Cerita ini dimulai dari persiapan buku saya yang membutuhkan kata
pengantar dari seorang dengan kredibilitas tinggi serta baik di dalam
dunia kesehatan. Karena permintaannya muncul di last minute, agak
bingung juga mencari kandidat terbaik untuk masalah ini. Bukan cuma
masalah terbaik, masalahnya 'yang terbaik' itu ada yang mau nggak?
Siapa gue gitu loh?!
Kemudian
Irene, managing editor di majalah Prevention, salah satu majalah di
mana saya berperan sebagai kontributor, mengingatkan bahwa ada salah
satu (dari sesama) kolumnis di majalahnya, ada yang suka dan menjadi
penggemar dari tulisan-tulisan saya. Kolumnis itu bernama Dr. Tan Shot
Yen!
Wah, penggemar tulisan gue? Rasanya mau terbang ke langit ketujuh. Dr.
Tan, demikian beliau akrab dipanggil, adalah salah satu ikon dunia
kesehatan kelas utama di Indonesia, terutama saat pengobatan naturopati
mulai mewabah akibat menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
pengobatan konvensional. Metodenya yang unik namun ampuh membuat pasien
beliau berkembang layaknya bilangan yang dipangkatkan dari waktu ke
waktu. Belum lagi tulisan-tulisannya yang trengginas serta mengena bagi
banyak pihak, membuat gaung nama beliau makin menggema di seantero jagad
negeri ini. To make things even bolder, buku yang ditulisnya
menjadi salah satu mega seller di negeri ini. Mega seller? Ya, kalau
dihitung sebagai buku kesehatan, sebuah subjek non populer di negara
ini. Sebuah bukti bahwa ilmu yang disandangnya dipandang sangat berguna
oleh beragam pihak.
Kalau sampai dia bersedia memberikan kata pengantar di buku saya? Wow, ..... (kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya).
SUARA LANTANG
"..bsk
tlg krm hard copynya aja (fotokopi lah) selagi kau dtg bsk?" sepotong
kalimat penuh kata singkatan yang saya terima di HP. Singkat dan lugas,
tapi membuat saya bergegas ke tempat praktiknya di bilangan perumahan
satelit Bumi Serpong Damai. Uniknya ia meminta saya secara spesifik
datang di pukul 11. "Jangan terlambat!". Kenapa jam 11?
"Dia
pengen elo, liat cara dia menangani pasien-pasien barunya, makanya
jangan telat" tukas Irene -redpel dari Prevention tadi- saat saya
menanyakan kenapa jam itu yang dipilih? Kantor atau praktek beliau
sangat mudah ditemukan. Satpam di kawasan pusat bisnis distrik langsung
menunjukkan lokasinya "Itu mas, yang paling rame..". Dan memang benar,
parkiran di depan kantor beliau sangat penuh oleh beragam jenis mobil,
dan menunjukkan penuhnya pengunjung di ruang penerimaan tamu yang
sebenarnya cukup lapang namun menjadi terkesan sempit dan penuh sesak.
"Wey!
Kedatengan orang penting nih gue!" teriak Dr. Tan lantang saat ia
membuka pintu kamar prakteknya dan melihat saya berdiri di depan
-ragu-ragu mau mengetuk untuk meminta ijin masuk. Teriak? Yup! Suaranya
memang mirip dengan orang berteriak, walau ia sebenarnya bicara dengan
nada biasa-biasa saja -menurutnya. Suaranya cukup lantang untuk membuat
kita mau tidak mau berkonsentrasi menerima kehadiran beliau di depan. Ia
menarik saya masuk, agak gak enak juga rasanya, karena di depan pintu
itu telah duduk berdesak-desakan para pasien yang menunggu giliran.
"Apa
kabar? Wah, kamu tau gak saya ini penggemar berat tulisan-tulisan kamu,
dan selalu menunggu kesempatan kapan bisa bertemu dengan anak ini?"
Komentar yang membuat muka ini merah (kalau saja kulit saya berwarna
terang). "Dokter bisa aja, at least you already made something, I haven't
" jawab saya semerendah mungkin. Bukan basa-basi, terutama yang
mengenal saya, dan sering mengatakan bahwa saya adalah orang yang perlu
lebih belajar basa-basi dan memfilter mulut dari mengucapkan kalimat
pedas serta langsung ke tujuan. Tapi di depan sosok Dr. Tan, kharisma
saya kalah bersinar dan lebih memilih untuk merendah sekalian.
Kami
berbasa-basi singkat, saling mengenal dan bertukar informasi. Kami
mulai membahas isi buku saya secara sistematis, beliau nampak sangat
tertarik dan begitu apresiatif. "Kenapa lo gak kasih judul yang
bombastis sih? Yoga for Healing misalnya?".
Saya tertawa
sambil menggeleng, "Saya gak mau membuat orang berharap terlalu banyak,
akhir-akhir ini status saya mulai membuat orang-orang berdatangan dan
mengharapkan kesembuhan secara instan dan ajaib, which is not what yoga can provide".
"Persis!
Gue juga gitu! Heran? Sakit mayoritas gara-gara kesalahan hidup mereka,
eh dateng-dateng ke kita, kemudian bertindak sepertinya kita bisa
memberikan 'pil ajaib' atau tongkat mukzizat yang bisa membuat mereka
sontak sehat!" Tukasnya mengamini.
Tapi ia sekali lagi
mengkritik usaha saya untuk low profile. "Udah deh, payah lo ah. Bikin
judul yang bombastis dikit, napa? Kalau mau jadi terapis terkenal ya mau
gak mau harus begitu sedikit" Saya terbahak mendengar respons ini.
"Dok, saya gak pernah dan gak akan mau berusaha menjadi seorang terapis.
Saya lebih suka menulis, mengajar yoga pun lebih karena dipaksa oleh
lingkungan" Dia tertawa juga mendengar reaksi ini. "Gak bisa gitu, liat
aja nanti, kalau menilik tulisan-tulisan dan testemoni yang masuk
tentang kamu, mungkin suatu saat elu akan terpaksa mengurus ijin praktek
karena tuntutan masyarakat"
Wow! Itu sebuah fenomena yang cukup menakutkan bagi saya, dan rasanya terlalu mengerikan untuk dibayangkan.
PRAKTEK YANG UNIK
Dr.
Tan meminta saya untuk keluar sebentar, karena pasien-pasien lamanya
akan masuk, dan kembali lagi setelah sesi pasien baru. Ruang kecil
beliau segera disesaki oleh pasien-pasien lama yang bergegas masuk
begitu saya keluar. Tanpa harus menunggu lama, gaya ramah namun
berapi-api Dr. Tan yang tadi keluar saat bersama saya segera berganti
menjadi gaya meledak-ledak tapi galak. Wuih! Gak kebayang rasanya
diomelin atau nyaris dimaki-maki seperti itu. Tapi gak ada yang bisa
protes, karena mayoritas apa yang diucapkan dr. Tan begitu mengena dan
nyata. Intinya sih, kalau gak ikhlas dan jujur mengakui kesalahan, saya
menjamin tidak mungkin akan ada pasien yang betah berada di hadapan
beliau.
Entah kharisma apa yang dimilikinya? Tapi pasien itu
rata-rata gak ada yang ngeyel atau mengelak saat ditembak oleh Dr. Tan
dengan pertanyaan yang sebenarnya lebih mirip tuduhan! Habis mau ngeles
gimana? Namanya kepengen sembuh, mending jujur kali ya? Tampaknya itu
yang terbersit di pikiran mereka. Macam-macam 'tuduhan' beliau, mulai
dari tidak patuh terhadap menu makan yang disepakati, kemalasan mereka
menggerakkan tubuh seperti perintah, atau nekat mengkonsumsi bahan
makanan yang dipantangkan bagi mereka.
Luar biasa dokter satu ini!
Yang
lebih kacau lagi, saat ia 'mengomeli' seorang pasiennya yang nampaknya
terserang stroke dan telah berangsur sembuh namun masih enggan
melepaskan diri dari tongkatnya. "Kalau tidak mau lepas dari tongkat
ini, secara fisik dan mental kamu merusak tubuh kamu sendiri, coba lepas
tongkat itu, lepas!" Saat dilihatnya sang pasien nampak ragu berdiri
tanpa ditopang tongkat tersebut. Kemudian Dr. Tan berbicara macam-macam
ke pasiennya untuk menggambarkan kondisi buruk yang mungkin terjadi
apabila ia bergantung pada tongkat tersebut, mulai dari penurunan fungsi
otot, organ yang terganggu sampai ke masalah psikis di mana ia suatu
saat akan menyalahkan lingkungan, mulai dari orang sekitarnya hingga ke
anak-anak yang dianggap tidak memperhatikan dirinya. Entah semburan
kalimat itu begitu bombastis atau mengandung mantra, hehe, mendadak sang
pasien mampu berdiri tanpa masalah walau tongkat itu telah dilepas.
"Lihat kan! Apa rasanya berdiri tanpa tongkat? Tidak jatuh kan?" tukas dr. Tan puas.
Hebat!
INTEROGASI
Setelah itu saya kembali masuk ke ruang praktek beliau, kali ini
bergabung dengan belasan pasien baru. Walau bersesak-sesakan di ruang
yang kecil, namun tidak ada satupun pasien mengeluh atau protes, hebat
kharisma dokter bertubuh langsing ini. Di sini Dr. Tan, langsung
berbicara "Silahkan mengenalkan diri masing-masing dan keluhannya, tapi
ingat! Ini bukan ajang curahan hati, cukup kenalkan, sisanya biarkan
saya yang berbicara!". Wuih, teknik yang unik lagi diperlihatkan oleh
beliau.
Perlahan-lahan satu persatu pasien berbicara.
Memperkenalkan diri dan kondisi masing-masing. Dr. Tan mendengarkan
dengan seksama, lalu ia memberondong pasien tersebut dengan pertanyaan
yang sifatnya personal terkait kondisi kesehatan mereka. Memberondong? I don't exaggerate over this,
ia benar-benar memberondong kata-kata layaknya senapan mesin atau UZI
(senapan serbu taktis buatan Israel yang mampu memuntahkan minimal 600
peluru per menit) ke pasiennya, yang tentu saja menjadi gelagapan dan
memberikan jawaban jujur tentang latar belakang mereka. Sebuah metode
interogasi a la militer rupanya.
Dr. Tan : "Kenapa Anda kesini?"
Pasien : "Saya merasa obesitas, dok.."
Dr. Tan : "Kenapa obesitas?"
Pasien : "Karena keturunan di keluarga saya.."
Dr. Tan : "Nonsens! Kenapa?!" *mulai meninggi nadanya*
Pasien : "Ngg.. Anu, mm.. makan saya banyak" *mulai terintimidasi*
Dr. Tan : "Kalau makan bener, banyak juga gak pa-pa! Kenapa?!"
Pasien : "Saya suka makan yang manis-manis, dok"
Dr. Tan : "Nah, itu dia.. Persis!" *manggut-manggut puas*
"Jangan
pernah ada yang bilang, kalau kalian itu sakit karena keturunan, itu
mayoritas bohong! Sedikit sekali penyakit yang menurun karena genetika,
sedikit!" setelah itu Dr. Tan, dengan gaya yang sangat ekspresif memukul
meja di depan dan kemudian mencolokkan jari-jari tangannya ke mulut.
"Ini yang membuat penyakit seakan-akan muncul di keluarga sebagai
penyakit turunan..." katanya setengah membeliakkan matanya "Keluarga,
meja makan dan apa yang kalian makan di sana!".
Atau ini..
Dr. Tan : "Kenapa pak?"
Pasien : "Saya darah tinggi, dok.."
Dr. Tan : "Berapa?"
Pasien : "Sekarang sih lagi minum obat jadi 120-80"
Dr. Tan : "Saya tanya nilai kamu, bukan nilai bikinan guru les!"
Pasien : "He?" *bingung*
Dr. Tan : "Itu kan bikinan dokter kamu? Bukan darah tinggimu.."
Pasien : "Hehe, iya dok.."
Dr. Tan : "Jadi kalau guru lesmu matek, nilai kamu merah lagi?"
Pasien : *Tambah bingung*
Dr. Tan : "Udah berapa taun minum obat itu"
Pasien : "Lima tahun, dok"
Dr. Tan : "LIMA TAHUN?! Dan gak ada kemajuan, begitu-begitu saja?"
Pasien : "Iya dok, tapi memang gak pernah melonjak lagi.."
Dr. Tan : "Guob*** sisan!!!" *membentak sembari memukul meja*
Kemudian
sambil marah-marah pada dirinya sendiri ia mengungkapkan keheranannya
pada pasien yang mau saja berobat bertahun-tahun pada seorang dokter
tapi tidak menunjukkan gejala perbaikan, hanya berada pada posisi
stagnan. Dan pasien itu sudah cukup puas.
"Itu sebabnya pasien
yang kena darah tinggi, 'matek'-nya rata-rata bukan karena darah
tingginya, tapi karena liver atau ginjalnya ngambek! Lha wong
bertahun-tahun harus menelan racun. Yang konyol ya, pasiennya.. Kok mau?
Dan dokternya juga.. Kok tega?"
Ia menuding lagi ke bapak pasien
darah tinggi tadi. "5 tahun ke dokter itu, pernah ndak, bapak dikasih
tau, kenapa sakit darah tinggi bisa terjadi? Dan apa langkah
pencegahannya agar tidak sampai sakit, selain minum obat?" Ketika sang
bapak menggeleng, Dr. Tan menghembuskan nafas kesal dan membanting
tubuhnya ke senderan kursi.
"Persis! Guo**** tenan!"
BUKAN SPESIALIS
Tapi
bukan berarti dokter satu ini lebih banyak mengomel dan memaki. Ia
sangat taktis dalam memberikan penjelasan beragam penyakit yang diderita
pasiennya. Begitu taktisnya sampai orang paling awam pun rasanya bisa
mengerti dengan cukup mudah apa yang dimaksud oleh beliau. Bandingkan
dengan mayoritas oknum dokter yang cuma mendengar keluhan pasien, tanpa
melihat mata pasien, kemudian menuliskan resep, tanpa melihat mata, lalu
mempersilahkan pasien keluar ruangan, masih dengan tanpa melihat mata.
Dr.
Tan lain, ia bahkan memberikan bahasa tubuh yang sangat teatrikal untuk
menggambarkan kondisi tubuh yang mengalami masalah, ia juga tidak
ragu-ragu berteriak kecewa, gembira atas reaksi juga jawaban pasien yang
sesuai atau tidak dengan harapannya. Sebenarnya mengasyikan sekali
melihat dokter satu ini saat berpraktek. Asyik, karena saya bukan pasien
dan bisa melihat suasana ini dengan penuh objektivitas. Cerita lain
kalau saya adalah pasien dan melakukan kesalahan yang tidak sesuai
dengan petunjuk sang dokter ini.
"Bawa saja, bagian tubuh Anda yang sakit itu ke bengkel Astra, minta
dibetulin di sana, kalau sudah balikin dan pasang lagi" Tiba-tiba salah
satu kalimat pedas Dr. Tan memutus lamunan saya. Ada apa nih?
"Salah
satu puncak kegob***an dunia kedokteran adalah maraknya spesialisasi
ini dan itu di sana-sini. Lalu pasien yang dateng ke mereka diperlakukan
layaknya onderdil mobil, dikerjakan satu persatu apabila rusak,
bukannya dilihat sebagai satu kesatuan sistem, kapan mau sembuh
beneran?" Omelnya dengan nada sangat keras.
Kemudian ia
menjelaskan secara sistematis, mengapa tubuh manusia tidak sepatutnya
dilihat dari organ per organ. Penyumbatan koroner jantung misalnya,
tidak bisa tidak, penyebabnya hampir 100 persen berasal dari makanan,
tapi setiap kali pasien penderita jantung koroner pergi menjalani
operasi bedah jantung, entah di pasang ring atau treatment lainnya,
jarang sekali dokter jantung yang memberikan tuntunan panduan makan
secara cermat kepada pasien. Paling-paling pekerjaan ini dilempar ke
dokter ahli gizi, yang kita semua tahu mayoritas cuma bisa memberikan
resep langsing bukannya resep untuk hidup sehat.
