Hari Raya di langit adalah ketika engkau bermakmum shalat di belakang Rasulullah.
Rasulullah meng-Imam-imu bersama jamaah yang tak kan pernah kau ketahui jumlahnya.
“Fa sholla kullu man fis-sama`i wa antal-Imam”.
Bersembahyanglah setiap dan semua yang di Langit, dan Rasulullah imamnya.
Ketika engkau tinggal di ruang sempit yang bernama “hidup di
Bumi”, engkau merasa cemburu karena makmum Baginda Muhammad hanya para
penduduk Langit. Itu karena engkau terbiasa mendengar dikotomi Bumi dan
Langit. Padahal Bumi adalah seperseribu debu yang merupakan bagian juga
dari kebesaran semesta yang engkau sebut Langit.
Maka meskipun engkau masih bertugas menghuni Bumi dan menjalani
jenis kehidupan yang paling sempit, dangkal, artifisial, di mana engkau
terapung-apung di tengah gelembung-gelembung hologram: cita-citakanlah
agar diperkenankan berhari raya di Langit.
Sebaiknya engkau tidak usah terlalu percaya dan mantap atas apa
yang kau sangka realitas, sementara dengan mudah dan semberono engkau
meremehkan segala sesuatu yang kau sangka dongeng.
Akan lebih efektif kalau engkau tidak terlalu bangga atas segala
sesuatu yang kau pelajari dan alami dari kebudayaan di Bumi.
Perolehan-perolehanmu dari bangku Sekolah, buku-buku, kabar-kabar,
data-data dan fakta yang kau pikir itu sungguh-sungguh data-data dan
fakta. Atau semua pendapatan dari khayalan, yang berpuluh-puluh tahun
pembelajaranmu tidak menyediakan metode verifikasi untuk menemukan
identifikasi yang manakah khayal, yang bagaimanakah imajinasi, yang
seperti apa perohanian. Apalagi tradisi panggraita, kawaskitan dan mukswa, telah kau buang dan tinggalkan.
Ketika engkau berada dan menjadi bagian dari shaf-shaf
yang menghampar amat sangat luas melebihi luasnya seribu alam semesta,
yang tepian semua arahnya tak terjangkau oleh pandanganmu, meskipun
engkau sudah menjadi penghuni Sorga — itulah saat menyesali dan
mentertawakan diri-Bumimu, diri-wadagmu, serta berbagai macam diri yang
selama ini kau sejati-sejatikan.
Semua makhluk Langit seluruh bagian dan lapisan berjajar,
berbaris, seakan Allah sendiri sedang melukis lingkaran-lingkaran
cakrawala, yang tepiannya adalah keremangan. Bukan karena cahaya tak
mencapainya, tetapi karena sesorga-sorganya para makhluk, tetaplah
berada di dalam margin-sempitnya kemahaluasan Allah.
Ketika Baginda Muhammad mengucapkan “Allahu Akbar”
dengan suara yang membahagiakan seluruh unsur yang darinya semesta
Langit disusun, lantas beliau bersujud, dan engkau bersama para makmum
semua melanjutkannya dengan “Allahu Akbar”, dengan suara yang
sangat sunyi namun menggemuruh, sehingga seakan-akan Langit itu
berdinding, dan seolah-olah dinding-dinding langit itu bergetar oleh “Allahu Akbar” — itulah puncak Idul Fithri.
Meskipun itulah Sidratul-Muntaha, meskipun itulah batas
akhir kebahagiaan cinta semua makhluk, namun itulah Hari Raya yang
sebenarnya. Engkau tidak lagi berada pada kesadaran tentang jarak, yang
membuatmu bertanya “Apakah sembahyang ini benar-benar kualami? Kapan ini? Dan Di mana?”
Karena Sujud Agung bersama Imamul ‘Alamin Baginda Nur
Muhammad, tidak dimuat oleh ruang dan tidak mengendarai waktu. Sebab
ruang dan waktu justru merupakan bagian yang paling shaleh dari
peribadatan abadi Baginda Cahaya Amat Terpuji. Ruang turut bermakmum
pada beliau, waktu ikut bersujud di kandungan Sembahyang Cinta beliau.
Ruang hanyalah alat sementara, dan waktu hanyalah jalan sejengkal
untuk ditempuh manusia agar tiba kembali di Kesadaran Sejati. Manusia
perlu mulai belajar bahwa alamat kehidupan sejatinya tidak di suatu
koordinat dalam ruang, dan tidak pada suatu jengkal di antara rentang
rasa yang ia sangka waktu.
Manusia berasal usul dari Kesadaran Sejati, diberi peluang
sejenak untuk menatap dan membaca Kesadaran Sejati itu, sambil dibimbing
untuk melangkah, untuk melakukan perjalanan melingkar, untuk sampai
kembali ke asal-usulnya, yakni Kesadaran Sejati itu sendiri. Manusia
tidak bertempat tinggal di ruang dan waktu, melainkan di kesadaran.
Kesadaran tidak dimuat oleh kepalanya, oleh gelombang akal,
struktur pikiran atau susunan dan komposisi saraf-saraf otaknya,
meskipun sebagian dari kesadaran itu meruang di kalbunya.
Manusia juga tidak perlu memikirkan tempat tinggalnya, karena
hanya ada satu rumah yang ada dalam kehidupan, yakni kemurahan Allah itu
sendiri, yang manusia tidak punya kemungkinan untuk keluar atau minggat
darinya.
Manusia tidak perlu mencemaskan, tidak perlu takut atau sedih
atas kehidupannya, asalkan ia berkonsentrasi pada tugasnya, yakni
berjuang sebentar menggerakkan Cinta yang hulu Kesadaran Sejati menuju
hilir yang juga Kesadaran Sejati.
Itulah mudik yang sejati. Itulah mudik yang sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya mudik.
Itulah perjalanan menuju udik. Atau yang kebudayaan
manusia, karena pengetahuannya yang linier dan datar, menyebutnya
kembali ke udik. Kampung halaman adalah pencapaian sejengkal dari
perjalanan ke udik. Menyatu kembali dengan keluarga sanak famili adalah
terminal paling sederhana dari perjalanan ke udik.
Kenapa manusia hari ini memelihara kebodohan dengan menjadikan
kata ‘udik’ sebagai bahan ejekan, sebagai lambang keterbelakangan,
sebagai simbol ketertinggalan?
Betapa hanya sepetak pencapaian kebudayaan ummat manusia. Betapa
hanya sejengkal jangkauan peradaban ummat manusia. Betapa makin kerdil
pengetahuan dan ilmu manusia.
Ummat manusia dengan kemegahan modernitas beserta ribuan ekspresi
kemewahannya, kenapa begitu sukar menemukan bahwa kehidupan ini tidak
terdiri atas belakang dan depan, juga tidak terbagi menjadi dulu dan
sekarang dan esok.
Bahkan kiri kanan atas depan hanyalah inisial. Waktu bukanlah
tali yang memanjang menjulur lurus dari kegelapan di belakang dan
keremangan di depan. Ruang bukanlah kekosongan yang berdinding
ketak-terbatasan.
“Wahai Baginda Nur, alangkah sulitnya menginformasikan bahwa
hidup ini melingkar. Bahwa kehidupan ini bulatan. Bahwa ‘Inna lillahi wa
inna ilaihi roji’un’ adalah bulatan wajah kehidupan, yang bahkan tanpa
kematian….”
by. Emha Ainun Najib
https://caknun.com/2016/hari-raya-di-langit/
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment