Ketika aku berhadapan dengan dia, mula-mula aku tidak berani menatap wajahnya. Tetapi dia memintaku
untuk menatap dia. Wajahnya teduh. Sinar matanya jernih. Bicaranya
lembut, tidak berapi-api. Dia menanyakan kepadaku, apa keperluanku. Aku
jawab apa adanya. Aku tidak ingin banyak bertanya, seperti Musa dulu
terlalu banyak bertanya kepada Khidr. Aku mendengarkan apa yang
dikatakannya. Aku memperhatikan apa yang dilakukannya. Dia menunjukkan
kepadaku jalan untuk menemui Guru Sejatiku dan mengajarkan kepadaku cara
menempuh jalan itu. Semuanya jelas dan gamblang.
Bagai
disambar petir ketika aku memasuki jalan itu. Sulit digambarkan dengan
kata-kata, seperti sulitnya aku melukiskan rasa asin dengan kata-kata.
Bahkan aku tidak dapat menjawab pertanyaan dia, selain melalui
linangan airmata yang tak dapat kutahan. Inilah akhir pencarianku selama
15 tahun dan sekaligus langkah awalku memasuki pengembaraan rohani, dan
aku menemukannya di sini melalui bantuan dia,pembimbingku. Melalui dia aku benar-benar menemukan kesejatian syahadat. Melalui dia
aku dapat menemukan jalan untuk bertemu dengan Guru Sejati yang tak
pernah bosan dengan kedatanganku. Bahkan Guru Sejatiku tidak pernah
meninggalkan aku. Dia pula yang menyuruhku bertemu dengan Adam.
Aku
tidak tahu, mengapa Guru Sejatiku menyuruhku bertemu dengan Adam. Yang
mengherankan, tiap kali aku bertemu Adam, aku selalu merasa sedang
berhadapan dengan diriku sendiri. Aneh.
”
Itu sebabnya aku menyuruh kamu menemui Adam, Nak,” kata Guru Sejatiku
lagi. ” Belajarlah dari dia, karena dia adalah manusia pertama yang
diciptakan oleh Tuhan. Dia juga manusia yang pernah tinggal bersama-sama
Tuhan.”
” Di sorga ?”
”
Ya bolehlah kamu sebut sorga,” kata Guru Sejatiku sambil tersenyum. Dia
tahu, kata-kata sorga itu sudah melekat erat dalam diriku. ” Banyak hal
menarik yang dapat kamu petik dari pertemuanmu dengan Adam. Sekali-kali
kamu harus berjuang untuk melepaskan diri dari ungkapan kata sorga,
neraka, pahala, dosa dan ungkapan lain yang selama ini kamu dengar dari
sesamamu. Padahal, apakah mereka pernah merasakan sorga dan neraka
sebelumnya ?”
Aku mengangguk.
” Tanyakanlah kepada orang yang pernah mengalami sorga,” kata Guru Sejatiku,” dan orang itu adalah Adam, Nak.”
” Tetapi, kenapa tiap kali aku melihat Adam, aku selalu merasa seperti sedang melihat diriku sendiri, Guru ?”
” Nanti kamu akan tahu, Nak,” kata Guru Sejatiku.
Jika
dia sudah berkata begitu, artinya akan ada jawaban yang akan aku
peroleh dari pembicaraanku dengan Adam. Aku hanya tinggal mempersiapkan
diri untuk selalu bertemu Adam berbekal kesabaran dan kesadaran yang
sempurna. Kadang-kadang, kata-kata yang keluar dari mulut Adam sangat
sulit dimengerti.
Tetapi
pertanyaanku tentang sorga pasti tidak akan pernah dijawab oleh Adam
secara gamblang. Dulu pun waktu pertemuanku yang pertama dengannya, Adam
tidak menjawab ketika kutanyakan seperti apa sih rasanya tinggal di
sorga. Dia bahkan hanya tersenyum dan menyatakan, tidak ada kata-kata
yang dapat menggambarkan keadaan itu. Tetapi kenapa Kitab Suci selalu
menyebut sorga, atau dalam bahasa yang lain disebut jannah, nirvana dan
sebutan-sebutan lainnya, dengan gambaran tentang bidadari, buah anggur,
kain sutera, beludru, permadani, sungai yang mengalir air susu, madu
atau bahkan arak.
” Memang benar,” kata Adam, ” waktu itu pun Tuhan menyuruhku "Hai
Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah
olehmu berdua di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang
yang zalim." (QS 7:19). Jika kamu mendengar ini, tentu pikiranmu
akan mereka-reka bahwa kehidupan di sorga itu sama seperti di dunia.
Artinya di sana ada pohon, ada buah, ada makanan, ada sungai, ada
segalanya yang dapat kau jangkau dengan panca indera duniamu. Betul
begitu?”
Aku
mengangguk. ” Tentu saja,” sahutku, ” setiap informasi yang sampai
kepadaku pasti akan menyebabkan aku mengasosiasikannya dengan informasi
yang sudah masuk lebih dulu. Jika dikatakan, janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, maka pikiranku akan segera berasosiasi dengan pohon-pohon yang aku kenal. Pohon apa pun. Begitu juga jika dikatakan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, maka aku pun lantas membayangkan sungai yang pernah aku lihat.”
”
Itulah kesalahan kalian,” kata Adam. ” Kalian mestinya harus sadar
bahwa informasi tentang akhirat tidak bisa dihubungkan dengan keadaan
dunia. Informasi tentang akhirat itu berada di wilayah intangible, sehingga bagaimana mungkin sesuatu yang intangible itu digambarkan dengan obyek yang tangible. Dua obyek yang berbeda, dan salah satunya tidak dapat dipakai sebagai perbandingan dengan yang lainnya.”
”
Jadi, segala macam ungkapan seperti pohon, bidadari, buah-buahan,
perhiasan, makanan, minuman dan gambaran-gambaran lain hanya sekedar
perumpaan atau simbol belaka ?”
” Ya. Bukankah Tuhan sudah menyatakan hai
manusia, telah dibuat perumpamaan maka dengarlah olehmu perumpamaan
itu. Sesungguhnya segala yang kamu panggil atau kamu sebut atau yang
kamu sembah selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun,
walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka tiadalah mereka dapat merebutnya kembali. Amatlah
lemah yang menyembah dan yang disembah (QS 22:73). Apakah tidak cukup jelas bagimu ?”
” Sangat jelas,” sahutku.
” Lalu, masihkah kamu bermimpi tentang sorga itu, anak bebal ?”
Aku tersipu.
”
Apa yang digambarkan dengan buah-buahan, bidadari yang cantik rupawan,
sungai yang mengalir air susu, arak yang tidak memabukkan, dan semua
gambaran yang kamu temukan dalam Kitab Suci, itu hanyalah perumpamaan.
Dan orang-orang yang menjadikan perumpamaan itu sebagai tujuan, maka dia
akan tertipu oleh angan-angannya sendiri.”
” Kenapa begitu ?”
”
Karena yang dia jadikan tujuan itu adalah simbol, bukan sesuatu yang
sejati. Kamu tidak akan pernah mendapatkan sorga, jika kamu belum pernah
mengunjungi sorga.”
Kata-kata itu mengejutkan aku.
Sangat mengejutkan.
Aku terpana.*****
diambil dari:http://www.kompasiana.com
No comments:
Post a Comment