-sebutan lain. Nyatanya, dari mereka aku bahkan hanya
mendapatkan wacana, bukan praktek keagamaan yang menenteramkan. Sebab,
mereka masing-masing membawa misi yang sangat sulit dipahami sebagai
agama. Misalnya, mana ada agama yang mengajarkan kebencian, merusak
properti orang lain, merusak tempat ibadah umat lain, menghujat para
penganut faham dan keyakinan yang berbeda.
Dengan si bukan siapa-siapa
ini aku merasakan keberadaanku sebagai manusia secara utuh. Aku dapat
mengutarakan apa pun yang aku pikirkan maupun yang aku rasakan tanpa
merasa takut disebut kurang ajar atau tidak sopan. Dari perbincangan
itulah akhirnya aku mendapatkan setitik cahaya di ujung lorong gelap.
”
Aku pernah melakukan banyak hal di masa lalu,” kataku. ” Apa saja yang
diajarkan kepadaku dari para Kyai, aku kerjakan. Berbagai macam wirid
dan hizib aku amalkan. Tetapi kemudian satu per satu aku tinggalkan.”
” Kenapa ?”
”
Banyak peristiwa aneh yang sulit diceritakan,” kataku. ” Tetapi aku
tahu, bukan hal-hal seperti itu yang aku cari. Bukan. Aku tidak ingin
memperoleh ilmu kanuragan, supaya aku kebal berbagai macam senjata. Atau
supaya aku dapat melihat alam jin. Atau aku menjadi penyembuh berbagai
penyakit. Bukan. Bukan itu yang aku cari.”
” Lantas, apa yang kamu cari ?”
” Tuhan,” jawabku tanpa basa-basi.
Temanku memandangku. Lalu :
” Aku akan menemukan kamu dengan seorang pembimbing, atau penunjuk jalan yang dapat mengantarkan kamu pada apa yang kamu cari.”
” Sungguh ?”
Dia mengangguk.
” Kapan ?”
” Sabar,” katanya.
Aku tidak mendesak lebih lanjut. Dia sudah mengatakan kepadaku bahwa dia yang disebutnya sebagai pembimbing atau penunjuk jalan itu adalah seorang lelaki yang telah diberi rahmat olehNya dan yang telah diajariNya ilmu dari sisiNya
(QS 18:65), seperti Khidr bagi Musa. Seorang yang jauh dari hiruk pikuk
dunia. Seorang manusia biasa yang tidak membutuhkan popularitas, karena
dia bekerja untuk Tuhan dan bersama Tuhan.
” Apakah dia yang disebut mursyid ?”
“
Kamu boleh menyebutnya apa saja,” sahut temanku. ” Kau boleh menyebut
dia mursyid, guru, avatar atau sebutan apa pun. Baginya sebutan dari
manusia itu tidak begitu penting, karena dia tahu untuk Siapa dia
bekerja.”
Aku mengangguk.
” Apakah dia juga akan menyuruhku mengamalkan wirid, hizib yang panjang dan melelahkan ?”
Temanku tersenyum. Menggeleng.
” Nanti kamu akan tahu,” katanya.
Dan, aku nyaris tersedak air teh ketika suatu siang temanku datang ke ruanganku dan mengatakan, lusa aku dapat bertemu dengan dia.
” Benarkah ?”*****
diambil dari:http://www.kompasiana.com
No comments:
Post a Comment