Lebaran hari kedua, rumah Mat Piti ramai didatangi orang. Mereka
bukan hanya hendak berlebaran dan bermaaf-maafan, tapi juga meminta
kejelasan soal yang mereka sebut sebagai “isu nasional” di kampung:
benarkah Romlah dan Cak Dlahom akan dinikahkan, dan kenapa Cak Dlahom
menginap di rumah Mat Piti?
Romlah memang kembang kampung.
Kecantikan dan kesalehannya tak ada yang menandingi. Perempuan itu juga
nyaris tak pernah dekat dengan laki-laki. Beberapa orang termasuk Pak
Lurah pernah mencoba melamarnya, tapi Romlah menolak. Ketika masih jadi
imam masjid, Dullah pun pernah menggunakan pengaruhnua untuk melamar
Romlah. Tapi Romlah tak menerima lamarannya. Beberapa lamaran lain juga
ditampik Romlah.
Sebagai orang tua, Mat Piti tentu harus menelan
rasa rak enak hati pada orang-orang yang melamar. Romlah memang anak
gadisnya, anak semata wayang yang sangat disayangnya, tapi dia tak bisa
memaksa Romlah untuk menerima atau menolak laki-laki yang akan jadi
imam dan pendamping hidupnya.
Risikonya: Romlah dan kesendiriannya
jadi perbincangan orang-orang kampung. Apalagi usia Romlah sudah tak
muda, sudah menginjak 29 tahun. Dia dianggap perawan tua. Dituding
sebagai gadis yang terlalu pemilih. Perempuan yang tak tahu diuntung.
Mat
Piti sudah lama mendengar desas-desus semacam itu tapi dia tak bisa
berbuat banyak. Adapun Romlah hanya sering menangis. Tak ada yang tahu
dia sering menangis. Dia mengadukan seluruh kepedihan hidupnya hanya
kepada Zat Pemelihara, hampir setiap malam, di setiap ujung malam.
Problemnya: di
bulan Puasa yang sudah lewat, Mat Piti telanjur mengumumkan Romlah akan
menikah di bulan Syawal. Dan kabar itu yang menjadi gosip
orang-orang diseluruh kampung. Mereka menebak-nebak calon suami Romlah.
Dan Cak Dlahom adalah orang yang paling sering disebut sebagai laki-laki
yang akan menjadi suami Romlah.
Urusan pribadi orang lain, oleh
orang-orang kampung, rupanya telah diubah seolah-olah
adalah urusan banyak orang, urusan mereka. Padahal entah apa kepentingan
mereka dengan pernikahan Romlah dengan siapa pun yang akan jadi
suaminya.
Maka di hari kedua Lebaran, berdatanganlah orang-orang
ke rumah Mat Piti. Gelombang pertama tamu yang datang adalah Pak RT
bersama Dullah. Lalu Pak Lurah, disusul rombongan ibu-ibu pengajian, dan
warga lainnya.
Mereka datang sejak pagi. Sebagian dari mereka
lalu duduk-duduk di teras rumah yang sejak Lebaran pertama sudah digelar
tikar dan karpet. Sebagian hanya berdiri di halaman rumah,
memperhatikan Kliwon dan Legi, dua burung perkutut milik Mat Piti.
Mat
Piti tak segera menemui mereka. Begitu juga Romlah. Bapak dan anak itu
hanya duduk-duduk di lincak di dapur bersama Cak Dlahom. Kemarin, Mat
Piti tak mengizinkan Cak Dlahom pulang ke gubuknya di dekat kandang
kambing milik Pak Lurah, dan meminta tinggal di rumahnya. Hanya
sementara untuk masa Lebaran, dan Cak Dlahom entah kenapa bersedia.
Baru setelah menghabiskan kopi dan kretek, Mat Piti lalu mengajak Cak Dlahom menemui kerumunan orang-orang di depan rumahnya.
“Assamualaikum… Pak Mat, Cak Dlahom.”
