Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu
Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden
Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan 42
tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana
menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya
perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih
percaya kepada kebenaran.
Kemudian sebagai “jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah
abad saya lalui jalan sesat, dan kini saya terjebak di kurungan
peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan
kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta
memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka
keunggulan.
Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi
dan sastra di Mingguan “Pelopor Yogya” yang berkantor di ujung utara Jl
Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis
puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam “Persada Studi Klub”.
Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi
penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan
puisi, melainkan “Kehidupan Puisi” – demikian menurut idiom Umbu
sendiri.
Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat (4) jalan. Pertama,
Margoutomo. Terusannya, sesudah rel KA, bernama
Malioboro. Jalan lanjutannya adalah
Margomulyo. Kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan
Pangurakan.
Sekarang jalan itu bernama Jl. Mangkubumi dan Jl. Jendral Ahmad Yani:
wacananya, filosofinya, kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan
dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme
sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan
hedonism pop.
Wali Pengembara
Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap
manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh “jalan utama”. Tafsir atas
“jalan utama” sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan
menomersatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi atau
eksistensialisme “ngelmu katon” alias kemasyhuran yang pop dan
industrial. Bisa juga jalan utama adalah “berbadan sehat, berbudi
tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apapun yang intinya
memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi “rahmat bagi seluruh alam
semesta”.
Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka “
Malio-boro”. “Malio” artinya “jadilah Wali”, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, “
mamayu hayuning bawana”. Malioboro artinya jadilah Wali yang mengembara (“
boro”):
mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual,
eksperimentasi kreatif, berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di
jalan kemuliaan (Margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan
hanya
ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga
fadhilah (kelebihan),
ma’unah (keistimewaan) dan
karomah (kemuliaan).
Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya
sudah “urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal
1970an?): sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, “
ya dunya ghurri ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan”:
wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah
kutalak-tiga. Bahkan “diri sendiri” sudah ditalak, karena “diri sejati”
adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya untuk menomersatukan
orang banyak. Parameter manusia bukanlah “siapa dia”, melainkan
“seberapa pengabdiannya kepada sesama”.
Memilih Presiden 2014 sangat mudah: pandangi wajahnya dan
pelajari perilaku hidupnya, apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro
dan Margomulyo. Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya
dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan. Raja yang
sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya, tidak
punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak pernah
memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk jalan mulia.
Kekasih Umbu
Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.
Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost
saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap,
berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap
malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya.
Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke
Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di
trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat
sekolah.
Umbu mengajak saya “
mlaku”, bukan “
mlaku-mlaku”.
“Jalan”, bukan “jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara “ngepit”
dengan “pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda
gembira. Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang
dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan
kaki sunggugan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu
menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos.
Yang satu merenungi, lainnya memenggal.
Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof.
Dr. Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150
meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12. Pak Bon kantor
menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk: “Bapak ampuh
tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di koran.
Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari pulang
pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran ya Pak..”
Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme. Sambil
jalan kaki dengan Umbu saya tersenyum-senyum sendiri kalau ingat
protesnya Pak Bon.
Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah
barat, menempuh sekitar 3 km, Umbu mengajak berhenti di warung kecil
seberang THR. Duduk. Pesan teh
nasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah katapun,
ah-uh-ah-uh
sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan
dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa
menoleh ke saya — jangankan mengeluarkan bungkusnya dan menawarkan agar
saya juga menikmatinya.
Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, “Coba lihat keluar,
Em….”. Saya bertanya, “Lihat apa, Mas?”, dia menjawab, “Perhatikan nanti
ada Bis Malam dari Malang masuk Yogya….”. Saya melompat keluar,
berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, “Bus” nya
tidak penting, tapi “kota Malang” itu sakral baginya. Ia berkait erat
dengan kekasih hatinya.
Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi
ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis,
kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai tenaga
outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya.
Job description
saya mengamati rumah tempat ia kost, posisi kamarnya, arah pintunya,
route kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah
memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau
sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah
mini. Ketika pada suatu malam Minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke
rumah gadis itu sebagai “Duta Cinta”, jauh malam sesudahnya saya
diinterogasi: “Apakah dia nemuin Emha pakai rok? Bagaimana bentuk
kakinya?”
Ketika mendadak Bis Malam “AA” meluncur dari arah selatan, saya
kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak
menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela
berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap
menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya.
Justru ketika suara bis menderu, wajahnya makin menunduk.
Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena
kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih
bukan sedang naik bis dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa
bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang
dialaminya. Ia cukup mendengar suara bus itu lewat, cukup baginya untuk
menghadirkan kekhusyukan cintanya. Begitu bus sudah lewat, Umbu mengajak
saya pulang, dia ke ujung Malioboro utara, saya balik ke barat Keraton.
Beberapa hari kemudian Umbu memerintahkan agar saya beli tiket
bus malam Yogya-Malang pp. Saya mengantarkannya sampai bus berangkat.
Dia melaju. Subuh tiba di Malang, Umbu turun sebelum Tugu masuk pusat
kota Malang. Jalan kaki masuk ke wilayah timur. Melintasi Jl Diponegoro,
di situ rumah sang kekasih. Berjalan cepat, menundukan wajah, tidak
sesekonpun berani menoleh ke rumah si gadis pujaan. Kemudian berputar
balik ke jalan besar, mencegat bis menuju Surabaya, terus ke Yogya.
Sorenya sudah datang lagi ke tempat kost saya: duduk, ah-uh-ah-uh,
mengambil batang demi batang rokok dari sakunya dengan jepitan dua
jari-jarinya. Tak ada kata tak ada huruf hingga pagi.
“Kehidupan Puisi”
Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si
kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan
memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu
sepanjang hidupnya “
surfing” di atas gelombang demi gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.
Siapapun pasti menyebut percintaan Umbu itu “platonik”,
pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini
memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu
untuk disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi
anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi
eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat
oleh Majalah “Horizon” elite media sastra di era 1970an: Umbu diam-diam
masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya
sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga
kepada kemasyhuran dan popularitas.
Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya
sebagai “Pangeran” di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati rumah
tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan rumah itu.
Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua
orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu
dengan idiom “kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai “zuhud”:
berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta,
kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan uang dalam bungkusan
plastik dipendam di tanah.
Saya bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya
siapa Guru saya, baru nama Umbu yang pernah saya sebut. Puluhan tahun
saya berkeliling berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah
orang memperlakukan saya sebagai keranjang sampah untuk mengeluhkan
dunia, membuang kesedihan dan frustrasi, menumpahkan kebingungan dan
rasa tertekan oleh keadaan-keadaan dunia yang menindas mereka. Kecuali
Umbu: ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan “ketiadaan”nya.
Di mana-mana sajapun orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di
mana-manapun saja orang ribut curhat tentang dunia. Ke manapun saya
pergi, ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan
level sosial yang manapun, yang terutama saya dengar dan disampaikan
kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan
mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.
Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi Agama: “Lha kamu
hidup ini mencari dunia atau akhirat?”. Kalau ia menjawab “mencari
dunia”, saya tuding “salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan”. Kalau
jawabannya “mencari akhirat”, saya katakan “kalau kamu mencari akhirat
kenapa mengeluhkan dunia”. Kan sudah jelas sejak dahulu kala bahwa
“urip ming mampir ngombe”,
hidup hanya mampir minum. Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan
bertempat tinggal. Sudah jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara
di tengah perjalanan, kok disangka kampung halaman.
Sayangnya Tuhan menyatakan – dan mungkin memang sengaja
menskenario demikian — “kebanyakan manusia tidak mau berpikir”, atau
minimal “banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal”. Karena
kemalasan mengolah logika dan sistem ratio, orang menyangka “dunia” dan
“akhirat” itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan
bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira
kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia. Orang mengira kalau
tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.
Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah.
Bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu
tahap persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras
memperoleh lebih banyak uang dibanding orang yang fokusnya adalah
mengejar uang. Orang yang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia,
mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat
dan pasti memperoleh dunia.
Begitu kumuh dan joroknya situasi ummat manusia berebut dunia.
Dan begitu indah dan bercahayanya “kehidupan puisi” Umbu. Suatu hari
saya mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah
puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini
menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.
sumber :https://caknun.com
images :http://umbulanduparanggi.blogspot.co.id