(Kalau yang
satu ini saya punya pengalaman pribadi, waktu diajak bekerja sama oleh
salah satu dokter gizi kondang di Jakarta. Waktu saya sodorkan pola
makan anti stres dengan manipulasi bahan makanan terkait dengan produksi
zat neurotransmitter. Dokter itu terbengong-bengong, "Wah, saya
mah taunya cuma bikin orang langsing doang. Gak tau nih
begini-beginian?" Yak ampun? Saya ini bukan ahli gizi, mosok lebih tau
konsep food therapy ketimbang dia?)
Jadi kembali ke kasus Dr. Tan
tadi. Bagaimana seorang pasien bisa sembuh secara paripurna, kalau
dokternya aja saling lempar-lemparan kasus? Ia sekali lagi memaki konsep
spesialisisasi secara sembarang di dunia kedokteran.
"Makanya
kalau ada orang tanya saya ini spesialisasi apa? Saya jawab, saya bukan
mekanik bengkel, saya dokter!" Ini adalah salah satu kalimat pedas dari
beliau yang diucapkan saat dulu pertama bertemu saya.
MAKAN SEHAT & BERGERAK
Akhirnya
Dr. Tan memberikan resep sehat bagi setiap pasiennya. Bukan, beliau
bukan mencatat kalimat-kalimat berbahasa latin untuk diteruskan ke
apoteker dan diubah menjadi tablet, pil, salep atau obat cair, tidak!
Resep yang ditulis oleh Dr. Tan, jangankan seorang apoteker, seorang
tukang sayur yang biasa mampir ke rumah Anda pagi-pagi pun bisa
mengerti.
Apa yang harus dimakan!
"Jangan ada yang protes, makanan yang saya rujuk ini bisa membuat Anda
menikmati hidup atau tidak! Kalau mau sembuh, ya? Anda-Anda ini terlihat
sekali adalah orang yang sudah hampir seumur hidup menikmati hidup
dengan memanjakan lidah ke makanan yang enak, tapi salah!" Dr. Tan sudah
menekankan konsep ini di awal pemberian resep hidup sehatnya.
"Sekarang
Anda harus membayar harga nikmat tapi mematikan tersebut dengan
berdisiplin mengikuti apa yang saya berikan" Tukasnya dengan tatapan
tajam.
Apa yang diminta oleh Dr. Tan sangatlah sederhana untuk dimengerti dan dilakukan, tapi bagi para so called 'penikmat hidup', pastilah sangat berat untuk dituruti. Saran beliau :
1. "tidak ada gula!"
Orang
sering dengan bodohnya mengira bahwa penumpukan lemak itu lahir akibat
konsumsi lemak yang berlebihan. Padahal Dr. Tan mengatakan, "Manusia itu
punya threshold untuk lemak, yaitu rasa mual dan muak. Jarang
ada manusia yang mengkonsumsi lemak lebih banyak dari kemampuan tubuhnya
menerima". Penumpukan lemak dalam tubuh kita, mayoritas lebih kepada
konsumsi gula yang berlebihan dalam segala bentuk. Kandungan gula yang
terlalu tinggi membuat tubuh mengeluarkan insulin berlebihan untuk
menormalkan lonjakan gula darah dan mengakibatkan kelenjar pankreas
lelah. Kerusakan pankreas membuat penyakit degeneratif yang sangat
populer, Diabetes.
2. "buah dan sayur sebagai sumber karbohidrat"
"Berhenti
makan beras, tepung atau sumber karbohidrat umum lainnya! Kalau Tuhan
mau kita makan beras, kita sudah dikasih tembolok dari lahir!" Masih
terkait dengan apa yang diutarakan sebagai konsumsi gula berlebihan, Dr.
Tan menekankan pada karbohidrat akan berubah menjadi gula, dimana
cadangan gula yang berlebihan akan segera ditransformasikan oleh tubuh
dalam bentuk glikogen (disimpan dalam hati - otot) serta trigliserida
(lemak). Angka trigliserida tinggi adalah sumber obesitas yang sekarang
semakin marak menyerang kehidupan manusia.
"Jangan panik,
dengan bilang, kalau gak makan nasi badan saya lemas" Tukasnya sebelum
ada pasien yang protes. "Tubuh Anda membangun kebiasaan, bukan memenuhi
kebutuhan. Pernah liat orang yang habis makan, makanan Padang? Setelah
dua jam, bukannya semakin kuat, mereka malah menjadi mengantuk! So, Anda
bilang Anda lemas, kalau tidak makan nasi?"
Hihi!
Dr.
Tan memberikan daftar penggantinya segera. Buah dan sayur sebagai sumber
karbohidrat. Ia menyajikan urutan buah-buah yang memiliki kandungan fructose -gula alami buah- aman. Ia juga menekankan cara menyajikan sayuran yang baik.
"Jangan
bilang Anda sudah makan sayur kalau yang dimakan sayur bening atau
sayur cap cay, itu bukan sayur, itu sampah dalam bentuk sayur!" Ucapnya
dalam nada tinggi. "Sayur dimasak sudah pasti enzyme-nya mati, gak ada
gunanya buat tubuh, paling cuma serat-seratnya aja. Makan sayuran mentah
yang dicuci bersih, kalau takut sama petsisida, ya beli yang organic
atau tanam sendiri di depan rumah!"
3. tidak ada susu binatang
"Sapi
itu begitu anaknya sudah bisa berjalan, ia akan segera berenti menyusui
dan membiarkan anaknya mencari makan sendiri, manusia itu satu-satunya
species yang cukup gob*** untuk mati-matian mencari susu spesies lain
dan merasa membutuhkannya".
Ia kemudian menyambung lagi, "Anak
kecil di atas usia 2 tahun dipaksa minum susu, orang tuanya tidak sadar
bahwa anak itu akan mengalami kesulitan pencernaan, karena cadangan
enzyme-nya akan terkuras untuk mencerna bahan makanan yang semestinya
tidak ia konsumsi lagi". Pendapat yang sejalan dengan apa yang
diungkapkan oleh Hiromi Shinya tentang Enzyme pangkal atau miskonsepsi
dimana intoleransi laktosa kadang dianggap tidak ada saat sang anak
tidak mencret waktu minum susu. Padahal sang anak menunjukan gejala
alergi lain, infeksi kulit, eksim, gatal-gatal, sembelit, obesitas,
mudah terserang penyakit hingga asma.
Saya sih sudah tahu persis fakta bahaya susu sapi. Dari sisi lactose intolerant, casein, non absorb calcium
juga gak ada guna-gunanya sedikitpun bagi tubuh. Tapi orang lain? Fakta
satu ini membuat mereka terkaget-kaget. Maklum jor-joran uang yang
digelontorkan pabrikan susu memang membuat kampanye kebutuhan manusia
terhadap cairan produksi binatang ini terasa begitu membahana dan
menguasai kehidupan kita.
"Kurang apa kalau kita gak minum susu?
Kalsium? Bohong pabrikan itu, kalau gak minum susu kita kekurangan
kalsium. Kalsium di susu sapi gak bisa diserap tubuh manusia, titik!" Ia
kemudian menunjukan fakta kelicikan produsen susu untuk berkelit dari
upaya penipuan saat orang yang minum susu tetap terserang osteoporosis.
"Pasti ada tulisan kecil, sangat kecil, di salah satu sudut kotak atau
kaleng susu, yang menuliskan kalimat semacam 'Harus disertai dengan
aktivitas fisik yang rutin', jadi mereka bisa mengelak dari pasal
penipuan ke masyarakat". Ia juga menertawakan satu produsen susu sapi
yang begitu gencar memasarkan produk susu kalsium tapi diembel-embeli
dengan kalimat 'berjalan 10.000 langkah perhari'. "Anda mau nyuruh
kakek-nenek yang renta berjalan 10 kilometer sehari? Gak keropos bener,
tapi yang ada mereka matek, kecape'an" ujarnya dengan logat Jawa sangat
kental.
4. banyak bergerak
Kalau yang satu ini saya
agak ge-er, karena Dr. Tan memberikan konsep sambil mengacu kepada
beberapa tulisan saya yang telah ia baca. "Sistem limfatik tubuh cuma
bisa berfungsi kalau kita bergerak dengan baik, terimakasih kepada
Iyengar dan juga pada Erik yang telah menyampaikan pemikiran beliau
kepada kita lewat tulisan-tulisannya" Ia mengucapkan ini sambil menatap
tajam ke arah saya. Haha, segalak-galaknya beliau tapi ia punya jiwa
fair play yang luar biasa. Sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan
apa yang saya lakukan, benar-benar mengacu kepada kemaslahatan bersama,
take a bow, doc!
Menurut Dr. Tan, usaha mati-matian di
satu sisi tapi melewatkan sisi yang lain, adalah upaya yang kadang
tidak membuahkan hasil maksimal. Menjaga makanan tanpa pernah aktif
menggerakan tubuh secara benar akan membuat fitalitas kita terganggu.
Demikian pula hal sebaliknya.
KESEMBUHAN HAKIKI
Kekerasan
Dr. Tan kepada pasiennya, mengingatkan saya pada salah satu kalimat
dari BKS Iyengar, tokoh utama yoga dunia, saat ia dikritik karena
terkenal sebagai orang yang sangat keras dalam menerapkan metodenya.
"Saya berhadapan dengan orang yang ingin belajar dari saya dan
memperbaiki kerusakan yang telah mereka lakukan. Tapi saat mereka muncul
di depan saya dan melakukan hal yang telah merusak mereka, apa yang
harus saya lakukan?" Tanya Iyengar. "Saya harus bersikap keras dan
menghancurkan kebiasaan lama mereka, agar mereka bisa menumbuhkan
kebiasaan baru yang positif dan membenarkan apa yang telah mereka rusak
selama ini. Mungkin memang ada cara lain yang lebih baik, tapi bagi saya
ini cara terbaik yang bisa saya lakukan" Jawaban tegas dari seorang
tokoh yang buah karyanya dijadikan rujukan utama di dunia kesehatan
modern.
Sama dengan yang dilakukan oleh Dr. Tan ini. Berhadapan
dengan segerombolan pasien yang telah menyia-nyiakan kesehatan mereka
dengan berbagai cara, ia harus berlaku keras dan kejam, untuk membuat
pasiennya sadar dan mengubah gaya hidup mereka sesuai dengan kebutuhan.
"Kita boleh dibilang galak dan saklek, Rik. Tapi kalau mau merubah
kebiasaan buruk orang, kita gak boleh kompromi. Terserah mereka mau
melakukan atau tidak, it's a matter of choice kok" Benar! If you don't like what we do, don't come to us, but if you think what we do can help you, so come!.
Sederhana kan?
Kepingin
rasanya menyaksikan praktek Dr. Tan ini sampai habis. Sayang waktu saya
terbatas dan harus segera meninggalkan tempat ini. Tapi sebelum saya
pergi, Dr. Tan sempat mengungkapkan serentetan kalimat yang sangat
berharga untuk didengar dan disebarkan. "Kesehatan itu harus bersifat
hakiki. Kalau kita sakit, harus dicari penyebabnya, bukan cuma gejalanya
yang diatasi, itu bukan penyembuhan, tapi mengulur-ngulur permasalahan"
Ia mengarahkan padangannya kepada bapak yang terkena darah tinggi tadi.
"Kalau cuma mematikan alarm mobil, itu bukan menyelesaikan
masalah. Kalau lampu indikator bensin menyala, ya kita harus mengisi
bensin, bukan menggebuk lampu indikator itu supaya mati!"
Menarik sekali!
Sayang
seribu sayang, tujuan selanjut saya sangat jauh dari tempat praktek
ini, Bumi Serpong Damai ke salah satu daerah di bilangan Jakarta Pusat.
Dengan berat hati saya memotong sesi ini dan meminta ijin untuk pergi.
Dr. Tan berdiri menyalami saya sambil berkata, "Suatu kehormatan kamu
meminta saya menulis kata pengantar untuk bukumu, mengharukan sekali"
Kehormatan untuk seorang Dr. Tan? Who do you think I am, doc?
It's vice versa!
Sumber: https://www.facebook.com/notes/erikar-lebang
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment