Ada yang melintas-lintas di seputar arena itu, menebar kesejukan, tapi
tak terlihat bentuknya. Ada yang gelombang. Bahkan ada berwarna-warni
namun kaum manusia tak pernah dan tak akan pernah mampu melihat atau
merumuskannya. Ada suara yang bening. Juga yang gemeremang.
Berjejal-jejal. Ada yang berasal dari masa silam, tak sedikit juga
yang dari masa depan. Para sesepuh kehidupan. Para leluhur mereka yang
hadir. Para Sunan dan Masyayikh, Ki Ageng, Ki Gede, rombongan Brahma
murid Nabi Ibrahim yang segenerasi maupun yang anak cucunya.
Tetapi pada sangat banyak jenis dan bentuk makhluk yang
bermacam-macam itu, ada satu yang sama. Yakni cahaya yang
berdenyar-denyar antara titik pusat kehadiran masing-masing makhluk itu
dengan langit. Beribu-ribu, mungkin berjuta-juta tali cahaya menyambung
langit dengan arena itu. Cahaya yang di kandungannya terdapat sesuatu
yang mengalir dan bergelombang-gelombang, ulang-alik langit-bumi
bumi-langit.
Ribuan makhluk itu bukan pemancar cahaya, mungkin mereka penerima
pancaran cahaya. Kemudian memantulkannya. Kemudian ditimpa pancaran
lagi, memantulkannya kembali, demikian seterusnya. Masing-masing
akhirnya hanya berwajah dan berujud cahaya. Atau lebih tepatnya mereka
adalah bagian dari pesta cahaya.
Di antara mereka ada yang memahaminya sebagai tali cahaya tajalli. Ada yang menyebut tali cahaya hidayah. Atau tali cahaya ridla. Tali cahaya ‘isyiq. Juga ada yang menyederhanakannya sebagai tali cahaya mahabbah. Tapi ada juga yang menghayati dan menikmatinya sebagai tali cahaya cinta.
Saimon dan Markesot berdiri di bawah sebuah pohon, agak jauh di
bagian belakang dari pusat arena, tanpa berbicara satu sama lain.
Markesot melirik ke wajah Saimon. “Kamu tampaknya heran dan agak kagum melihat suasana di arena ini”, katanya.
“Ingat lho Sot, saya yang mengajak kamu ke sini. Jadi jangan
sampai bodoh menyangka bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang apa yang
berlangsung di sini”
“Saya bukan menyangka. Saya hanya membawa wajahmu”
“Tai Jin kamu”
Markesot tertawa kecil. “Di dunia manusia untuk memaki tidak perlu sampai menggunakan tainya sendiri. Cukup tai kucing”
Saimon tertawa.
Semakin malam, pesta tarian beribu tali-tali cahaya semakin
meriah, tetapi berlangsung dalam keheningan. Riuh rendah dan penuh
pergerakan-pergerakan sangat indah, tapi dibungkus di dalam tabung
raksasa kesunyian.
Hampir dua puluh tahun silam, yang berdenyar hanya beberapa utas
tali, yang masih belum benderang wujudnya sebagai cahaya. Berikutnya
dari bulan ke bulan bertambah menjadi ratusan, kemudian ribuan perayaan
tali-tali yang makin terang kehadirannya sebagai cahaya.
“Mon, kamu dengan mantap menyeret saya ke sini ini”, kata Markesot, “tanpa kamu tahu bahwa kamu sedang menjebak dirimu sendiri”
“Menjebak apa?”, Saimon bertanya.
Markesot tertawa. “Sebenarnya saya juga melarangmu untuk
bertanya, sebagaimana kamu melarang saya untuk bertanya. Tapi tak apa,
saya mengalah…”
“Menjebak apa?”, Saimon mendesak.
“Baiklah saya jelaskan. Pelan-pelan. Dan jangan dipotong”
“Ya. Menjebak apa?”, Saimon tidak sabar.
“Kamu kan dipesan oleh Kiai Sudrun untuk mendesak saya agar
kembali ke bumi, kembali menginjak tanah, mengurusi persoalan-persoalan
nyata manusia, problem sosial, konstelasi dusta politik, kebohongan
kekuasaan dan penyamaran penguasaan, mengkritisi kepengurusan Negara,
memberi tenaga kepada mesin anti korupsi, menganalisis lapisan-lapisan
ketertindasan rakyat, dan semua yang sejenis-jenis itu — kemudian
diharapkan saya ikut memberi pencerahan kepada rakyat, menyelenggarakan
pendidikan politik di sana-sini, menyebarkan penyadaran sejarah, dan
berbagai hal lain yang sudah jelas tidak ada gunanya, semacam-semacam
itu. Iya tho? Mon, iya to? Begitu kan pesan Kiai Sudrun kepadamu?”.
by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/tarian-tali-tali-cahaya/
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment