”
Sebenarnya, Tuhan sudah mengajarkan kepada aku sesuatu yang tidak pernah
diajarkan kepada Malaikat dan mahlukNya yang lain,” kata Adam setelah
ia melihatku dalam kebingungan. ” Dia mengajarkanseluruh nama-nama
(QS 2:31). Nama-nama itu adalah milikNya, sifatNya, ilmuNya,
kekuasaanNya dan segala sesuatu yang meliputi seluruh alam. Dengan
pengajaran itu sebenarnya Tuhan sedang memberitahu bahwa Dia melakukan
sesuatu atas kemauanNya sendiri dan untuk diriNya sendiri. Dia
memberikan segala sesuatu kepada mahlukNya atas kemauanNya sendiri dan
untuk diriNya sendiri. Dia menghukum atas kemauanNya sendiri dan untuk
diriNya sendiri.”
” Terus, apa kesalahanmu ?”
” Kesalahanku ada dua, yaitu, melupakan sesuatu yang telah ditunjukkannya kepadaku dan lemah kemauan. Dia menyatakan ”sesungguhnya telah Kami perlihatkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa, dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS 20:115). Dua kesalahan itulah yang aku alami. Maka aku tidak ingin anak-anak keturunanku melakukan kesalahan yang serupa.”
” Maaf,” kataku, ” jika kamu tidak lupa, apakah itu berarti takdir Tuhan tidak berlaku padamu ?”
” Kenapa kamu tanyakan itu ?”
”
Ya, karena tadi kamu mengatakan bahwa takdirmu adalah tinggal di bumi,
bukan di sorga. Kamu diturunkan ke bumi karena kamu membuat kesalahan.
Kamu tidak ingat kepada apa yang sudah ditunjukkan Tuhan kepadamu dan
kemauanmu pun lemah. Nah, bukankah itu berarti, jika kamu tidak lupa dan
jika kamu memiliki kemauan yang kuat, Tuhan tidak akan menyuruhmu turun
ke bumi ? Jika itu terjadi, bukankah takdir Tuhan juga tidak berlaku ?”
Adam tertawa. Mungkin ia senang karena aku sudah mulai dapat mengikuti pembicaraannya.
” Anak bebal,” kata Adam di ujung tertawanya, dan aku kesal jika disebut anak bebal.
” tadi kan aku sudah bilang, Tuhan melakukan sesuatu itu atas
kemauanNya sendiri dan untuk diriNya sendiri. Tidak ada yang dapat
membatalkan rencana Tuhan. Setiap rencana Tuhan pasti terjadi. Begitu
pun rencanaNya untuk menempatkan aku di bumi. Tuhan punya cara untuk
memuluskan rencanaNya.”
Aku memandang Adam.
”
Semua yang terjadi dan menimpa manusia itu sudah berada dalam rencana
Tuhan,” kata Adam lagi. ” Tidak ada satu pun mahluk yang dapat mengelak
dari rencana itu. Maka tidak ada gunanya melawan kehendak Tuhan. Yang
harus kita lakukan adalah menyesuaikan diri, jika rencana Tuhan itu
terjadi pada kita. Tidak usah melawan. Tidak usah berontak. Terimalah
semuanya, dan sesuaikan dirimu dengan keadaan baru yang telah terjadi
pada dirimu sesuai dengan rencanaNya.”
” Tetapi bagaimana Tuhan memuluskan rencanaNya sehingga kamu akhirnya juga harus turun dari sorga ?”
Adam terkekeh. ” Dasar anak bebal,” ujarnya dengan menyebutku anak bebal,
sebutan yang amat kubenci. ” Mula-mula Tuhan memberiku kemuliaan, yang
dengan kemuliaan itu Dia memerintahkan kepada para Malaikat "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis
(QS 2:34). Artinya Dia menciptakan musuh yang bertugas untuk membuatku
lalai dan ingkar kepadaNya, yaitu Iblis. Itulah rencana Tuhan untuk pada
akhirnya menempatkan aku di bumi. Iblis selalu membisikkan kepadaku
untuk melanggar apa yang sudah dilarang oleh Tuhan, yaitu janganlah kamu dekati pohon ini yangmenyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim (QS 2:35). Iblis menjalankan tugasnya dengan baik lalu aku dan isteriku digelincirkan dari sorga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula (QS 2:36). Semula aku adalah menyandang baju kemuliaan, tetapi karena aku dan isteriku memakan
dari buah pohon itu, lalu ditanggalkanlah baju kemuliaan itu sehingga
nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah
ia (QS 20:112).”
Aku
tercenung, Adam dan isterinya yang semula mengenakan baju kemuliaan
yang dianugerahkan Tuhan, gagal mempertahankan baju itu, karena ia
tergoda oleh rayuan Iblis. Kedurhakaan telah menyebabkan Adam harus
menanggalkan baju kemuliaan, bahkan ia berada dalam kelompok manusia
yang sesat.
”
Ketahuilah,” kata Adam lagi, ” sejak itu, takdir Tuhan menempatkan aku
di bumi menjadi kenyataan. Aku tidak mungkin mengelak dari rencana
Tuhan. Yang dapat aku lakukan adalah menyesuaikan diri dengan keadaanku
yang baru. Karena Tuhan sudah berjanji kepadaku turunlah kamu ke
bumi, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain, dan bagi kamu
ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang
ditentukan (QS 2:36).”
Aku mengangguk, ” Pantas dunia ini penuh dengan gejolak, permusuhan, kebencian dan balas dendam,” kataku.
” Bahkan kamu pun menjadi musuh bagi dirimu sendiri,” kata Adam.
Aku
terkejut dengan pernyataan ini. Mana mungkin aku memusuhi diriku
sendiri ? Tetapi Adam hanya tersenyum melihatku dalam kebingungan
mencerna kata-katanya.
” Perhatikan baik-baik, anak bebal,” katanya. ” Tuhan mengatakan sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.
Ini seharusnya menyadarkan kamu, bahwa dalam dirimu ada dua potensi,
yaitu potensi kemuliaan dan potensi kehinaan. Jika kamu punya keinginan
untuk berbuat atau melakukan perbuatan mulia, itu artinya bagian dari
potensi kemuliaan itu ingin tetap eksis. Tetapi, jika kemudian kamu
merasa malas melakukan perbuatan mulia, itu artinya bagian dari potensi
kehinaan pun sedang berjuang untuk tetap eksis. Bukankah itu artinya,
keduanya saling bermusuhan ?”
” Benar juga,” gumamku.
” Bukan benar juga, tetapi memang benar begitu,
anak bebal,” sahut Adam. ” Manusia sering terkecoh karena mereka lebih
suka memandang ke luar dari dirinya. Jika diberitahu bahwa setan itu adalah musuh yang nyata bagimu,
maka perhatiannya di arahkan ke luar. Lalu kamu menuduh orang yang
tidak pernah salat, tidak pernah berpuasa, tidak pernah mengaji, tidak
mau pergi haji, yang tidak pernah mau berbuat kebaikan sebagai anak buah
setan. Merekalah musuh, karena mereka berteman dengan setan. Tidak
pernah sekali pun mereka melihat kepada dirinya sendiri. Mereka tidak
merasa, jika dalam kesendirian tidak ada orang lain, lalu mereka merasa
aman sehingga berani melakukan perbuatan tercela, bahwa dirinya adalah
teman setan. Mungkin malah dirimu sendiri itulah setan bagi dirimu. Maka
dari itu, lihatlah selalu dirimu sebelum kamu mengarahkan jari
telunjukmu kepada orang lain.”
Aku menghela nafas. Adam memandangku. Anehnya, tiap kali Adam memandangku aku merasa diriku sedang memandangi diriku sendiri.
” Coba ingat,” kata Adam lagi. ” Ketika aku tergoda Iblis, apakah ada orang lain ?”
” Ada,” kataku.
” Siapa ?”
” Isterimu.”
”
Isteriku pun bagian dari diriku. Dia adalah tulang rusukku. Sehingga
apa yang menjadi keinginannya pun menjadi keinginanku. Aku tidak berhak
menyalahkan dia, karena keberadaannya mendampingiku juga karena diriku.
Tuhan menyayangi aku, dan memberiku teman dari diriku sendiri.”
” Jadi ?”
”
Kalau aku berbuat baik kepadanya, itu artinya aku berbuat baik bagi
diriku sendiri. Sebaliknya, jika aku jahat kepadanya, artinya aku pun
jahat pada diriku.”
” Kalau dia yang berbuat jahat ?”
” Itu perbuatan jahat untuk dirinya dan diriku juga.”
Aku terperangah. Aneh.*****
No comments:
Post a Comment