Wednesday, April 28, 2021

KISAH RASULULLAH SAW #4

Bagian ke 4


Dicopy dari akun Twitter @sayidmachmoed
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Percakapan dengan Aminah
Karena kejadian itu, Halimah kembali ke Mekah dan menyerahkan Muhammad kepada ibunya. Aminah menerima kedatangan mereka dengan rasa heran ”Mengapa engkau mengantarkannya kepadaku, wahai ibu susuan? Padahal sebelumnya engkau meminta ia tinggal denganmu?"
“Ya," jawab Halimah“Allah telah membesarkan Muhammad. Aku sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasku. Aku merasa takut karena ada banyak kejadian terjadi padanya. Jadi, ia aku kembalikan kepadamu seperti yang engkau inginkan." “Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Aminah, “berkatalah dengan benar kepadaku."
Halimah terdiam sejenak, lalu bercerita dengan rasa berat, “Ada dua orang berbaju putih membawanya ke puncak bukit. Mereka membelah dan mengeluarkan sesuatu dari dalam dadanya." Setelah berkata demikian, Halimah mengangkat wajahnya memandang Aminah, tetapi ia terkejut melihat wajah Aminah demikian tenang.
“Apakah engkau takut setanlah yang mengganggunya?" tanya Aminah. Halimah mengangguk, “Itulah sebenarnya yang membuatku khawatir sehingga cepat-cepat mengembalikannya kepadamu." Aminah menarik napas.
“Demi Allah," katanya “Setan tdk akan mendapatkan jalan utk masuk ke dalam jiwa Muhammad. Sesungguhnya, anakku akan menjadi orang besar dikemudian hari. Ketika aku mengandungnya, aku melihat sinar keluar dari perutku, dgn sinar tsb aku bisa melihat istana-istana Busra di Syam menjadi terang benderang. Demi Allah, aku belum pernah melihat orang mengandung yang lebih ringan dan lebih mudah seperti yang kurasakan. Ketika aku melahirkan nya, ia meletakkan tangannya di tanah dan kepalanya menghadap ke langit." Halimah mendengar semua itu dengan takjub. Aminah menyentuh tangan Halimah dan berkata lembut
“Biarkan ia bersamamu dan pulanglah dengan tenang." Muhammad kecil pun kembali dibawa pulang. Namun, lagi-lagi terjadi sebuah peristiwa yang akhirnya membuat Halimah benar-benar kawatir dan mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
Orang-Orang Habasyah
“Kak, tunggu!" seru Muhammad sambil berlari menuruni bukit. Saat itu, usia Muhammad sudah 5 tahun. Ia sedang berlari mengejar saudara saudaranya, yaitu anak anak Halimah. Mereka sedang menggembala kambing. “Ayo Muhammad kejar kami kalau bisa!" ujar Syaima, anak perempuan sulung Halimah sambil tertawa.
Anak-anak itu terus bermain. Diam-diam, ada beberapa orang Nasrani dari Habasyah sedang memerhatikan mereka.
“Lihat, Kak! Itu Ibu datang!" seru Muhammad, anak-anak menoleh. Mereka memekik senang melihat Halimah datang menjemput. Namun, wajah Halimah tampak khawatir. Ia mencurigai beberapa bayangan yang sedang mengintai sambil berbisik bisik di kejauhan. Hatinya makin berdebar ketika orang-orang Habasyah itu datang mendekat.Tanpa memedulikan dirinya, mereka langsung mendekati Muhammad.
“Paman mau apa?" tanya Muhammad.
“Berbaliklah, Nak! Kami ingin melihat punggungmu!" perintah salah seorang dari mereka. Muhammad membalikkan badan, lalu orang-orang Habasyah itu saling pandang dengan wajah terkejut. Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka berbalik ke tempat semula dan kembali berunding sambil berbisik, “Kalian bermainlah lagi, Ibu akan mencari tahu apa yang mereka bicarakan!" kata Halimah kepada Muhammad dan saudara-saudaranya.
Diam-diam, Halimah mendekati tempat orang-orang Habasyah itu berada dan terkejut mendengar apa yang mereka katakan, “Kita harus merampas anak ini dan membawanya kepada raja di negeri kita. Kita telah mengetahui seluk beluk tentang dia! Ada tanda di punggungnya yang meramalkan anak ini kelak akan menjadi orang besar." Diam-diam, Halimah menjauh
“Aku harus melarikan Muhammad dari mereka sekarang juga!"
Tanda-Tanda Rasul Terakhir pada Injil
Orang-orang Nasrani Habasyah itu tahu bahwa seorang Rasul terakhir akan dibangkitkan dan mereka diperintahkan mengikutinya seperti yang tertera pada Injil di bagian Kitab Ulangan (18): 15-22, “Bahwa seorang Nabi di antara kamu, dari antara segala saudaramu dan yang seperti aku ini, yaitu akan dibangkitkan oleh Tuhan Allah-mu bagi kamu, maka dia haruslah kamu dengar." Kemudian Halimah cepat-cepat mengajak Muhammad pergi, namun dari kejauhan orang-orang Habasyah itu terlihat bergegas mengikuti mrk. Untunglah Halimah mengenal daerah itu dengan baik, sehingga mrk bisa melepaskan diri dari kejaran orang-orang Habasyah walaupun dengan susah payah. Tidak berapa lama kemudian, Halimah berkemas menyiapkan Muhammad untuk segera kembali ke Mekah.
Sedih sekali Muhammad harus berpisah dengan saudara-saudaranya. Syaima, Unaisah, dan Abdullah.
“Muhammad, jangan lupakan kami ya?" pinta Syaima dengan mata berkaca-kaca.
Catatan;
(Syaima nama asli nya Huzaifah. Ia mempunyai julukan asy-Syaima. Nama ini lebih populer dibanding nama aslinya) Muhammad mengangguk sambil memeluk mereka satu persatu. Kemudian, berangkatlah Muhammad meninggalkan dusun Bani Sa'ad dengan semua kenangan indah yang tidak akan pernah hilang dari benaknya seumur hidup. Halimah mengelus kepala Muhammad penuh sayang, “Bergembiralah, Muhammad. Engkau akan berjumpa dengan ibu dan kakekmu."
Mekah pada malam hari sangat ramai ketika mereka tiba. Saat melalui kerumunan orang itulah, Muhammad terpisah dan hilang. Halimah kebingungan. Ia takut orang-orang Habasyah itu diam-diam masih mengikuti mereka dan mengambil kesempatan ini untuk menculik Muhammad.
Sambil menangis, Halimah mendatangi Abdul Muthalib “Sungguh, pada malam ini, aku datang dengan Muhammad, namun ketika aku melewati Mekah Atas, ia menghilang dariku. Demi Allah, aku tidak tahu di mana kini ia berada." Setelah memerintahkan orang untuk mencari, Abdul Muthalib berdiri di samping Ka'bah, lalu berdoa kepada Allah agar Dia mengembalikan Muhammad kepadanya. Tidak lama kemudian, datanglah seseorang bernama Waraqah bin Naufal dan seorang temannya dari Quraisy. Keduanya menyerahkan Muhammad kepada Abdul Muthalib
“Ini anakmu, kami menemukannya di Mekah Atas."
Alangkah lega dan gembiranya Abdul Muthalib. “Cucuku!" katanya sambil mendekap Muhammad. Abdul Muthalib memperhatikan cucunya dengan wajah berseri-seri, “Apakah kamu mau kakek ajak menunggangi unta yang
hebat
?"
“Mau. Tetapi, mana untanya kek?" Jawab Muhammad. Sambil tertawa, Abdul Muthalib mengangkat Muhammad dan mendudukkannya di atas bahu.
“Kau kini telah menduduki untanya, Nak! Ha....ha....ha...." Kakek sambil tertawa
“Wah, unta hebatnya kok sudah tua ya Kek?" “Biar tua, tapi ini unta yang
hebat
, cucuku! Lihat unta ini mampu mengajakmu berthawaf mengelilingi Ka'bah."
Ujar sang kakek.
Abdul Muthalib membawa Muhammad berthawaf di Kabah. Setelah itu ia memintakan perlindungan Tuhan untuk cucunya itu dan mendoakannya. “Mari kita menemui ibumu sekarang," ajak Abdul Muthalib.
Alangkah senangnya anak dan ibu itu ketika mereka saling bertemu. Walaupun demikian, tersisip kesedihan di hati Muhammad ketika ia melepas Halimah As Sa'diyah, ibu susu yang selama ini telah merawatnya dengan limpahan kasih yg demikian besar.
“Selamat tinggal Muhammad. Jadilah orang besar seperti yang pernah dikatakan ibumu," kata Halimah sambil menyeka air mata dan beranjak pergi. Sampai dewasa, Muhammad tidak pernah memutuskan tali silaturahim dengan ibu susunya itu.
Gembala Kambing
Mulai dari hidupnya di Bani Sa'ad sampai masa kecilnya di Mekah, hidup Nabi Muhammad dilalui sebagai seorang gembala.
Waraqah bin Naufal
Waraqah bin Naufal adalah paman Khodijah (kelak menjadi istri Muhammad).
Waraqah bin Naufal tidak menyukai berhala. Ia tetap mengikuti ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, menjadi hamba Allah yang setia. Ia tidak meminum minuman keras dan tidak berjudi. Ia bermurah hati terhadap orang orang miskin yang membutuhkan pertolongannya.
Di Bawah Asuhan Kakek
Sejak itu, Abdul Muthalib bertindak sebagai pengasuh cucunya. Ia mengasuh Muhammad dengan sungguh-sungguh dan mencurahkan segala kasih sayangnya. Abdul Muthalib adalah pemimpin Quraisy dan seluruh Mekah. Untuk dia, diletakkan hamparan khusus tempatnya duduk dibawah naungan Ka'bah. Anak-anak beliau, paman Muhammad, tdk ada yg berani duduk di tempat itu, mrk duduk di sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kpd ayah mrk.
Suatu hari, Muhammad kecil yang montok itu duduk di atas hamparan tersebut. Serentak paman-paman beliau langsung memegang dan menahan Muhammad agar tidak duduk di atas hamparan. Namun, ketika Abdul Muthalib datang dan melihat kejadian tersebut, berkata: “Biarkan anakku itu," katanya, “Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung”
Kemudian, Abdul Muthalib duduk di atas hamparan tsb sambil memangku Muhammad. Dielus-elusnya punggung Muhammad penuh sayang. Abdul Muthalib bergembira dgn apa yg dilakukan cucunya itu. Lebih-lebih lagi, kecintaan kakek kepada cucunya itu timbul ketika Aminah kemudian berniat membawa Muhammad ke Yatsrib untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara ibunya dari keluarga Najjar.
Perjalanan ini juga bertujuan menengok makam Abdullah, ayah Muhammad. Sudah lama Aminah memendam keinginan untuk menengok makam suami tercintanya itu. Kini, ia akan berangkat dengan ditemani putranya seorang.
Aminah Wafat
Dalam perjalanan itu, Aminah membawa Ummu Aiman, budak perempuan peninggalan Abdullah. Sesampainya di Yatsrib, mereka disambut oleh saudara saudara Aminah. Kepada Muhammad diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah saat pertama Muhammad benar-benar merasa dirinya sebagai anak yatim. Apalagi ia mendengar ibunya bercerita panjang lebar tentang sang ayah tercinta yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal dunia. (Di kemudian hari, setelah hijrah, pernah juga Rasulullah SAW menceritakan kepada sahabat-sahabatnya tentang kisah perjalanan masa kecil beliau ke Yatsrib yang saat itu telah berubah nama menjadi Madinah. Beliau amat terkenang dengan perjalanan bersama ibunya itu, kisah perjalanan penuh cinta pada Madinah, kisah penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya).
Setelah mendengar kisah tsb dari Rasulullah, para sahabat tdk bisa menahan air mata mrk. Semua larut dalam kesedihan. Sesudah cukup sebulan tinggal di Madinah, mereka pun bersiap pulang. Mereka berjalan dengan menggunakan dua ekor unta yang mereka bawa dari Mekah.
Akan tetapi, di tengah perjalanan, di sebuah tempat bernama Abwa Aminah menderita sakit hingga kemudian meninggal di tempat itu. “Ibu! Ibu!" panggil Muhammad kepada ibunya yang sudah wafat.
Dalam pelukan Ummu Aiman, dengan air mata meleleh, Muhammad menyaksikan tubuh ibunya dikuburkan di tempat itu.
Pada usia enam tahun. Muhammad SAW telah menjadi seorang anak yatim piatu.😭😭Abwa
Abwa adalah sebuah dusun yang terletak di antara Madinah dengan Juhfa. Jaraknya 37 km dari Madinah.
Abdul Muthalib Wafat
Muhammad dibawa pulang oleh Ummu Aiman. Ia pulang sambil menangis hatinya pilu karena kini sebatang kara. Muhammad makin merasa kehilangan. Ia menjalani takdir sebagai seorang anak yatim-piatu. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi dan semakin sedih. Baru beberapa hari yang lalu, ia mendengar dari ibunya cerita keluhan duka kehilangan ayahandanya semasa ia dalam kandungan.
Kini, ia melihat sendiri di hadapannya, ibunya pergi untuk tidak kembali lagi, sebagaimana ayahnya dulu. Muhammad yang masih kecil itu kini memikul beban hidup yang berat, sebagai seorang yatim-piatu.
Ketika tiba di Mekah, Abdul Muthalib menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam. Kecintaan Abdul Muthalib pun semakin bertambah kepada Muhammad. Rasa duka Muhammad mungkin agak ringan apabila kakeknya, Abdul Muthalib, dapat hidup lebih lama lagi. Namun, Allah sudah menentukan lain. Pada usia 80 tahun, sang kakek pun meninggal dunia. Saat itu, Muhammad berusia delapan tahun. Ia mengiringi jenazah kakeknya ke kubur sambil berlinangan air mata
Kenangan sedih sebagai yatim-piatu membekas begitu dalam pd diri nya, sehingga didalam Al Quran pun disebutkan ketika Allah mengingatkan Rasulullah akan nikmat yg di anugerahkan kepadanya ditengah kesedihan itu
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?”
Surah Ad-Duha (93:6)
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”
Surah Ad-Duha (93:7)
Keluarga Umayyah
Kematian Abdul Muthalib merupakan pukulan yang berat bagi keluarga Hasyim. Tidak ada anak anak Abdul Muthalib yang memiliki keteguhan hati, kewibawaan, pandangan tajam, terhormat, dan berpengaruh di kalangan Arab seperti dirinya. Kemudian keluarga Umayyah tampil ke depan mengambil tampuk pimpinan yang memang sejak dulu mereka idam idamkan, tanpa menghiraukan ancaman yang datang dari keluarga Hasyim.
Diasuh Abu Thalib
Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad. Ia tidak menunjuk Abbas yang kaya, namun agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist, putranya yang tertua karena Harist adalah orang yang tidak mampu. Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad karena sekalipun miskin, Abu Thalib memiliki perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy. Abu Thalib juga amat menyayangi kemenakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti, dan baik hati, sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan kepentingan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri. Begitu pun sebaliknya, Muhammad amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berhutang kepada orang lain. Abu Thalib lebih suka bekerja keras memeras keringat untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, tanpa ragu, Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu pekerjaan keluarga Abu Thalib, menggembalakan kambing, dan mencari rumput. Abu Thalib merasa bahwa Muhammad kelak akan menjadi orang yang bersih hatinya dan dijauhkan dari dosa. Ia yakin, jika mengajak Muhammad berdoa, Tuhan akan mengabulkan ;“Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta hujan "Maka, Abu Thalib keluar bersama Muhammad. Ia menempelkan punggung Muhammad ke dinding Ka'bah dan berdoa. Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras hingga tanah di lembah lembah dan di ladang menjadi gembur.
Mengikuti Paman
Hati Muhammad kecil merasa pengap dengan kehidupan di Mekah. Setiap hari, dilihatnya anak-anak fakir miskin seusianya bekerja bersama-sama dengan bertelanjang tanpa rasa malu. Muhammad juga melihat setiap malam pintu rumah orang2 kaya tertutup rapat. Di dalam, mrk berpesta pora menyaksikan para penari, dan bermabuk-mabukan sampai pagi sambil dijaga oleh para budak. Padahal, ditempat lain, ia melihat orang2 berjuang mencari rezeki antara hidup dan mati.Muhammad sering sekali melintas di depan gubuk-gubuk reyot dan rumah-rumah kumuh. Pintu-pintu mereka juga tertutup rapat, tetapi di dalamnya tinggal orang orang yang hidup menderita. Orang-orang itu jika tidak memiki bahan makanan, besok atau lusa terpaksa menggadaikan anak gadis, istri atau ibunya untuk dikumpulkan menjadi budak para saudagar demi melepaskan diri dari lilitan hutang.Di depan gubuk-gubuk itu, Muhammad melihat para pemuda berkumpul. Pikiran mereka dipenuhi impian tentang datangnya mukjizat yang akan mampu membebaskan Mekah dari kebiadaban. Para pemuda itu berkumpul mengelilingi seorang laki-laki yang bercerita tentang legenda-legenda indahorang-orang terdahulu yang berjuang melawan raja yang sewenang-wenang.
Suatu saat, pada usia Muhammad 12 tahun, Abu Thalib berniat pergi berdagang ke Syam untuk mencari nafkah.
“Ajaklah aku, Paman!" pinta Muhammad “Tetapi, perjalanan padang pasir begitu sulit dan jauh! Aku tidak tega mengajak anak sekecilmu menempuh kesulitan sedemikian berat!" Saat itu, hanya Abu Thalib tempat Muhammad berlindung. Ia merasa amat kesepian jika harus menghadapi kehidupan Mekah seorang diri, tanpa ada paman di sampingnya.
“Kepada siapakah Paman akan meninggalkan aku seorang diri apabila Paman pergi nanti?" tanya Muhammad begitu mengiba. Abu Thalib sangat terharu, mendengar perkataan kemenakannya
“Demi Allah, aku pasti membawanya pergi. Ia tidak boleh berpisah denganku dan aku tidak boleh berpisah dengannya selama-lamanya."
Lihb Si Peramal
Orang-orang Quraisy sering mendatangi Lihb dengan membawa anak anaknya untuk diramal.
Suatu hari, Lihb melihat Muhammad.
“Kemarilah, hai anak muda!" serunya. Namun, Abu Thalib segera menyembunyikan Muhammad dan membawanya pergi hingga Lihb berteriak-teriak “Celakalah kalian, bawa ke sini anak muda yang aku lihat tadi! Demi Allah, anak ini akan menjadi orang besar di kemudian hari!"
Jamuan Buhaira
Berangkatlah rombongan kafilah Quraisy menuju ke Syam Ketika tiba di Busra, mereka melewati rumah ibadah seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Ia adalah pendeta yang pandai. Di rumah ibadahnya, selalu ada pendeta dan umat Nasrani yg menuntut ilmu kepada Buhaira. Biasanya, Buhaira tidak pernah menggubris rombongan Quraisy yang setiap tahun melintas di tempat itu. Namun, kali ini ada yang berubah pada diri Buhaira. Ketika rombongan Quraisy, termasuk Abu Thalib dan Muhammad, singgah di dekat rumah ibadahnya, Buhaira memerintahkan para pembantunya untuk membuat masakan yang banyak.
Buhaira berbuat begitu karena dari jendela rumah ibadahnya, ia melihat hal yang aneh pada rombongan Quraisy. Ada awan kecil yang bergerak pelan mengikuti ke mana pun kafilah pergi. Ada sesuatu atau seorang di dalam kafilah yang dilindungi awan itu dari terik matahari.
Buhaira bergegas mendatangi kafilah yang tengah beristirahat di bawah pepohonan rindang dan berkata “Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku telah membuat makanan untuk kalian. Aku ingin kalian semua, anak kecil, orang dewasa, budak, dan orang merdeka, singgah di rumahku"
Salah seorang Quraisy bertanya; “Demi Allah, hai Buhaira, alangkah istimewanya apa yang engkau perbuat kepada kami hari ini. Padahal, kami sering melewati tempat mu ini. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
“Engkau benar," jawab Buhaira, “dulu aku memang seperti yang engkau katakan. Namun, kalian, semuanya, adalah tamuku kali ini dan aku ingin menjamu kalian. Aku telah membuat makanan dan kalian semuanya harus ikut makan. "Dengan senang hati, rombongan Quraisy pun masuk ke rumah Buhaira untuk memenuhi undangannya. Hanya saja, Muhammad tidak ikut karena ia masih kecil. Ia ditugaskan menjaga perbekalan kafilah.
Negeri Syam
Abu Thalib berangkat tahun 582 Masehi ke negeri Syam.
Syam saat itu adalah sebuah negeri yang wilayahnya (sekarang) meliputi Syria, Yordania, dan Palestina.
Syam berada di bawah pemerintahan Romawi Timur
Bersambung besok, insya Allah

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...