Wednesday, April 28, 2021

KISAH RASULULLAH SAW #3

 Bagian ke 3


Dicopy dari akun Twitter @sayidmachmoed
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
“Maju! Maju! Apa yang terjadi padamu?" bentak Abrahah pada tunggangannya.
“Dalam berbagai medan pertempuran, belum pernah kamu mengecewakan aku seperti ini! Kamu bahkan tampak ketakutan. Ada apa sebenarnya? “Paduka! Ada yang datang dari arah laut!" teriak seorang prajurit sambil menunjuk-nunjuk panik.
Saat itulah, dari arah laut, Allah mengirim kawanan burung yang kepakan sayapnya menutupi sinar matahari seperti iringan awan mendung yang bergerak cepat. Burung-burung itu menjatuhkan batu-batu menyala ke arah pasukan gajah. Dengan panik setiap orang berusaha menyelamatkan diri, tetapi sia-sia. Semua orang, termasuk Abrahah, mati.
Peristiwa ini Allah SWT abadikan dalam Surah Al-Filأَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Surah Al-Fil (105:1)أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka´bah) itu sia-sia?
Surah Al-Fil (105:2)وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong bondong
Surah Al-Fil (105:3)
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
yang melempari mereka dengan batu (berasal)
dari tanah yang terbakar
Surah Al-Fil (105:4)Wabah Penyakit
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yg dibawa burung itu adalah kuman wabah penyakit cacar. Dalam beberapa hari saja seluruh pasukan mati dgn tubuh rusak seperti daun dimakan ulat. Abrahah berhasil kembali ke Yaman, tdk lama setelah itu ia mati sperti pasukannyaKembali ke Mekah
Abdullah bin Abdul Muthalib tidak jadi disembelih karena telah ditebus ayahnya dengan 100 ekor unta.
Abdullah adalah pemuda yang berwajah tampan. Kegagahan parasnya banyak menarik perhatian gadis-gadis Mekah. Apalagi setelah mereka tahu bahwa nyawa Abdullah telah ditebus dengan 100 ekor unta, suatu jumlah yang luar biasa yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Walaupun banyak gadis yang berusaha menggodanya, kesopanan Abdullah tetap terjaga. Setelah penebusan Abdullah, Abdul Muthalib menggandeng tangan putranya menuju rumah Wahb bin Abdul Manaf. Wahb mempunyai seorang putri bernama Aminah. Abdul Muthalib sudah sepakat dengan Wahb untuk menikahkan putra-putri mereka. Namun, di tengah jalan, seorang gadis cantik menegur Abdullah, “Engkau akan pergi ke mana, wahai Abdullah?"
“Aku akan pergi bersama ayahku." Tanpa memedulikan Abdul Muthalib, gadis itu berkata “Kulihat engkau memang dituntun ayahmu, tak ubahnya seperti seekor unta yang akan disembelih. Demi engkau, aku akan menerimamu jika engkau mau menikahi diriku sekarang juga”
Abdullah terperangah. Ia menatap gadis itu dgn gugup “Siapakah gadis ini?” Pikir Abdullah, "dilihat dari pakaiannya yg dipenuhi perhiasan mahal, ia pasti seorang gadis bangsawan. Matanya yg hitam memancarkan sinar yg teduh seperti yg dimiliki gadis-gadis berperangai lemah lembut penuh kasih sayang, apa yg harus kukatakan kepadanya? "Ketika Abdullah menoleh kepada ayahnya, dilihatnya Abdul Muthalib memberi isyarat agar Abdullah terus melangkah dan tidak menggubris sang gadis .
"Aku bersama ayahku." Aku tak kuasa menolak kehendaknya dan berpisah dengannya. Abdullah kembali berjalan bersama ayahnya. Hatinya dipenuhi rasa iba dan simpati kepada gadis yang ditinggalkannya.
Hari itu juga, Abdul Muthalib datang ke rumah Wahb bin Abdul Manaf. Mereka sepakat menjodohkan Abdullah dengan Aminah. Keesokan harinya, Abdullah bertemu lagi dengan gadis yang kemarin. Abdullah menyapanya, “Mengapa engkau tidak menyapaku seperti kemarin?" Gadis itu menjawab dengan ketus “Sinar berseri-seri yang kemarin kulihat pada wajahmu sudah tidak ada lagi. Karena itu, sekarang aku sudah tidak membutuhkanmu!"
Sinar Kenabian
Sinar berseri-seri yang dilihat sang gadis pada wajah Abdullah menurut sebagian ahli sejarah adalah sinar kenabian yang akan diturunkan Abdullah kepada putranya ketika Abdullah sudah dijodohkan dengan Aminah, maka gadis itu sudah tidak bisa lagi berharap akan memiliki putra yang kelak menjadi Nabi.
Pernikahan Abdullah dengan Aminah
Allah sudah menentukan bahwa jodoh yang paling tepat untuk Abdullah adalah Aminah binti Wahb. Aminah adalah gadis yang paling baik keturunan dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy. Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba. Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan kurma di kota Tha'if kembali bersemi.
Sementara itu, padang padang rumput dipenuhi harum bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun. Bagi penduduk Mekah, musim semi adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syria. Abdullah pun berniat pergi musim ini. “Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergianmu," keluh Aminah kepada suaminya. Abdullah tersenyum menentramkan, “Hatiku pun terasa tertinggal di sini, Dinda. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku."
“Bukan cuma itu, damai rasanya berada di sampingmu, Kanda." Abdullah mengangguk, “Tetapi Dinda, kini di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak berada. Saat ini, kita hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tak ada lagi kekayaan yang dapat menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi berniaga dan menambah penghasilan kita."
Aminah terpaksa mengangguk menerima kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu, seolah itu adalah detik detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya. Pada hari pernikahan Abdullah dengan Aminah, Abdul Muthalib pun menikahi sepupunya yang bernama Hala. Dari perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasulullah yang seusia dengan beliau.
Abdullah Meninggal
Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan kawannya dari Mekah hendak mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit “Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalanan pulang," kata Abdullah kepada kawan-kawannya. “Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit."
Kawan-kawannya mengangguk, “Akan kami sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini." Kafilah Mekah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul Muthalib.
“Harits!" panggil Abdul Muthalib kepada putra sulungnya. “Pergilah ke Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika sudah sembuh, jemputlah ia pulang." Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah wajah duka.
“Abdullah telah meninggal," kata mereka kepadanya, “Mari, kami antar engkau ke pusaranya." Harits pun menyampaikan berita sedih itu ke Mekah. Mengalirlah air mata di pipi Abdul Muthalib. Namun, kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya. “Selamat jalan, Kanda," isak Aminah, “Hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang hidup untuk membesarkan bayi kita."
Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir. Bayi yang kelak ditakdirkan Allah menjadi orang besar yg mengubah jalannya sejarah dunia.
Peninggalan Abdullah
Saat meninggal, Abdullah meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasulullah. Nama aslinya adalah Barokah. Ia berasal dari Habasyah.
Kelahiran Muhammad صلى الله عليه وسلم*
Pada hari Senin pagi tanggal 12 Rabiul Awwal pada tahun yang sama dengan penyerbuan Abrahah (tahun gajah), Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat itu bertepatan dengan bulan Agustus tahun 570 Masehi. (Sebagian pendapat mengatakan bahwa Aminah melahirkan pada tanggal 20 atau 21 April tahun 571 Masehi). Aminah mengutus seseorang sambil berkata, “Pergilah kpd Abdul Muthalib dan katakan, Sesungguhnya telah lahir bayi untukmu. Oleh karena itu, datang dan lihatlah.”
Abdul Muthalib bergegas datang. Ketika mengambil bayi itu dari pelukan Aminah, dadanya bergemuruh dipenuhi rasa sayang “Kehadiranmu mengingatkan aku kepada ayahmu. Sungguh, di hatiku kini dirimu hadir sebagai pengganti Abdullah."
Dengan penuh rasa syukur, ia menggendong cucunya berthawaf, mengelilingi Ka'bah. Kali ini tidak kepada berhala, tetapi kepada Allah. Abdul Muthalib berdoa dan bersyukur “Aku memberimu nama Muhammad," kata Abdul Muthalib.
Muhammad yang berarti terpuji, sebuah nama yang tidak umum di kalangan masyarakat Arab, tetapi cukup dikenal.
Kemudian, ia memerintahkan orang untuk menyembelih unta dan mengundang makan masyarakat Quraisy. “Siapa nama putra Abdullah, cucumu itu?" tanya seseorang kepada Abdul Muthalib.
“Muhammad."
“Mengapa tidak engkau beri nama dengan nama nenek moyang kita?"
“Kuinginkan ia menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi," jawab Abdul Muthalib.
Cahaya Aminah
Ketika Aminah mengandung Nabi Muhammad, ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya dan dengan sinar tersebut ia melihat istana-istana Busra di Syam. Saat itu di kalangan bangsawan Arab sudah berlaku tradisi yang baik, yakni mereka mencari wanita-wanita desa yang bisa menyusui anak anaknya. Anak-anak disusukan di pedalaman agar terhindar dari penyakit, memiliki tubuh yang kuat dan agar dapat belajar bahasa Arab yang murni di daerah pedesaan.
Tidak lama kemudian ke Mekah datanglah serombongan wanita dari kabilah bani Sa'ad mencari bayi untuk disusui. Diantara mereka ada seorang ibu bernama Halimah binti Abu Dzu'aib.
“Suamiku," Panggil Halimah, “Tahun ini sungguh tahun kering tak ada tersisa sedikitpun hasil panen di halaman kita. Lihat unta tua kita tdk lagi menghasilkan susu sehingga anak2 menangis pada malam hari krn lapar." “Semoga kita mendapat bayi seorang bangsawan kaya yang dapat memberi kita upah yang layak untuk menanggulangi kesengsaraan ini," jawab sang suami. Namun harapan mereka tak terkabul, hampir semua bayi bangsawan kaya telah diambil oleh teman-teman serombongan mereka. Hanya ada satu bayi dalam gendongan ibunya yang mereka temui. “Namanya Muhammad" kata Aminah kepada pasangan tersebut “Ia anak yatim tinggal aku dan kakeknya yang merawatnya." Halimah dan suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza saling berpandangan. Mereka enggan menerima anak yatim karena tidak ada Ayah yang dapat memberi mereka upah yang layak. Pasangan tersebut menggeleng dan pergi mencari bayi lain, Aminah memandangi bayi dalam dekapannya dengan sendu. Setiap wanita Bani Saad yang mendapat tawaran untuk menyusui Muhammad, selalu menolaknya karena anak yatim.
Sebelum kedatangan para wanita Bani sa'ad, Muhammad disusui Tsuwaibah budak perempuan Abu Lahab.
Hanya beberapa hari Muhammad disusui oleh Tsuwaibah. Akan tetapi, di kemudian hari, di sepanjang hidupnya Muhammad selalu memperlakukan Tsuwaibah dengan baik.
Ketika Halimah dan Harits kembali ke rombongan, mereka melihat semua kawan mereka telah mendapatkan bayi untuk dibawa pulang dan disusui. Melihat itu, Halimah berkata kepada suaminya,
“Demi Allah, aku tak ingin mereka melihatku pulang tanpa membawa bayi. Demi Allah, aku akan pergi kepada anak yatim itu dan mengambilnya." “Tidak salah kalau engkau mau melakukannya. Semoga Allah memberi kita keberkahan melalui anak yatim tersebut."
Akhirnya Halimah dan suaminya kembali menemui Aminah dan membawa Muhammad ke dusun mereka. Aminah melepas bayinya itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena akhirnya ada yang mengasuh Muhammad, sedih karena harus berpisah dengannya selama dua tahun ke depan
“Pergilah, Nak. Ibu menunggumu di sini," bisik Aminah dengan pipi yang hangat dialiri air mata.Tatkala menggendong Muhammad, Halimah keheranan, “Aku tidak merasa repot membawanya, seakan-akan tidak bertambah beban."
Kemudian, Halimah menyusui Muhammad.
“Lihat, bayi ini menyusu dengan lahap," kata Halimah kepada suaminya. Setelah menyusui Muhammad, Halimah menyusui bayinya sendiri. Bayi itu juga menyusu dengan lahap. Setelah itu, Muhammad dan bayi Halimah tertidur dengan lelap. “Anak kita tidur dengan lelap," bisik Halimah kepada suaminya. “Padahal, sebelumnya kita hampir tidak bisa tidur karena ia rewel terus sepanjang malam."
Malam itu, keduanya bertambah heran karena unta tua mereka ternyata kini menghasilkan susu. “Engkau tahu, Halimah. Sebelum ini unta tua kita tidak menghasilkan susu setetes pun," gumam Harits.
Suami istri itu meminum air susu unta sampai kenyang. “Malam ini benar-benar malam yang indah,” kata Halimah kepada Harits. “Bayi kita tertidur lelap dan kita pun bisa beristirahat dengan perut kenyang." “Demi Allah, tahukah engkau Halimah, engkau telah mengambil anak yang penuh berkah." “Demi Allah, aku pun berharap demikian."
Kebanggaan Rasulullah
Lingkungan di Bani Sa'ad benar-benar sangat murni. Kelak Rasulullah pun dapat berkata dengan bangga, "Aku adalah keturunan Arab yang paling tulen. Sebab aku anak suku Quraisy yang menyusui di Bani Sa'ad bin Bakr."
Keberkahan
Keberkahan yang dibawa Muhammad kecil tidak berhenti sampai di situ.
Ketika dalam perjalanan kembali ke dusun Bani Sa'ad, terjadi hal yang mengherankan.
“Suamiku, tidakkah engkau melihat hal yang aneh pada keledai tungganganku?" tanya Halimah. “Saat kita pergi, keledai ini berjalan pelan sekali," Harits menanggapi, “Tetapi, kini ia dapat berjalan cepat seolah tak kenal lelah. Padahal, beban yang dibawanya cukup berat." Keledai itu berjalan cukup cepat sehingga bisa menyusul dan melewati rombongan wanita Bani Sa'ad lainnya yang telah berjalan lebih dulu.
“Halimah putri Abu Dhu'aibi!" panggil para wanita itu keheranan, “Tunggulah kami Bukankah ini keledai yang engkau tunggangi saat kita pergi?" “Demi Allah, begitulah," balas Halimah, “ini memang keledaiku yang dulu." “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa!"
Ketika tiba di rumah, Halimah dan Harits tambah terkejut. “Sepetak tanah kita!" bisik Halimah tak percaya.“Sepetak tanah kita ini jadi begitu hijau dan subur! Padahal, saat kita berangkat, tak ada sepetak tanah pun yang lebih gersang dari ini!" “Domba-domba juga!" seru Harits, “jadi gemuk dan susunya penuh. Kini kita dapat memerah dan meminum susu mereka setiap hari." Begitulah keberkahan yang mereka terima selama mengasuh Muhammad. Namun, dua tahun pun berlalu, kini tiba saatnya mengembalikan Muhammad kepada ibunya.
Muhammad Kembali Ke Dusun
Halimah dan suaminya mengembalikan Muhammad kepada Aminah. Alangkah bahagianya Aminah bertemu lagi dengan putra tunggalnya itu.
“Lihat! Kini engkau tumbuh menjadi anak yang tegap dan sehat!" ujar Aminah. Aminah memandang Halimah dan suaminya dengan mata berbinar-binar penuh rasa terimakasih, “Kalian telah merawat Muhammad dengan baik, bagaimana aku harus berterimakasih?" Halimah dan suaminya berpandangan dengan gelisah. Sebenarnya mereka merasa berat berpisah dengan Muhammad. Mereka amat menyayangi anak itu. Selain itu, sejak Muhammad datang, kehidupan mereka dipenuhi keberkahan.“bKami cuma berharap andaikan saja engkau sudi membiarkan anak ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab, aku khawatir ia terserang penyakit menular yang kudengar kini sedang mewabah di Mekah," pinta Halimah. Aminah menyadari bahwa yang mereka pinta dan katakan ada benarnya, tetapi hatinya bimbang karena hampir tak sanggup berpisah lagi dengan putranya. Ketika, Abdul Muthalib datang. Bangga sekali ia melihat pertumbuhan cucunya yang begitu bagus di daerah pedalaman, maka ia berkata: “Aku ingin Muhammad kembali ke Dusun Bani Sa'ad sampai ia berusia lima tahun," kata Abdul Muthalib, “Agar ia di situ belajar berkata-kata dan telinganya terbiasa mendengarkan bahasa Arab yang murni dengan fasih pula.” Aminah mengerti bahwa ia harus kembali melepas Muhammad demi masa depan putranya sendiri. “Beri aku waktu beberapa hari bersama putraku, setelah itu bolehlah kalian membawanya kembali," kata Aminah.
Akhirnya, Muhammad pun dibawa kembali ke dusun Bani Sa'ad. Namun, di sana ia mengalami sebuah peristiwa yang sangat mengguncangkan. Peristiwa itu terjadi tidak lama setelah keluarga Halimah kembali ke pedalaman. Saat itu umur Muhammad belum lagi genap tiga tahun.
Hari itu, Muhammad kecil ikut menggembalakan kambing bersama saudara-saudaranya Tiba-tiba salah seorang putra Halimah datang berlari sambil menangis“Ada apa?" Tanya Halimah dan suaminya panik.
“Saudaraku yang dari Quraisy itu! Dia diambil oleh seorang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan. Perutnya dibelah sambil dibalik-balikkan!" Halimah dan Harits segera berlari mencari Muhammad. Mereka menemukan anak itu sedang sendiri. Wajah Muhammad pucat pasi. Halimah dan suaminya memperhatikan wajah Muhammad baik-baik.
“Apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya mereka.“ Aku didatangi oleh seorang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka cari."
Tanpa bertanya lagi Halimah segera membawa Muhammad pulang. Hatinya dipenuhi kecemasan.“Aku takut Muhammad didatangi dan digoda oleh jin" kata Halimah kepada suaminya.
“Lebih baik kita membawanya kembali ke Mekah," jawab Harits
Bersambung insya Allah
Sallu ala Nabi🌹

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...