Pak
Lurah mengucapkan salam ketika melihat Mat Piti yang diikuti Cak
Dlahom menemui mereka. Mat Piti membalas salam itu sambil tersenyum. Cak
Dlahom tak tersenyum.
“Begini, Pak Mat, kami minta maaf telah lancang datang ke mari. Sampeyan tentu mengerti, orang-orang ini tak bisa dicegah.”
Pak RT mengawali pembicaraan ketika Mat Piti dan Cak Dlahom sudah duduk di tikar. Mat Piti tetap tersenyum.
“Demi ketenteraman, Pak Mat. Biar ndak ada fitnah,” Dullah menyahut.
Mat
Piti tetap tersenyum, masih belum menjawab. Sejauh ini dia memang sudah
mendengar banyak fitnah tentang anaknya dan Cak Dlahom. Entah siapa
yang menyebarkan, fitnah itu kemudian menyebar di seluruh kampung.
Menjadi gosip.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, terima kasih atas niat baik
sampeyan semua. Tapi biar Cak Dlahom yang menggantikan saya untuk
menjawab. Silakan, Cak Dlahom.” Suara Mat Piti terdengar tenang. Dia
menatap hampir satu per satu orang-orang yang datang.
“Apa katamu, Dul? Biar ndak ada fitnah?”
“Iya,
Cak. Apalagi sampeyan menginap di sini, padahal sampeyan bukan muhrim.
Sebelumnya sampeyan juga sering berdua-duaan dengan Romlah.”
“Apa yang kamu dengar, Dul?”
“Ya sampeyan sering berdua-duan sama Romlah. Itu kan ndak boleh, Cak. Sampeyan tahu itu.”
“Dul, kamu dan orang-orang di sini hanya bersangka-sangka.”
“Kami
tidak bersangka-sangka, Cak. Beberapa dari kami melihat sendiri
sampeyan dan Romlah sering berduan di tengah malam. Itu bukan fitnah
loh.”
“Terus kalian semua menganggap aku dan Romlah melakukan hal-hal yang buruk?”
“Ya gimana ya, Cak… Bukan muhrim berdua-duan, apalagi yang dilakukan?”
Cak
Dlahom tak menjawab tudingan Dullah. Dia hanya menatap tajam Dullah
yang segera tertunduk. Sorot mata Cak Dlahom rupanya telah menguliti
Dullah.
Semua yang hadir di rumah Mat Piti terdiam. Mereka
sebetulnya juga tak yakin dengan gosip yang beredar, tapi arus umum
menyebabkan mereka ikut-ikutan. Mat Piti memperhatikan Cak Dlahom yang
mulai menyalakan kreteknya. Romlah akhirnya keluar. Duduk di sebelah Mat
Piti.
Usai mengisap kreteknya dalam-dalam, Cak Dlahom mulai
menjelaskan duduk perkara yang sebenaranya. Dia menceritakan bahwa
Romlah adalah anak kandungnya. Dia menitipkan Romlah pada Mat Piti dan
membiarkan Mat Piti mengangkatnya sebagai anak, karena ibu Romlah
meninggal saat melahirkan Romlah.
“Saat itu aku berat, Dul, tapi
aku melihat Mat Piti dan almarhumah istrinya tak punya anak.
Mereka bersungguh-sungguh menginginkan Romlah, dan aku tak kuasa
menolak permintaan orang sebaik Mat Piti.”
Orang-orang semakin
terdiam mendengarkan cerita Cak Dlahom. Romlah sudah sesenggukan di bahu
Mat Piti. Pagi itu dia baru tahu, Cak Dlahom adalah bapak kandungnya.
“Tapi kenapa sampeyan sering berdua-duaan dengan Romlah?”
“Karena aku kangen pada anakku yang bertahu-tahun tak pernah aku sentuh, Dul. Tak pernah aku sayang-sayang.”
Tangis Romlah semakin pecah. Pak Lurah dan Pak RT manggut-manggut. Kliwon dan Legi bersahut-sahutan.
“Ya Allah, Cak, maafkan kami. Kami telah menfitnah sampeyan, Romlah dan Pak Mat.”
“Iya, Cak, saya juga minta maaf.”
“Sepurane, Cak.”
“Apa yang harus kami lakukan, Cak, untuk menebus kesalahan dan fitnah yang telanjur kami sebarkan.”
Suara
Dullah paling kencang. Cak Dlahom melemparkan bantal yang kebetulan ada
di sampingnya kepada Dullah, lalu meminta Dullah mengeluarkan semua
kapuk yang ada di dalamnya. Dullah melakukannya.
Berhamburan
seluruh kapuk dari bantal. Orang-orang menutup hidung, karena kuatir
menghirup ampas kapuk. Dullah melakukannya dengan lekas, tapi setelah
seluruh isi kapuk dikeluarkan dari bantal, Cak Dlahom memintanya
memasukkan kembali, tanpa sisa.
“Waduh, Cak, ya ndak bisa, Cak. Saya ndak mampu.”
“Kenapa tak mampu, Dul?”
“Karena banyak kapuk yang sudah beterbangan, Cak, dan saya ndak bisa menjangkaunya.”
“Begitulah
fitnah bekerja, Dul. Ia beterbangan ke mana-mana, dan tak akan ada yang
bisa mengembalikan sesuatu yang sudah beterbangan itu
seperti sediakala. Ia akan hinggap di mana saja, dan kamu tak akan
sanggup menjangkau daya rusaknya.”
“Maafkan saya, Cak…”
“Aku
sudah memaafkanmu, Dul, jauh sebelum mulutmu mengucapkan permintaan
maaf. Beruntung kamu karena aku mau menjelaskan duduk
persoalannya. Bayangkanlah orang-orang yang telah menjadi korban
fitnah tapi mereka tak punya kesempatan dan kekuatan untuk
menjelaskannya, maka fitnah terhadap mereka akan terus
berkembang. Merusak pikiran kalian dan akan terus membunuh orang
yang kalian fitnah.”
“Ampuni saya…”
“Sebaiknya sekarang engkau diam, Dul, karena hal itu akan lebih baik untukmu.”
Suasana
semakin hening. Romlah yang terus menangis mendekar ke Cak Dlahom. Dia
memeluk laki-laki yang selama ini selalu dicap sebagai orang sinting,
dan mencium tangannya. Suaranya memecah keheningan suasana pagi itu.
“Bapak… maafkan Romlah.”
“Aku yang minta maaf padamu, Nduk. Aku orang tua yang tak berdaya…”
“Bapak…”
Orang-orang mulai ikut terisak. Mereka telah salah menilai Romlah dan Cak Dlahom. Suasana berubah haru.
Mat Piti yang sejak tadi hanya tertunduk mulai berdiri. Romlah mengikutinya. Dari dalam rumah mereka menyuguhkan aneka penganan.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, seludur semua, sambil menunggu Romlah menyiapkan teh hangat, silakan menikmati penganan apa adanya.”
“Tapi Romlah benar akan menikah, Pak Mat?”
Seseorang berusaha mencairkan suasana.
“Iya, betul. Bulan Syawal ini, Romlah, anak saya, anak Cak Dlahom, akan menikah.”
“Wah siapa laki-laki beruntung itu, Pak Mat?”
“Namanya
Nody. Sunody Abdurrahman anak kiai kampung. Orang Rambipuji, tetangga
desa kita. Sama dengan Romlah, dia perjaka yang belum pernah bersentuhan
dengan perempuan yang bukan muhrim”
“Subhanallah. Alhamdulillah…”
Lebaran hari
kedua, di rumah Mat Piti, menjadi suka cita. Orang-orang yang hadir,
sekali lagi saling bermaaf-maafan. Cak Dlahom duduk bersandar ke tembok.
Matanya menerawang. Dia mungkin sedang membayangkan Nody, calon
mantunya.
Oleh : Rusdi Mathari
Sumber :http://mojok.co
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment