Dalam
hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi
Kejawen yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan
Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika
kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan
mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.
Manusia
sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan
Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka
menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah
yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik,
kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan
kemanakah hidup kita ini nantinya.
Untuk
lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para
leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.
Kawruhana sejatining urip/ (ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya/ (hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe/ (ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur/ (ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki/ (pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang/ (dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru/ (jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja/ (umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/ (saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya/ (pulang ke asal mulanya)
Kemanakah kita bakal 'pulang'?
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.
Yang
jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah
tempat yang langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh
karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech
Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh
Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:
"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya."
("Terbalik
pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya
orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak
mau meninggalkan alam dunia")
Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?
Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
"Sanyatane,
donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka,
tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip
langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan."
(Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya
surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan
alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara
yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan")
Dari
pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia
ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang
berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan,
dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.
Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip
sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu
adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal
hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita
menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada
kehidupan di dunia yang serba fana?
Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
sumber : http://rahasiakehidupanmanusia.blogspot.co.id/2013/02/rahasia-sangkan-paraning-dumadi.html
No comments:
Post a Comment