“Langkahmu terbalik, Mon”, Markesot menyerang Saimon lagi, “kamu
mengajak ke tempat yang akan menunjukkan kepadamu sesuatu yang
sebaliknya”
Saimon merespons, “Silakan kamu ngomong dan menyimpulkan apa saja, asalkan jangan bertanya”
Markesot tertawa. “Sekarang ini kamu yang berada pada posisi
untuk bertanya, dan saya tidak melarangmu untuk bertanya, tapi saya
pastikan kamu malu dan gengsi untuk bertanya”
“Sekali lagi, silakan membuka mulut selebar-lebarnya”
“Buah Simalakama tidak lagi menakutkan bagi semua manusia yang
berhimpun di arena ini. Mereka malah mencarinya, untuk ditelannya. Lebih
tepatnya di-untal. Tapi tak ada kata lain dari bangsa apapun, di dunia manusia maupun Jin, yang bisa menjadi padanan persis dari kata nguntal itu”
Saimon pura-pura tidak mendengarkan.
“Buah Simalakama adalah gambaran dilema sangat mendasar dalam
kehidupan manusia: kalau dimakan Bapak mati, kalau tak dimakan Ibu
mati….”
“Kalau menjelaskan definisi itu tolong di depan manusia-manusia aktivis pemula atau Jin generasi remaja”, Saimon sinis memotong.
Markesot tertawa gembira, dan meneruskan: “Yang membuat kaum muda
manusia berkumpul di arena ini adalah karena sebelumnya mereka
mengalami Buah Simalakama yang lebih parah….”
“Terserah”, sahut Saimon.
“Pilihan mereka lebih dari Bapak mati atau Ibu mati. Mereka
dibunuh oleh Bapak mereka. Sesulit-sulitnya Buah Simalakama hanya memuat
kemungkinan Bapak mati atau Ibu Mati, tapi tidak ada klausul si Anak
mati….”
Ternyata akhirnya Saimon tak tahan juga untuk terus membisu. Ia mengejek: “Katanya manusia punya pedoman Berani hidup, tak takut mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup mati saja….”
Markesot tidak peduli.
“Dan”, ia meneruskan, “yang terjadi pada mereka lebih parah lagi: si Anak bukan hanya mati, tapi dibunuh oleh Bapaknya….”
“Jadi yang berkumpul di arena ini adalah hantu-hantu?”
“Kok hantu?”
“Kata kamu tadi dibunuh oleh Bapaknya”
“Aduh bodohnya kamu, Mon. yang dibunuh itu asas sejarahnya.
Kepribadiannya. Haknya untuk berkehendak akan pergi ke mana, menempuh
apa, menjadi apa, tujuannya ke arah mana, dan seterusnya. Aduh kok kamu
agak rabun sekarang. Apa benar kamu melihat cahaya bertaburan dan
menari-nari di arena ini. Jangan-jangan karena kamu terlalu sering dolan
main-main ke dunia manusia, lantas kamu ketularan buta seperti
kebanyakan manusia….”
Memang, para penduduk di sekitar arena ini, bahkan penduduk
seluruh Negeri di mana arena itu berada, kebanyakan tidak melihat ada
apa-apa di situ. Apalagi cahaya.
Padahal sebenarnya cahaya di arena ini bukan ghoib, bukan maktum atau masrur atau mahfu`. Cahaya itu lebih nyata dibanding segala yang nyata. Lebih terang benderang dibanding segala yang pernah dilihat oleh mata.
Akan tetapi tradisi kehidupan para penduduk Negeri itu sudah
hampir enam abad menyia-nyiakan kemampuannya untuk melihat
spektrum-spektrum ma’rifatul-hayat. Mereka digiring oleh
kekuasaan dari luar Negeri mereka, untuk mempersempit kemampuan pandang
alamiahnya menjadi hanya terbatas pada indra ragawi mereka.
“Sot”, tiba-tiba Saimon berkata, “kalau kamu menjelaskan sesuatu,
ya jelaskan saja, tidak perlu diawali atau sambil atau dibuntuti dengan
ejekan kepada saya”
“Tidak ada bagian manapun dari penjelasan saya yang mengejek
kamu”, jawab Markesot, “kamu jangan terlalu psikologis, Mon. Jin kok
cengeng. Nanti saya bisa jadi ikut kacau menjelaskan Bapak Mati, Ibu
Mati, Anak Mati, Bapak bunuh Anak, bunuh apanya, bunuh bagaimana. Nanti
bisa gagal saya menjelaskan Bapak itu siapa atau apa, Ibu itu apa atau
siapa, Anak itu terbunuh apanya siapanya….”
“Lho”, Saimon memotong, “Siapa yang minta penjelasan dari kamu? Dan lagi, bukan kamu yang mengarang Nguntal Buah Simalakama, kok kamu yang ribut mau menjelas-jelaskan?”.
by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/bukan-bapak-atau-ibu-tapi-anak-mati/
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment