Romlah sedang dirundung masalah. Anak perawan itu merasa, bapaknya
mulai ikut-ikutan orang-orang di kampung dengan pertanyaan-pertanyaan
yang sama hampir setiap hari: kapan nikah?
Romlah tahu, usianya memang tidak muda. Sudah 29 tahun, tapi orang-orang itu termasuk Mat Piti
bapaknya mestinya juga tahu, urusan jodoh, seperti halnya soal
kelahiran, kematian dan rezeki adalah otoritas dari menciptakannya.
Bukan kemauannya. Lagi pula, perempuan seperti dirinya juga ingin
menikah dan punya anak.
Maka sehabis tarawih dia mendatangi rumah
Cak Dlahom. Ini kunjungan yang tidak biasa untuk tak menyebut sebagai
pertemuan non-syariah, karena tak ada yang tahu, dan tidak ada muhrim
lain, tapi Romlah tak peduli. Dia menyerahkan semua urusan hanya kepada
yang membuat peraturan, karena dia berniat baik.
Ketika tiba di
depan pintu rumah Cak Dlahom yang selalu terbuka karena memang tidak ada
daun pintunya, dia segera mengucapkan salam. Pelan. Suaranya malah
terdengar seperti kode “Ssttt..”
Cak Dlahom yang kebetulan sedang leyeh-leyeh di lincak sambil tertawa sendiri, kaget. Di depannya kini ada Romlah. Dia segera membetulkan sarungnya.
“Romlah?”
“Iya, Cak. Saya Romlah…”
“Romlah…”
Suara
Cak Dlahom menjadi berbeda. Terdengar seperti bukan suara yang
biasanya. Wajahnya juga terlihat lebih terang meski tetap butek.
Kedatangan Romlah (apalagi sendirian), tampaknya telah mengubah detak
jantung dan kerja otak Cak Dlahom. Setidaknya untuk malam itu.
“Duduk, Romlah, duduk…”
“Iya, Cak.”
“Ada apa malam-malam kamu datang ke sini? Apa bapakmu tahu?”
“Bapak tidak tahu, Cak…”
“Baguslah. Kadang-kadang bapakmu tak harus selalu tahu.”
“Saya ke sini mau tanya soal jodoh…”
“Jodoh? Kenapa tanya ke aku?”
“Anu, Cak, barangkali sampeyan bisa mencarikan jalan keluar.”
“Jalan keluar yang bagaimana?”
“Usia saya sudah 29 tahun, Cak, tapi belum ada satu pun laki-laki yang melamar saya.”
“Romlah, usiamu masih muda. Masih punya banyak kesempatan.”
“Bapak selalu bertanya kapan saya menikah, Cak…”
“Bapakmu itu kayak ndak pernah muda saja.”
“Pikiran saya kalut, Cak. Tidur tak nyenyak. Malu, sungkan ketemu ibu-ibu di pengajian…”
Mendengar
Romlah mengeluh seperti itu, Cak Dlahom ingin gila beneran. Dia tak
berani memandang ke arah anak Mat Piti itu. Romlah pun hanya menunduk.
Dari kandang kambing milik Pak Lurah, terdengar suara mengembik.
“Saya
tahu dari Bapak, sampeyan orang tulus. Tak pernah neko-neko dan
berprasangka. Kata Bapak, doa dari orang-orang seperti sampeyan yang
cepat diijabah.”
“Aku gila. Kamu salah orang.”
“Kata Bapak, sampeyan tidak gila.”
“Kamu sama dengan bapakmu.”
“Namanya juga anaknya, Cak.”
“Baiklah, Romlah, aku kira tidak enak kita berlama-lama berdua di sini.”
“Cak Dlahom mengusir saya?”
“Oh, ndak. Justru aku mau mengajakmu ke telaga.”
“Telaga di dekat kuburan itu, Cak?”
“Iya. Malam purnama seperti ini, bulan terlihat terang mengapung di telaga.”
“Beneran, Cak? Saya belum pernah melihatnya…”
“Iya bener, makanya aku ajak kamu ke sana.”
“Iya, Cak…”
“Tapi sebelumnya, bolehkah aku minta tolong?”
“Minta tolong apa, Cak?”
“Tolong ambilkan di dapur, air segelas dan garam segenggam.”
“Baiklah, Cak…”
Romlah
masuk ke dalam rumah Cak Dlahom. Menuju dapur yang keadaannya
berantakan. Kembali ke Cak Dlahom, tangan kanannya sudah memegang
segelas air dan tangan kirinya menggenggam garam.
“Mau diapakan garam dan air ini, Cak?”
“Sini, kemarikan gelas itu…”
“Terus?”
“Masukkan jari telunjukmu ke genggaman tangan kirimu, lalu celupkan ke air ini.”
“Sudah, Cak.”
“Aduk hingga rata, jangan sampai ada garam yang tersisa di jarimu.”
“Sudah, Cak.
“Sekarang minum air ini.”
Cak Dlahom menyodorkan kembali gelas yang dipegang, Romlah mengambilnya lalu meminum airnya.
“Bagaimana rasanya, Romlah?”
“Asin, Cak.”
“Genggam terus garam di tangan kirimu itu. Sekarang kita ke telaga.”
Dua
manusia itu runtang-runtung berjalan menuju telaga. Melewati pinggiran
kali dan sawah. Bulan sedang bersinar terang. Sesekali, karena hampir
terpeleset, Romlah memegang baju Cak Dlahom sambil bersuara “Cak…”
Di
saat-saat seperti itulah, Cak Dlahom kadang menyesal menerima saja
disebut orang gila. Dia ingin menuntun tangan Romlah tapi tak berani.
Sekuat tenaga dia menyadarkan diri bahwa dia adalah orang gila, dan
orang gila tentu tak boleh memegang tangan perempuan.
Setelah
menembus perkuburan yang penuh pohon-pohon besar, tibalah mereka di tepi
telaga. Mereka duduk-duduk di pematang. Bulan benar terlihat mengapung
di telaga. Warnanya gading. Dada Cak Dlahom dan Romlah terlihat
naik-turun. Napasnya ngos-ngosan. Mereka bukan menahan hasrat tapi
karena capek berjalan dan kehausan.
“Haus, Romlah?”
“Iya, Cak…”
“Sayang tadi kita tak bawa air dari rumah, tapi air di telaga ini juga bisa diminum. Kamu mau?”
“Iya, Cak, mau.”
“Sebelum minum, tolong lemparkan garam di tanganmu ke telaga.”
“Semuanya, Cak?”
“Iya, semua. Lalu basuh tanganmu hingga bersih. Jangan ada garam yang tersisa.”
Romlah
melempar garam di tangannya ke telaga dan segera mencuci tangannya. Cak
Dlahom melihat bulan yang berenang di pinggir telaga digantikan wajah
Romlah.
“Romlah, ambil dengan tanganmu air itu. Minumlah…”
Romlah
agak ragu, tapi dia ingat bapaknya pernah bilang ke orang, agar
mengikuti saja yang dikatakan Cak Dlahom. Dia merapatkan dua tangannya,
lalu mengambil air di telaga dan meminumnya.
“Bagaimana rasanya, Romlah?”
“Segar, Cak. Segar. Tidak ada asin.”
“Padahal kamu tadi melempar garam segenggam ke telaga?”
“Iya, segenggam…”
Romlah kembali duduk di pematang di samping Cak Dlahom. Cak Dlahom kini berani memegang tangan Romlah.
“Masalah
dan persoalan manusia, Romlah, pada hakikatnya sama: hanya sekepalan
tangan. Persis seperti garam yang tadi kamu genggam. Hidup bisa menjadi
ringan atau berat, tergantung kepada manusia menempatkan hatinya.
Menjadi hanya sebatas air di gelas, atau seluas air di telaga.”
“Cak…”
“Ada apa, Romlah?”
“Jangan terlalu keras memegang tanganku, Cak…”
Di
bibir telaga, disaksikan bulan yang terang, malam itu Romlah tidak
ingat lagi dengan urusan jodohnya. Cak Dlahom apalagi. Hati manusia
memang hanya sekepalan tangannya.
sumber :http://mojok.co
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment