Hidup yang keras dan sibuk menyebabkan
aku nyaris melupakan pencarianku pada kesejatian syahadat. Aku harus
selalu berpacu dengan waktu, bergelut dengan hidup memenuhi kewajiban
memberikan nafkah untuk keluarga. Rasanya tidak ada waktu sedetik pun
yang aku lewatkan untuk bermalasan, sebab jika aku malas, maka aku akan
digilas oleh kebutuhan yang tak pernah surut. Dalam bahasa lokal saya sikil nggo sirah, sirah nggo sikil
untuk menegaskan betapa aku tidak memedulikan yang lain selain bekerja
keras agar aku punya rumah untuk bernaung anak dan isteri, agar aku
punya kendaraan sehingga aku dapat bepergian dengan mudah. Dengan satu
kalimat : aku benar-benar mengejar dunia.
Ternyata
Tuhan menyayangiku dengan memanggil pulang Ayahku pada dini hari
sekitar jam 02.45, pada hari terakhir bulan Februari 1987, tanpa keluhan
sakit apa pun. Kepergiannya yang mendadak seperti merontokkan
jantungku. Tuhan tidak dapat diajak kompromi.
Ya,
aku ingat ada Tuhan yang berkuasa. Semua yang Ayah miliki, termasuk
kami anak-anaknya dan isterinya yang adalah Ibuku, ditinggalkannya.
Tidak ada yang menyertainya. Ayah pulang sendirian menghadap Tuhan.
Kesadaran
ini amat menyentak. Tuhan, Allah, atau dengan sebutan apa pun Dia
dipanggil, kembali menyadarkan aku pada kesejatian syahadat yang nyaris
aku lupakan. Rupanya, Tuhan mengingatkan aku melalui peristiwa wafatnya
Ayahku. Bahkan kali ini lebih menyentak, karena beberapa jam sebelum
wafat, Ayah masih sempat ngobrol denganku. Rasanya aku masih belum lelap
benar, ketika Ibu membangunkan aku, dan kudapati Ayah sedang menghadapi
sakaratulmaut. Aku tidak dapat melakukan sesuatu, selain membisikkan
kata-kata ”Allah, Allah,Allah” di telinga Ayah. Lalu tidak lama
kemudian, nafas Ayah terhenti. Ayahku wafat.
Innalillahi
wa inna ilaihi roji’un, bisikku. Lalu kututup tubuh Ayah yang membujur
tak bergerak. Matanya terpejam. Wajahnya bersih. Tubuhnya terasa dingin.
Tubuh
yang membujur itu disebut jenazah. Dan aku menutupinya dengan kain,
sementara Ibuku menangis, Isteriku menangis, adik-adikku menangis.
Tetapi Ayah sudah tidak lagi mendengar, entahlah, aku tidak tahu. Tetapi
rasanya, semua yang ada di rumah, tidak lagi berguna bagi Ayah.
Isterinya dia tinggalkan, anak-anak dia tinggalkan, bahkan karya-karya
monumental yang sedang dirintisnya pun ditinggalkan.
Tanpa
aku ketahui, sejak itu aku menjadi benci waktu malam. Aku selalu
disergap kegelisahan tiap kali waktu malam tiba. Ketika matahari
berangsur terbenam, alam sekitarku mulai gelap, pintu dan jendela rumah
ditutup, cahaya matahari digantikan oleh sinar lampu pijar, aku tidak
dapat menyembunyikan kegelisahan. Entah dari mana datangnya, aku selalu
merasa, malaikat maut akan datang bersamaan dengan datangnya kegelapan.
Gelap yang menyentakku pada sebuah kesadaran, ”gelap
gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya,
tiadalah dia dapat melihat, barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh
Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun” (QS 24:40).
Ternyata, gelap pun memberikan pelajaran dan menjadi peringatan bagiku
untuk segera menyadari bahwa apa pun yang dapat kita lihat dengan
matakepala kita, sebenarnya bukan karena kemampuan kita, melainkan
karena Allah memberikan cahaya sehingga segala sesuatu dapat diserap
oleh retina mata kita.
Sebenarnya
dunia – dan segala sesuatu yang bersifat duniawiah – adalah kegelapan,
sehingga siapapun yang menjadikan dunia ini sebagai gantungan hidup,
maka sebenarnya dia bergantung pada kegelapan. Karena itulah, Allah
perlu memberitahukan ”Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS
24:35), untuk mengetuk kesadaran manusia ke arah mana seharusnya
orientasi hidup manusia diarahkan. Jika orientasinya serba dunia, yang
berarti serba benda, materi, maka dia sebenarnya berada dalam orientasi
kegelapan, sehingga dia tidak dapat melihat esensi dari segala sesuatu.
Langkah
yang mengarah pada dunia, mengantarkan manusia pada kegelapan. Ada
sebagian orang yang menyatakan, dalam kegelapan itulah setan berada. ”Allah
pelindung orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
kepada cahaya. Dan orang yang kafir, pelindung mereka adalah setan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah
penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (QS 2:257).
Inilah
yang aku maksud sebagai kesadaran yang menyentak diriku, ketika aku
mendapati diriku yang tiba-tiba menjadi begitu khawatir dan takut saat
gelap mulai menyelimuti alam. Aku mulai sadar, jika kegelapan duniawi
bisa diusir dengan cahaya api atau sinar lampu, lalu dengan apakah
kegelapan kematian itu dapat diusir ? Hanya ada satu kata : Tuhan,
karena Dialah Sang Maha Cahaya. Dialah yang harus aku cari. Dialah yang
harus aku temukan.
Tetapi di mana dan bagaimana ?
Dua
pertanyaan itulah yang menyebabkan aku kembali melanjutkan pencarianku
atas jawaban terhadap kesejatian syahadat. Aku mulai sadar, syahadat
bukan sekedar mengucapkan ”aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Jika aku bersaksi, maka artinya aku harus menyaksikan. Jika aku tidak
menyaksikan, tetapi aku bersumpah telah menyaksikan, hakekatnya aku
telah melakukan persaksian palsu. Padahal saksi palsu diancam dengan
hukuman yang berat, tidak saja dalam pandangan hukum manusia, melainkan
yang terutama dalam pandangan Tuhan.
Berbekal
pertanyaan itulah aku mendatangi para Kyai, Ustad dan Ulama untuk
mendapatkan pencerahan dan petunjuk mereka tentang bagaimana aku dapat
terhindar dari persaksian palsu yang amat berat hukumannya itu. Tidak
hanya sehari dua hari, sebulan dua bulan, tetapi bertahun-tahun.
Sejak
itu, aku hanya meminta kepadaNya : ” Tuhan, temukan aku dengan orang
yang dapat membimbingku untuk bersyahadat denganMu”. Aku tidak akan
lelah mencarinya.*****
diambil dari:http://www.kompasiana.com
No comments:
Post a Comment