Dua puluh tahun yang lalu beredar lagu dan narasi tentang kasus Gerhana
Matahari, yang diakhiri dengan rekomendasi agar orang-orang berjuang
untuk Menyorong Rembulan.
Ini amsal. Tuhan tidak merasa malu untuk membikin perumpamaan dengan
menyebut nyamuk atau apapun yang kebanyakan manusia meremehkannya.
Menyorong Rembulan adalah amsal yang mengumpamakan Matahari berfungsi
seperti Tuhan, Rembulan berposisi Raja atau Pemerintah, sedangkan Bumi
adalah Rakyat suatu Negeri, Negara atau Kerajaan.
Tuhan melimpahkan kesejahteraan ibarat matahari memancarkan
sinar. Pada siang hari sinar itu langsung menaburi Bumi dan memandikan
penghuninya. Jika malam tiba, Rembulan memantulkan sinar itu, sehingga
Bumi tidak diselimuti kegelapan.
Kenapa Gerhana? Kenapa Rembulan menutupi Matahari, menghalangi
sinarnya untuk merahmati Bumi? Kenapa Pemerintahan demi Pemerintahan di
Negeri ini hampir selalu membangun Gerhana? Hampir selalu memonopoli
cahaya Matahari, padahal pada hakikinya itu adalah hak Bumi?
Pernah ada era di mana Rembulan seakan bisa disorong, sehingga
semua rakyat optimis cahaya Matahari akan tak lagi digerhanai untuk
mereka nikmati. Ternyata tidak terjadi. Sama sekali tidak terjadi.
Bahkan sudah empat Pemerintahan berlangsung, Gerhananya makin
menjadi-jadi. Dan satu dua tahun terakhir ini adalah puncak Gerhana.
Maka sebagian kaum muda rakyat Negeri ini berkumpul di arena ini,
juga di banyak arena-arena lainnya di berbagai wilayah. Untuk membikin
semacam Tabung Cahaya yang persentuhan dan persambungannya hanya ke Langit dan Alam.
Mereka sudah mengalami, meneliti, merasakan, dan meyakini, sudah ‘ainul yaqin, ‘ilmul yaqin dan haqqul yaqin
bahwa tradisi Gerhana itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Kesadaran
rakyat tidak bisa diservis lagi, mental kaum cerdik pandai di strata
menengah harus turun mesin, dan peradaban politik harus ganti baru sama
sekali secara menyeluruh.
Maka mereka selalu rindu untuk berhimpun di arena di mana mereka
menjadi bagian dari Tarian Tali-tali Cahaya antara Langit dengan Bumi.
Apalagi semakin hari semakin bulan semakin tahun semakin banyak yang
berhimpun bersama mereka.
Tidakkah mereka sebenarnya sedang melarikan diri dari kenyataan?
O tidak. Mereka adalah janin-janin masa depan, yang bahkan sekaligus sedang belajar men-janin-i zaman dan sejarah.
Tidakkah mereka sedang bersembunyi dari kewajiban untuk menjunjung rakyatnya dan menyelamatkan negaranya?
O tidak. Mereka adalah para pengambil keputusan untuk bergabung
dengan terbitnya Fajar serta mengolah cahayanya. Karena mereka sudah
meninggalkan keremangan Senja yang segera memasuki kegelapan Malam.
Tapi apa hubungannya dengan Buah Simalakama?
Ibu adalah Alam. Bapak adalah Pemerintah. Rakyat, dalam simbolisme ini, adalah anak-anak.
Si Bapak itulah yang menghalangi sampainya sinar matahari ke
anak-anaknya. Yang merampok, menghimpun dan menumpuk-numpuk sendiri
cahaya kesejahteraan dari Tuhan.
Si Bapak itulah kolonialis-imperialis terhadap anak-anaknya
sendiri. Si Bapak itulah diktator yang memaksakan kemauan dan aturan
egoisnya ke anak-anaknya sendiri. Si Bapak itulah kapitalis, penghisap
darah, penyedot kekayaan bumi, pengotor udara, lintah di darat maupun di
laut.
Si Bapak itulah juara tipu daya, jagoan muslihat, malaikat
kebohongan, seniman topeng, rasul dusta, iblis berlagak penggembala,
dajjal berpakaian pendeta dan ulama, ya’juj ma’juj yang tak tahu apapun
kecuali siang malam mengeruk keuntungan dunia.
Maka kaum muda yang berhimpun di arena itu sudah mengambil keputusan pasti: meninggalkan Bapak, memilih Ibu.
by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/memilih-ibu-meninggalkan-bapak/
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment