Wednesday, June 29, 2016

Manajemen Masjid

  Masjid Jogokariyan Yogyakarta

Oleh : Ustadz Salim A Fillah
Edisi : Berkhidmat Untuk Ummat

 aktanya...
Negeri kita memiliki lebih dari 1 juta Masjid besar maupun kecil... Pertanyaannya adalah :
"Berapa Masjid kah yang menjadi BEBAN bagi Jama'ah dibandingkan dengan Masjid yg MEMBERDAYAKAN Jama'ah..?"
Maka jawabannya adalah :
"Ratusan ribu Masjid membebani Jama'ah untuk listrik...air...dan kebersihan..padahal pemanfaatannya hanyalah sholat dan sholatnya pun tak pernah penuh.."
Disamping itu...
Aset Masjid berupa jutaan meter persegi tanah dan bangunan dinilai dari aspek apapun (serasa) masih sangat tak produktif, padahal...soal Masjid adalah ideologi sekaligus substansi Peradaban Islam...
Tapi baiklah...
Kita masuk pada "langkah strategis" dan praktis yang ditempuh kami di Masjid Jogokariyan Yogyakarta...
Bahwa secara sederhana Manajamen Masjid memiliki 3 langkah yakni :
🕌 - Pemetaan...
🕌 - Pelayanan...
🕌 - Pemberdayaan...
Setiap Masjid harus memiliki Peta
🕌 - Da'wah yang jelas...
🕌 - Wilayah kerja yang nyata...dan
🕌 - Jamaah yang terdata...
Pendataan yang dilakukan Masjid terhadap jamaah mencakup :
🕌 - Potensi dan kebutuhan...
🕌 - Peluang dan tantangan...
🕌 - Kekuatan dan kelemahan...
Kami di Masjid Jogokariyan Yogyakarta meng-inisiasi SENSUS MASJID yakni berupa : Pendataan tahunan yang hasilnya menjadi Data Base dan Peta Da'wah komperehensif...
Data Base dan Peta Da'wah Masjid Jogokariyan Yogyakarta tak hanya mencakup :
Nama KK dan warga...
Pendapatan...
Pendidikan dll...
tetapi juga sampai pd :
Siapa saja yg sholat & yg belum sholat...
Yang sholat di Masjid & yg belum sholat di Masjid...
Yang sdh berzakat atau yg belum...
Yang sdh ber-qurban atau yg belum ber-qurban...
Yang aktif mengikuti kegiatan masjid atau yg belum...
Yang berkemampuan di bidang apa dan bekerja di mana...
pokoknya detail bingitz deh...😉😘
Dari Data Base diatas kita bisa tahu
Bahwa dari 1030 KK (4000-an penduduk sekitar masjid) yg belum sholat tahun 2010 ada 17 orang...
Lalu bila dibandingkan dengan data tahun 2000 yang belum sholat 127 orang...
Dari sinilah perkembangan Da'wah selama 10 tahun terlihat
Peta da'wah Masjid juga memperlihatkan gambar kampung yang dirumah-rumahnya berwarna-warni...
Warna hijau 🐸 berarti
SANGAT mendukung da'wah
Warna hijau muda 💚 berarti
CUKUP mendukung Da'wah
Warna kuning 💛 berarti
NETRAL terhadap Da'wah
sedangkan...
Warna merah ❤ berarti
MUSUH Da'wah
Di tiap rumah ada juga atribut iconik.. Icon Ka'bah 🕋 berarti sdh berhaji
Icon Unta 🐫 berarti sdh ber-Qurban Icon Koin 💰 berarti sdh berzakat
Icon Peci 🎩 berarti sdh...dsb...
Konfigurasi rumah sekampung itu juga biasa dipakai tuk mengarahkan para Ikhwah da'i yang juga sedang cari rumah...
Masjid Jogokariyan juga berkomitmen tidak membuat unit Usaha agar tidak menyakiti jamaah yang juga memiliki bisnis serupa...
ini harus dijaga...
misalnya...
tiap pekan Masjid Jogokariyan biasa menerima ratusan tamu, shg konsumsi utk tamu di-orderkan bergilir pada jamaah yang punya rumah makan...
Data jamaah juga digunakan tuk Gerakan shubuh Berjamaah...
Pada tahun 2004 dibuat Undangan Cetak layaknya Undangan Pernikahan tuk Gerakan Shubuh...
By name...
UNDANGAN :
Mengharap kehadiran
Bapak/Ibu/Saudara...
dlm acara Sholat Shubuh Berjamaah, besok pukul 04.15 WIB
di Masjid Jogokariyan..."
Undangan itu dilengkapi hadis-hadis keutamaan Sholat Shubuh... hasilnya...??
Silahkan mampir ke Masjid Jogokariyan untuk merasakan Jamaah Shubuh yang hampir seperti Jamaah Sholat Jum'at...
Sistem keuangan Masjid Jogokariyan juga berbeda dari yg lain...
Jika ada Masjid mengumumkan dengan bangga bahwa saldo infaknya jutaan, maka Masjid Jogokariyan selalu berupaya keras agar di tiap pengumumaan saldo-infak harus sama dengan NOL Rupiah !!
Infak itu ditunggu pahalanya tuk jadi amal sholih, bukan tuk disimpan di rekening Bank...
Sebab pengumuman infak jutaan akan sangat menyakitkan jika tetangga Masjid ada yang tak bisa ke Rumah Sakit sebab tak punya biaya atau tak bisa sekolah...
Masjid yang _menyakiti Jamaah_ ialah tragedi da'wah...
Shg dgn pengumuman saldo infak sama dengan NOL Rupiah, maka jamaah lebih bersemangat mengamanahkan hartanya...
pun kalau saldo Masjid masih jutaan yaa maaf kalau malah membuat infak jamaahnya nggak semangat...
Wifi di Masjid Jogokariyan sudah dr tahun 2004...dan itu "gratis-tis",
shg Jamaah baik dari anak-anak maupun dewasa tdk perlu repot-repot ke WarNet yg sangat memungkinkan mereka untuk membuka situs yang bukan-bukan...😐
Kami juga menyediakan ruang olahraga atau bermain yang terdapat alat olahraga seperti tenis meja dll, sehingga anak-anak atau remaja atau pemuda yang ingin bermain atau berolahraga di Jogokariyan bisa kerasan atau betah...
Daripada "mereka" main atau ber-olahraga diluar masjid yg biasanya waktu mereka saat itu bertabrakan dengan waktu sholat...
Dan Alhamdulillah...
Biasanya kami bisa menyediakan setidaknya 1000 piring sebagai menu buka puasa di Bulan Romadhon...
Juga secara gratis-tis untuk para Jama'ah...
Masjid Jogokariyan pada thn 2005 juga meng-inisiasi Gerakan Jamaah Mandiri... yaitu :
Jumlah biaya setahun dihitung
dibagi 52...
ketemu biaya pekanan...
dibagi lagi dgn kapasitas masjid...
lalu ketemu biaya per-tempat sholat... Setelah itu disosialisasikan...
Kemudian Jamaah diberitahu bahwa jika dalam sepekan mereka ber-infak dengan jumlah "segitu" maka dia katagori Jamaah Mandiri...
Adapun jika berinfak lebih, maka dia termasuk Jamaah Pensubsidi...
Tetapi...
Jika dia tidak ber-infak atau berinfak kurang maka dia termasuk Jamaah di Subsidi...
Kemudian sosialisasi ditutup dengan kalimat :
"Doakan kami tetap mampu melayani ibadah anda sebaik-baiknya..."
Gerakan Jamaah Mandiri Alhamdulillah sukses menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%...☺😍😘
Toh ternyata orang malu 🙈🙊 jika ia beribadah tapi disubsidi...
Demikianlah jika peta...data...
dan pertanggungjawaban keuangan masjid transparan...
sehingga infak 1000 rupiah pun kita tahu kemana alirannya
Maka tanpa diminta pun jamaah
akan berpartisipasi...
Dan tiap kali renovasi Masjid...
Takmir Masjid berupaya
tak membebani jamaah dgn Proposal sebab Takmir hanya pasang spanduk : "Mohon maaf ibadah Anda terganggu, Masjid Jogokariyan sedang kami renovasi..."
Nomor rekening tertera di bawah...
Dan sejak tahun 2005 Masjid Jogokariyan sudah menjalankan program Universal Conference Insurance...
dimana seluruh Jamaah Masjid bisa berobat di Rumah Sakit atau klinik manapun secara Gratis-tis dengan membawa Kartu Sehat Masjid Jogokariyan...
Dan kami juga biasa memberi hibah Umrah bagi jamaah yang betul-betul rutin Jamaah Sholat Shubuh di Masjid Jogokariyan...
Inilah beberapa output dari Program Masjid Mandiri...
Artinya semua yang dari jamaah akan kembali ke Jamaah...
Satu kisah lagi tuk menunjukkan _pentingnya data dan dokumentasi_, yakni......
Masjid Jogokariyan punya foto pembangunannya di tahun 1967, gambarnya seorang Bapak sepuh berpeci hitam...berbaju batik...
dan sarungan sedang mengawasi
para tukang pengaduk semen tuk Masjid Jogokariyan...
Di tahun 2002/2003 Masjid Jogokariyan direnovasi besar-besaran kemudian foto itu dibawa kepada putra si kakek dalam gambar tsb...
Putranya seorang juragan kayu...
Kami katakan pada Putra kakek yang ada di foto tadi :
"Ini gambar Ayahanda Bapak ketika membangun Masjid Jogokariyan, kini Masjid sudah tak mampu lagi menampung Jamaah, sehingga kami bermaksud merenovasi masjid, Jika berkenan tuk melanjutkan amal jariyah Ayahanda Bapak, kami tunggu partisipasi bapak di Jogokariyan...
Alhamdulillah...
foto tua tahun 1967 itu membuat yang bersangkutan nyumbang 1 Miliar Rupiah dan mau menjadi Ketua Tim Pembangunan Masjid Jogokariyan sampai sekarang...
Ajib...!!
Foto tua yg telah dibingkai indah itu ternyata "seharga" 1 Miliar...😊
So...
kapan mau ke Masjid Jogokariyan...? 😍😘
☘☀☘☀☘☀☘☀☘☀
Kalo ke Jogja, jangan lupa mampir di Teras Dakwah & Masjid Jogokariyan.. dua elemen Dakwah yang semangat dakwah dengan cara yang berbeda.. inilah Jogja, Dakwah nya Istimewa!!
info selengkapnya ada di :
www.masjidjogokariyan.com
www.terasdakwah.com


Lailatul Qodar Para Sufi

Oleh: Kh. Agus Sunyoto

Di tengah keheningan malam yang melingkupi Pesantren Sufi yang dipenuhi jama’ah pemburu Lailatul Qodr, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat para jama’ah menoleh berbarengan ke arah halaman melihat Mas Wardi Bashari, santri lawas, melonjak-lonjakkegirangan di samping Sufi Sudrun. Rupanya, di bawah petunjuk dan arahan Sufi Sudrun, Mas Wardi Bashari menyaksikan dengan pandangan bashirah bagaimana gemuruh para malaikat dan ruh turun dari langit tinggi ke langit dunia.“Aku sudah menyaksikan. Aku sudah menyaksikan,”seru Mas Wardi Bashari dengan nafas terengah-engah,”Sungguh penyaksian yang luar biasa menakjubkan.”Hanya dalam hitungan menit, mushola yang semulapenuh menjadi kosong karena semua lari ke halaman, ingin menyaksikan malam kemuliaan yangditandai turunnya para malaikat dan ruh ke dunia. Sambil bertanya ini dan itu kepada Mas Wardi Bashari dan Sufi Sudrun, mereka ingin ikut menikmati anugerah ruhani menyaksikan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Sebagian di antara jama’ah yang diberitahu Mas Wardi Bashari tentang kegaiban luar biasa yang disaksikannya yang berlangsung sampai saat itu, bersujud syukur memanjatkan puja-puji kemuliaan kepada Tuhan meski mereka tidak menyaksikan sendiri malam mulia itu. Hingar kegembiraan menyemarakkan malam ke-21 Ramadhan dengan celoteh para pemburu Lailatul Qodr.Setelah lebih setengah jam terlibat hiruk di halaman, Ndemo dan Aditya masuk ke dalam mushola, di mana mereka mendapati Guru Sufi, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Senewen sedang tenggelam dalam kekhusyukan iktikaf. Mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian apa pun yang berlangsung di sekitarnya. Mereka melanjutkan iktikaf sampai fajar.Usai sholat Subuh dengan benak dikitari tanda tanya Aditya bertanya kepada Guru Sufi tentang peristiwa aneh tidak masuk akal yang dialami Mas Wardi Bashari, yaitu menyaksikan bagaimana pada malam kemuliaan itu para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Mohon maaf Mbah Kyai, apakah malam kemuliaan itu memang bisa kita saksikan?” tanya Aditya.“Yang bersih hati dan jiwanya, bisa menyaksikan secara bashirah,” sahut Guru Sufi datar.“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya belum puas,”Kalau Mas Wardi Bashari saja bisa menyaksikan Lailatul Qodr, maka logikanya Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir pasti lebih bisa menyaksikannya.”Guru Sufi diam tak menjawab.“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya melanjutkan pertanyaan,”Kalau Mbah Kyai punya kemampuan untuk menyaksikan Lailatul Qodr, kenapa Mbah Kyai tidak keluar untuk menyongsong Lailatul Qodr? Bukankah dengan kemampuan menyaksikan yang gaib itu, Mbah Kyai akan sangat muda menjemput malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh itu ke dunia?”“Kami tidak pernah berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr,” sahut Guru Sufi dingin.“Apa, godaan?” sergah Aditya kaget,”Mbah Kyai tidak berhasrat kepada Lailatul Qodr? Bagaimana ini? Bukankah orang sedunia beramai-ramai mencari Lailatul Qodr tapi Mbah Kyai malah menganggapnya sebagai godaan,bagaimana penjelasannya?”“Memangnya ada perintah yang mewajibkan kita untuk mencari dan menjemput Lailatul Qodr?” sahut Guru Sufi datar,”Apakah hukum menjemput Lailatul Qodr itu wajib atau sunnah? Apakah Rasulullah Saw pernah mencontohkan iktikaf di masjid dengan tujuan utama mendapatkan Lailatul Qodr?”Aditya diam tidak menjawab.“Kalau berdzikir mengingat Allah, Dzat Yang Memiliki dan Mengaruniakan Lailatul Qodr kepada umat Islam, apakah hukumnya?” tanya Guru Sufi.“Kalau Dzikir itu hukumnya wajib, Mbah Kyai, karena perintah untuk dzikir mengingat Allah itu diungkapkan berkali-kali di dalam Qur’an,” sahut Aditya garuk-garuk kepala,”Tapi semua orang di dunia pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini pada berebut menjemput Lailatul Qodr. Apakah itu salah Mbah Kyai?”“Tidak ada yang salah dari kebiasaan memperebutkan pahala seribu bulan yang sudah berurat akar itu, sebagaimana tidak salahnya orang-orang yang berjuang keras untuk bisa masukke dalam surga karena Lailatul Qodr sendiri adalah bagian dari ni’mah Ilahi yang bermuara ke ni’mah surgawi. Tetapi apa yang kami lakukan dengan istiqomah mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Allah sehingga mengabaikan dan bahkan menganggap Lailatul Qodr sebagai bagian dari godaan ni’mah surgawi yang bisa memalingkanhati dan pikiran kami dari Allah, juga tidak boleh dianggap salah,” jawab Guru Sufi.“Tapi Mbah Kyai, bagaimana orang beragama menjalankan perintah Allah dengan mengabaikan ni’mah kemuliaan Lailatul Qodr dan kenikmatan surgawi?” tanya Aditya belum faham.“Orang beragama menjalankan perintah Allah itu ada dua golongan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Yang pertama, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap imbalan dari Allah berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi. Golongan inilah yang paling besar jumlahnya. Sementara golongan yang kedua, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan harapan menjadi hamba yang lebih dekat kepada Allah gunamendapat ridho-Nya tanpa mengharap apa pun di antara aneka kenikmatan yang dilimpahkan-Nyakepada hamba-Nya.”“Maaf Mbah Kyai, bagaimana menjelaskan secara masuk akal perihal kedua golongan itu?” tanya Aditya belum memahami uraian Guru Sufi.“Jika engkau menjadi orang yang kaya raya, lalu datang orang mendekatimu dan mengatakan wahaiMas Aditya biarlah aku bekerja sebagai karyawanmu asal engkau beri aku gaji yang banyak, engkau beri aku mobil dinas, engkau beri aku jatah makanan yang sangat lezat, engkau beri aku rumah,ijinkan aku sekali waktu masuk ke dalam tamanmu untuk ikut pesta kebun. Inilah analogi dari gambaran golongan pertama yang menjalankan perintah Allah karena berharap mendapat imbalan Ni’mah Allah. Sementara untuk golongan kedua ibaratnya engkau orang yang kaya raya memiliki segala, lalu datang seseorang yang mendekatimu dengan mengungkapkan hasratnya untuk menjadi pegawaimu tanpa sedikit pun ia menginginkan imbalan harta kekayaanmu. Ia menginginkanmu menjadi tuannya. Ia memasrahkan semua dirinya utuh atas keputusanmu, apakah dia akan engkau jadikan pekerjamu sebagai jongos, kacung, sopir, tukang masak, asisten dengan sedikit pun tidak memikirkan imbalan upah dan pemberianmu. Nah, bagaimana kira-kira sikapmu terhadap dua orang yang yang berbeda ini?” kata Guru Sufi menjelaskan.“Saya faham Mbah Kyai,” sahut Aditya menyimpulkan,”Berarti Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir masuk golongan yang kedua sehingga mengabaikan Lailatul Qodr dan aneka Ni’mah Surgawi, sebaliknyahanya menghadapkan kiblat hati dan pikiran kepada Pemilik sekaligus Pemberi anugerah kemuliaan Lailatul Qodr.”Guru Sufi diam.“Kenapa Mbah Kyai memilih menjadi hamba dari golongan kedua?” tanya Aditya ingin penjelasan, “Mohon penjelasan untuk bisa kami jadikan pedoman dalam meniti jalan menuju-Nya.”“Allah sudah bersabda: Waladziina jahadu fiina lanahdiyanahum subulana (barang siapa berjihad dengan sungguh-sungguhmenuju Kami, maka akanKami beri jalan-jalan Kami). Itu berarti, menuju Allah itu wajib didasari semangat jihad yang menyala-nyala pantang redup dan padam. Tetapi hendaknya kalian ingat, bahwa Allah bukan Sesuatuyang bersifat statis yang membiarkan seseorang mendekati-Nya. Allah akan menguji semua yang mendekati-Nya untuk membuktikan kebenaran darijihad yang dijalankannya dalam menuju Allah. Begitulah, berbagai hal yang berkaitan dengan ni’mah kemuliaan – maunah, karamah, himmah, tahakkum, termasuk lailatul qodr - yang dihamparkan di hadapan seorang salik pada dasarnya adalah ujian bagi kesungguhannya menuju Allah,” kata Guru Sufi menjelaskan.“Kami faham Mbah Kyai,” kata Aditya manggut-manggutdengan wajah berseri-seri,”Berarti laku ruhani yang dijalankan para sufi pada dasarnya adalah memaknai secara haqqi qi perjuangan kembali kepada-Nya dengan berpedoman kepada kalimah Innalillahi wa inna ilaihi roji’un – Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Benar begitukah Mbah Kyai?”Guru Sufi mengangguk meng-iya-kan.“Alhamdulillah,” sahut Aditya gembira,”Berarti saya tidak perlu lagi marah kalau dicela murid-muridnya ustadz Dul Wahab sebagai ahli neraka karena amaliah bid’ah, karena sejatinya apa yang saya jalankan tujuannya hanya kepada Allah dan tidak bersangkut-pautdengan makhluk ciptaan yang disebut surga dan neraka. Terima kasih Mbah Kyai,” Aditya menyalami dan mencium tangan GuruSufi dengan hati terasa luas, seluas samudera raya tanpa tepi.

Wednesday, June 22, 2016

Orang-orang Cahaya Di Kegelapan Siang

“Jadi, Mon”, Markesot berbisik ke telinga Saimon, “sebaiknya kamu segera balik ke Kiai Sudrun, laporkan kepada beliau bahwa saya tidak lulus melaksanakan pesan beliau. Sebagaimana anak-anak muda yang berhimpun di arena ini, saya sudah tidak lagi menyentuhkan tangan saya ke wilayah-wilayah yang beberapa puluh tahun silam saya tekuni dan saya sayangi”
“Ah. Putus asa kamu Sot”, Saimon tersenyum.
“Saya mau bersentuhan dengan anak-anak di arena ini karena mereka memilih dekat dengan Ibunya. Mereka terus belajar dan bekerja dengan murni untuk mencintai dan membangun masa depan Ibu Pertiwi, justru karena Negara dan Pemerintah, si Bapak, belum mampu berbuat lain kecuali merusak dan menyakiti Ibu”
“Ah over-romantic, Sot”
“Coba kamu bilang over-romantic untuk kalimat kesimpulan berikut ini: Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un….”
“Kurang ajar kamu”, Saimon tertawa.
“Mereka tuli bisu dan buta, sehingga tak akan bisa kembali kepada kebenaran”, Markesot meneruskan.
“Saya dan kebanyakan Jin lebih dulu tahu ayat Tuhan itu dibanding kamu dan kebanyakan manusia”
“Khotamallahu ‘ala qulubihim wa ‘ala sam’ihim wa ‘ala abshorihim ghisyawah, wa lahum ‘adzabun ‘adhim”
“Lumayan juga kamu hapal itu, Sot”
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, serta penglihatan mereka ditutup. Dan adzab yang dahsyat buat mereka…”
“Pasti Kiai Sudrun punya penglihatan yang kita tidak punya, Sot, sehingga dia tetap menyuruhmu untuk melakukan seperti yang sebelumnya berpuluh-puluh tahun kamu lakukan”
“Saya disuruh ngurusi si Bapak lagi maksudnya?”
“Tanya langsung ke beliau. Saya hanya menyampaikan”
“Saya disuruh keluar dari Tabung Cahaya ini kemudian berteriak-teriak, ambil Cambuk, masuk istana si Bapak, memaksanya keluar dan melemparkannya kembali ke rumahnya?”
Masih panjang Markesot menggerundal, tapi kalau Saimon menanggapinya, pasti akan lebih panjang lagi.
Sesungguhnya mereka berdua berdegam-degam hatinya berada di arena tarian cahaya itu.
Tetapi sekaligus diam-diam merasa sangat sedih. Sebab nanti memasuki fajar, menjelang pagi, pesta cahaya itu akan berakhir. Semua yang hadir, terutama yang berasal dari wilayah-wilayah sekitar di dalam Negeri yang menyedihkan ini, akan berduyun-duyun pulang. Kembali ke rumahnya masing-masing dengan hati yang juga sedih.
Sebab sesudah mereka mengalami malam yang terang benderang oleh hujan cahaya yang ulang-alik dari langit ke bumi dan dari bumi ke langit — mereka kemudian harus memasuki “kegelapan siang”. Ya, “orang-orang cahaya” itu harus kembali memasuki siang-siang yang penuh kegelapan.
Betapa memilukan. Sebulan penuh mereka harus menenggelamkan diri dalam kegelapan siang demi siang, sampai bulan berikutnya mereka berkumpul kembali di arena tarian cahaya yang terang benderang sepanjang malam.
Masing-masing mereka juga, di tengah kegelapan siang, selalu harus menyembunyikan pengalaman cahaya terang benderang itu. Mereka sangat ingin menceritakan kepada orang-orang di sekitarnya, keluarganya, para tetangga dan siapapun yang mereka temui, di tempat pekerjaan, di kantor, pasar, jalanan dan di manapun.
Namun kebanyakan di antara mereka mengurungkan niatnya untuk menceritakan, memilih untuk menyimpannya diam-diam, karena urut-urutan sejumlah sebab.
Pertama, berdasarkan beberapa pengalaman di antara orang-orang cahaya, kelau mereka menceritakan itu, masyarakat di sekitarnya menyimpulkan bahwa si pencerita itu orang gila, atau orang sesat, atau orang kafir, atau orang takhayul, atau orang bid`ah. Masih untung kalau sekadar dituduh sebagai orang lucu atau tukang mengarang.
Kedua, kebanyakan orang-orang itu tidak memiliki alat untuk memahami, apalagi mempercayai, apa yang diungkapkan oleh orang-orang cahaya.
Ketiga, mereka menyangka bahwa cahaya adalah yang tampak oleh mata mereka.
Keempat, cahaya yang mereka maksudkan adalah sesuatu yang membuat benda-benda bisa dilihat oleh mata mereka.
Kelima, benda yang bisa mereka lihat dengan mata mereka hanya uang dan kemewahan.

by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/orang-orang-cahaya-di-kegelapan-siang/

Memilih Ibu, Meninggalkan Bapak

Dua puluh tahun yang lalu beredar lagu dan narasi tentang kasus Gerhana Matahari, yang diakhiri dengan rekomendasi agar orang-orang berjuang untuk Menyorong Rembulan.

Ini amsal. Tuhan tidak merasa malu untuk membikin perumpamaan dengan menyebut nyamuk atau apapun yang kebanyakan manusia meremehkannya. Menyorong Rembulan adalah amsal yang mengumpamakan Matahari berfungsi seperti Tuhan, Rembulan berposisi Raja atau Pemerintah, sedangkan Bumi adalah Rakyat suatu Negeri, Negara atau Kerajaan.
Tuhan melimpahkan kesejahteraan ibarat matahari memancarkan sinar. Pada siang hari sinar itu langsung menaburi Bumi dan memandikan penghuninya. Jika malam tiba, Rembulan memantulkan sinar itu, sehingga Bumi tidak diselimuti kegelapan.
Kenapa Gerhana? Kenapa Rembulan menutupi Matahari, menghalangi sinarnya untuk merahmati Bumi? Kenapa Pemerintahan demi Pemerintahan di Negeri ini hampir selalu membangun Gerhana? Hampir selalu memonopoli cahaya Matahari, padahal pada hakikinya itu adalah hak Bumi?
Pernah ada era di mana Rembulan seakan bisa disorong, sehingga semua rakyat optimis cahaya Matahari akan tak lagi digerhanai untuk mereka nikmati. Ternyata tidak terjadi. Sama sekali tidak terjadi. Bahkan sudah empat Pemerintahan berlangsung, Gerhananya makin menjadi-jadi. Dan satu dua tahun terakhir ini adalah puncak Gerhana.
Maka sebagian kaum muda rakyat Negeri ini berkumpul di arena ini, juga di banyak arena-arena lainnya di berbagai wilayah. Untuk membikin semacam Tabung Cahaya yang persentuhan dan persambungannya hanya ke Langit dan Alam.
Mereka sudah mengalami, meneliti, merasakan, dan meyakini, sudah ‘ainul yaqin, ‘ilmul yaqin dan haqqul yaqin bahwa tradisi Gerhana itu sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Kesadaran rakyat tidak bisa diservis lagi, mental kaum cerdik pandai di strata menengah harus turun mesin, dan peradaban politik harus ganti baru sama sekali secara menyeluruh.
Maka mereka selalu rindu untuk berhimpun di arena di mana mereka menjadi bagian dari Tarian Tali-tali Cahaya antara Langit dengan Bumi. Apalagi semakin hari semakin bulan semakin tahun semakin banyak yang berhimpun bersama mereka.
Tidakkah mereka sebenarnya sedang melarikan diri dari kenyataan?
O tidak. Mereka adalah janin-janin masa depan, yang bahkan sekaligus sedang belajar men-janin-i zaman dan sejarah.
Tidakkah mereka sedang bersembunyi dari kewajiban untuk menjunjung rakyatnya dan menyelamatkan negaranya?
O tidak. Mereka adalah para pengambil keputusan untuk bergabung dengan terbitnya Fajar serta mengolah cahayanya. Karena mereka sudah meninggalkan keremangan Senja yang segera memasuki kegelapan Malam.
Tapi apa hubungannya dengan Buah Simalakama?
Ibu adalah Alam. Bapak adalah Pemerintah. Rakyat, dalam simbolisme ini, adalah anak-anak.
Si Bapak itulah yang menghalangi sampainya sinar matahari ke anak-anaknya. Yang merampok, menghimpun dan menumpuk-numpuk sendiri cahaya kesejahteraan dari Tuhan.
Si Bapak itulah kolonialis-imperialis terhadap anak-anaknya sendiri. Si Bapak itulah diktator yang memaksakan kemauan dan aturan egoisnya ke anak-anaknya sendiri. Si Bapak itulah kapitalis, penghisap darah, penyedot kekayaan bumi, pengotor udara, lintah di darat maupun di laut.
Si Bapak itulah juara tipu daya, jagoan muslihat, malaikat kebohongan, seniman topeng, rasul dusta, iblis berlagak penggembala, dajjal berpakaian pendeta dan ulama, ya’juj ma’juj yang tak tahu apapun kecuali siang malam mengeruk keuntungan dunia.
Maka kaum muda yang berhimpun di arena itu sudah mengambil keputusan pasti: meninggalkan Bapak, memilih Ibu.

by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/memilih-ibu-meninggalkan-bapak/

Bukan Bapak atau Ibu Tapi Anak Mati

“Langkahmu terbalik, Mon”, Markesot menyerang Saimon lagi, “kamu mengajak ke tempat yang akan menunjukkan kepadamu sesuatu yang sebaliknya”
Saimon merespons, “Silakan kamu ngomong dan menyimpulkan apa saja, asalkan jangan bertanya”
Markesot tertawa. “Sekarang ini kamu yang berada pada posisi untuk bertanya, dan saya tidak melarangmu untuk bertanya, tapi saya pastikan kamu malu dan gengsi untuk bertanya”
“Sekali lagi, silakan membuka mulut selebar-lebarnya”
“Buah Simalakama tidak lagi menakutkan bagi semua manusia yang berhimpun di arena ini. Mereka malah mencarinya, untuk ditelannya. Lebih tepatnya di-untal. Tapi tak ada kata lain dari bangsa apapun, di dunia manusia maupun Jin, yang bisa menjadi padanan persis dari kata nguntal itu”
Saimon pura-pura tidak mendengarkan.
“Buah Simalakama adalah gambaran dilema sangat mendasar dalam kehidupan manusia: kalau dimakan Bapak mati, kalau tak dimakan Ibu mati….”
“Kalau menjelaskan definisi itu tolong di depan manusia-manusia aktivis pemula atau Jin generasi remaja”, Saimon sinis memotong.
Markesot tertawa gembira, dan meneruskan: “Yang membuat kaum muda manusia berkumpul di arena ini adalah karena sebelumnya mereka mengalami Buah Simalakama yang lebih parah….”
“Terserah”, sahut Saimon.
“Pilihan mereka lebih dari Bapak mati atau Ibu mati. Mereka dibunuh oleh Bapak mereka. Sesulit-sulitnya Buah Simalakama hanya memuat kemungkinan Bapak mati atau Ibu Mati, tapi tidak ada klausul si Anak mati….”
Ternyata akhirnya Saimon tak tahan juga untuk terus membisu. Ia mengejek: “Katanya manusia punya pedoman Berani hidup, tak takut mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup mati saja….”
Markesot tidak peduli.
“Dan”, ia meneruskan, “yang terjadi pada mereka lebih parah lagi: si Anak bukan hanya mati, tapi dibunuh oleh Bapaknya….”
“Jadi yang berkumpul di arena ini adalah hantu-hantu?”
“Kok hantu?”
“Kata kamu tadi dibunuh oleh Bapaknya”
“Aduh bodohnya kamu, Mon. yang dibunuh itu asas sejarahnya. Kepribadiannya. Haknya untuk berkehendak akan pergi ke mana, menempuh apa, menjadi apa, tujuannya ke arah mana, dan seterusnya. Aduh kok kamu agak rabun sekarang. Apa benar kamu melihat cahaya bertaburan dan menari-nari di arena ini. Jangan-jangan karena kamu terlalu sering dolan main-main ke dunia manusia, lantas kamu ketularan buta seperti kebanyakan manusia….”
Memang, para penduduk di sekitar arena ini, bahkan penduduk seluruh Negeri di mana arena itu berada, kebanyakan tidak melihat ada apa-apa di situ. Apalagi cahaya.
Padahal sebenarnya cahaya di arena ini bukan ghoib, bukan maktum atau masrur atau mahfu`. Cahaya itu lebih nyata dibanding segala yang nyata. Lebih terang benderang dibanding segala yang pernah dilihat oleh mata.
Akan tetapi tradisi kehidupan para penduduk Negeri itu sudah hampir enam abad menyia-nyiakan kemampuannya untuk melihat spektrum-spektrum ma’rifatul-hayat. Mereka digiring oleh kekuasaan dari luar Negeri mereka, untuk mempersempit kemampuan pandang alamiahnya menjadi hanya terbatas pada indra ragawi mereka.
“Sot”, tiba-tiba Saimon berkata, “kalau kamu menjelaskan sesuatu, ya jelaskan saja, tidak perlu diawali atau sambil atau dibuntuti dengan ejekan kepada saya”
“Tidak ada bagian manapun dari penjelasan saya yang mengejek kamu”, jawab Markesot, “kamu jangan terlalu psikologis, Mon. Jin kok cengeng. Nanti saya bisa jadi ikut kacau menjelaskan Bapak Mati, Ibu Mati, Anak Mati, Bapak bunuh Anak, bunuh apanya, bunuh bagaimana. Nanti bisa gagal saya menjelaskan Bapak itu siapa atau apa, Ibu itu apa atau siapa, Anak itu terbunuh apanya siapanya….”
“Lho”, Saimon memotong, “Siapa yang minta penjelasan dari kamu? Dan lagi, bukan kamu yang mengarang Nguntal Buah Simalakama, kok kamu yang ribut mau menjelas-jelaskan?”.

by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/bukan-bapak-atau-ibu-tapi-anak-mati/

Tarian Tali-tali Cahaya

Ada yang melintas-lintas di seputar arena itu, menebar kesejukan, tapi tak terlihat bentuknya. Ada yang gelombang. Bahkan ada berwarna-warni namun kaum manusia tak pernah dan tak akan pernah mampu melihat atau merumuskannya. Ada suara yang bening. Juga yang gemeremang.
Berjejal-jejal. Ada yang berasal dari masa silam, tak sedikit juga yang dari masa depan. Para sesepuh kehidupan. Para leluhur mereka yang hadir. Para Sunan dan Masyayikh, Ki Ageng, Ki Gede, rombongan Brahma murid Nabi Ibrahim yang segenerasi maupun yang anak cucunya.
Tetapi pada sangat banyak jenis dan bentuk makhluk yang bermacam-macam itu, ada satu yang sama. Yakni cahaya yang berdenyar-denyar antara titik pusat kehadiran masing-masing makhluk itu dengan langit. Beribu-ribu, mungkin berjuta-juta tali cahaya menyambung langit dengan arena itu. Cahaya yang di kandungannya terdapat sesuatu yang mengalir dan bergelombang-gelombang, ulang-alik langit-bumi bumi-langit.
Ribuan makhluk itu bukan pemancar cahaya, mungkin mereka penerima pancaran cahaya. Kemudian memantulkannya. Kemudian ditimpa pancaran lagi, memantulkannya kembali, demikian seterusnya. Masing-masing akhirnya hanya berwajah dan berujud cahaya. Atau lebih tepatnya mereka adalah bagian dari pesta cahaya.
Di antara mereka ada yang memahaminya sebagai tali cahaya tajalli. Ada yang menyebut tali cahaya hidayah. Atau tali cahaya ridla. Tali cahaya ‘isyiq. Juga ada yang menyederhanakannya sebagai tali cahaya mahabbah. Tapi ada juga yang menghayati dan menikmatinya sebagai tali cahaya cinta.
Saimon dan Markesot berdiri di bawah sebuah pohon, agak jauh di bagian belakang dari pusat arena, tanpa berbicara satu sama lain.
Markesot melirik ke wajah Saimon. “Kamu tampaknya heran dan agak kagum melihat suasana di arena ini”, katanya.
“Ingat lho Sot, saya yang mengajak kamu ke sini. Jadi jangan sampai bodoh menyangka bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang apa yang berlangsung di sini”
“Saya bukan menyangka. Saya hanya membawa wajahmu”
“Tai Jin kamu”
Markesot tertawa kecil. “Di dunia manusia untuk memaki tidak perlu sampai menggunakan tainya sendiri. Cukup tai kucing”
Saimon tertawa.
Semakin malam, pesta tarian beribu tali-tali cahaya semakin meriah, tetapi berlangsung dalam keheningan. Riuh rendah dan penuh pergerakan-pergerakan sangat indah, tapi dibungkus di dalam tabung raksasa kesunyian.
Hampir dua puluh tahun silam, yang berdenyar hanya beberapa utas tali, yang masih belum benderang wujudnya sebagai cahaya. Berikutnya dari bulan ke bulan bertambah menjadi ratusan, kemudian ribuan perayaan tali-tali yang makin terang kehadirannya sebagai cahaya.
“Mon, kamu dengan mantap menyeret saya ke sini ini”, kata Markesot, “tanpa kamu tahu bahwa kamu sedang menjebak dirimu sendiri”
“Menjebak apa?”, Saimon bertanya.
Markesot tertawa. “Sebenarnya saya juga melarangmu untuk bertanya, sebagaimana kamu melarang saya untuk bertanya. Tapi tak apa, saya mengalah…”
“Menjebak apa?”, Saimon mendesak.
“Baiklah saya jelaskan. Pelan-pelan. Dan jangan dipotong”
“Ya. Menjebak apa?”, Saimon tidak sabar.
“Kamu kan dipesan oleh Kiai Sudrun untuk mendesak saya agar kembali ke bumi, kembali menginjak tanah, mengurusi persoalan-persoalan nyata manusia, problem sosial, konstelasi dusta politik, kebohongan kekuasaan dan penyamaran penguasaan, mengkritisi kepengurusan Negara, memberi tenaga kepada mesin anti korupsi, menganalisis lapisan-lapisan ketertindasan rakyat, dan semua yang sejenis-jenis itu — kemudian diharapkan saya ikut memberi pencerahan kepada rakyat, menyelenggarakan pendidikan politik di sana-sini, menyebarkan penyadaran sejarah, dan berbagai hal lain yang sudah jelas tidak ada gunanya, semacam-semacam itu. Iya tho? Mon, iya to? Begitu kan pesan Kiai Sudrun kepadamu?”.

by. Emha Ainun Nadjib
https://caknun.com/2016/tarian-tali-tali-cahaya/

Hari Raya di Langit

Hari Raya di langit adalah ketika engkau bermakmum shalat di belakang Rasulullah.
Rasulullah meng-Imam-imu bersama jamaah yang tak kan pernah kau ketahui jumlahnya.
Fa sholla kullu man fis-sama`i wa antal-Imam”.
Bersembahyanglah setiap dan semua yang di Langit, dan Rasulullah imamnya.
Ketika engkau tinggal di ruang sempit yang bernama “hidup di Bumi”, engkau merasa cemburu karena makmum Baginda Muhammad hanya para penduduk Langit. Itu karena engkau terbiasa mendengar dikotomi Bumi dan Langit. Padahal Bumi adalah seperseribu debu yang merupakan bagian juga dari kebesaran semesta yang engkau sebut Langit.
Maka meskipun engkau masih bertugas menghuni Bumi dan menjalani jenis kehidupan yang paling sempit, dangkal, artifisial, di mana engkau terapung-apung di tengah gelembung-gelembung hologram: cita-citakanlah agar diperkenankan berhari raya di Langit.
Sebaiknya engkau tidak usah terlalu percaya dan mantap atas apa yang kau sangka realitas, sementara dengan mudah dan semberono engkau meremehkan segala sesuatu yang kau sangka dongeng.
Akan lebih efektif kalau engkau tidak terlalu bangga atas segala sesuatu yang kau pelajari dan alami dari kebudayaan di Bumi. Perolehan-perolehanmu dari bangku Sekolah, buku-buku, kabar-kabar, data-data dan fakta yang kau pikir itu sungguh-sungguh data-data dan fakta. Atau semua pendapatan dari khayalan, yang berpuluh-puluh tahun pembelajaranmu tidak menyediakan metode verifikasi untuk menemukan identifikasi yang manakah khayal, yang bagaimanakah imajinasi, yang seperti apa perohanian. Apalagi tradisi panggraita, kawaskitan  dan mukswa, telah kau buang dan tinggalkan.
Ketika engkau berada dan menjadi bagian dari shaf-shaf yang menghampar amat sangat luas melebihi luasnya seribu alam semesta, yang tepian semua arahnya tak terjangkau oleh pandanganmu, meskipun engkau sudah menjadi penghuni Sorga — itulah saat menyesali dan mentertawakan diri-Bumimu, diri-wadagmu, serta berbagai macam diri yang selama ini kau sejati-sejatikan.
Semua makhluk Langit seluruh bagian dan lapisan berjajar, berbaris, seakan Allah sendiri sedang melukis lingkaran-lingkaran cakrawala, yang tepiannya adalah keremangan. Bukan karena cahaya tak mencapainya, tetapi karena sesorga-sorganya para makhluk, tetaplah berada di dalam margin-sempitnya kemahaluasan Allah.
Ketika Baginda Muhammad mengucapkan “Allahu Akbar” dengan suara yang membahagiakan seluruh unsur yang darinya semesta Langit disusun, lantas beliau bersujud, dan engkau bersama para makmum semua melanjutkannya dengan “Allahu Akbar”, dengan suara yang sangat sunyi namun menggemuruh, sehingga seakan-akan Langit itu berdinding, dan seolah-olah dinding-dinding langit itu bergetar oleh “Allahu Akbar” — itulah puncak Idul Fithri.
Meskipun itulah Sidratul-Muntaha, meskipun itulah batas akhir kebahagiaan cinta semua makhluk, namun itulah Hari Raya yang sebenarnya. Engkau tidak lagi berada pada kesadaran tentang jarak, yang membuatmu bertanya “Apakah sembahyang ini benar-benar kualami? Kapan ini? Dan Di mana?”
Karena Sujud Agung bersama Imamul ‘Alamin Baginda Nur Muhammad, tidak dimuat oleh ruang dan tidak mengendarai waktu. Sebab ruang dan waktu justru merupakan bagian yang paling shaleh dari peribadatan abadi Baginda Cahaya Amat Terpuji. Ruang turut bermakmum pada beliau, waktu ikut bersujud di kandungan Sembahyang Cinta beliau.
Ruang hanyalah alat sementara, dan waktu hanyalah jalan sejengkal untuk ditempuh manusia agar tiba kembali di Kesadaran Sejati. Manusia perlu mulai belajar bahwa alamat kehidupan sejatinya tidak di suatu koordinat dalam ruang, dan tidak pada suatu jengkal di antara rentang rasa yang ia sangka waktu.
Manusia berasal usul dari Kesadaran Sejati, diberi peluang sejenak untuk menatap dan membaca Kesadaran Sejati itu, sambil dibimbing untuk melangkah, untuk melakukan perjalanan melingkar, untuk sampai kembali ke asal-usulnya, yakni Kesadaran Sejati itu sendiri. Manusia tidak bertempat tinggal di ruang dan waktu, melainkan di kesadaran.
Kesadaran tidak dimuat oleh kepalanya, oleh gelombang akal, struktur pikiran atau susunan dan komposisi saraf-saraf otaknya, meskipun sebagian dari kesadaran itu meruang di kalbunya.
Manusia juga tidak perlu memikirkan tempat tinggalnya, karena hanya ada satu rumah yang ada dalam kehidupan, yakni kemurahan Allah itu sendiri, yang manusia tidak punya kemungkinan untuk keluar atau minggat darinya.
Manusia tidak perlu mencemaskan, tidak perlu takut atau sedih atas kehidupannya, asalkan ia berkonsentrasi pada tugasnya, yakni  berjuang sebentar menggerakkan Cinta yang hulu Kesadaran Sejati menuju hilir yang juga Kesadaran Sejati.
Itulah mudik yang sejati. Itulah mudik yang sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya mudik.
Itulah perjalanan menuju udik. Atau yang kebudayaan manusia, karena pengetahuannya yang linier dan datar, menyebutnya kembali ke udik. Kampung halaman adalah pencapaian sejengkal dari perjalanan ke udik. Menyatu kembali dengan keluarga sanak famili adalah terminal paling sederhana dari perjalanan ke udik.
Kenapa manusia hari ini memelihara kebodohan dengan menjadikan kata ‘udik’ sebagai bahan ejekan, sebagai lambang keterbelakangan, sebagai simbol ketertinggalan?
Betapa hanya sepetak pencapaian kebudayaan ummat manusia. Betapa hanya sejengkal jangkauan peradaban ummat manusia. Betapa makin kerdil pengetahuan dan ilmu manusia.
Ummat manusia dengan kemegahan modernitas beserta ribuan ekspresi kemewahannya, kenapa begitu sukar menemukan bahwa kehidupan ini tidak terdiri atas belakang dan depan, juga tidak terbagi menjadi dulu dan sekarang dan esok.
Bahkan kiri kanan atas depan hanyalah inisial. Waktu bukanlah tali yang memanjang menjulur lurus dari kegelapan di belakang dan keremangan di depan. Ruang bukanlah kekosongan yang berdinding ketak-terbatasan.
Wahai Baginda Nur, alangkah sulitnya menginformasikan bahwa hidup ini melingkar. Bahwa kehidupan ini bulatan. Bahwa ‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un’ adalah bulatan wajah kehidupan, yang bahkan tanpa kematian….”

by. Emha Ainun Najib
https://caknun.com/2016/hari-raya-di-langit/

Iblis Tidak Butuh Pengikut

Pada suatu malam, manusia Jokam, melenyapkan dirinya, menghadirkan Syekh Kanzul Jannah ke dalam jasadnya. Ia merentangkan kedua tangannya naik ke langit. Kemudian ambruk seluruh tubuhnya. Bersimpuh. Tengkurap memeluk bumi. Merintih-rintih. Memekik-mekik. Meratap-ratap:
“Aku tidak mengerti
Sungguh-sungguh aku tidak memahami
Ngomong apa dan pergi ke mana kalian ini
Makhluk bumi bicara panjang lebar sampai langit
Dari langit omong tak habis-habis sampai bumi
Tema kalian itu-itu saja: Iblis Iblis Iblis Iblis Iblis…
Yang di bumi teriak Iblis, sejauh cakrawala memekik Iblis
Tapel-Tapel, makhluk-makhluk manusia
Merasa diri Malaikat
Anut grubyug mengutuk Iblis
Yang berbuat buruk menyalahkan Iblis
Yang berbuat baik berlaku Malaikat”
“Dari corong-corong kehidupan kalian selalu terdengar:
Iblis terkutuk. Terkutuklah Iblis
Iblis laknat. Terlaknatlah Iblis
Wahai manusia, akulah Iblis
Ketahuilah bahwa aku tidak butuh pengikut
Apalagi pengikut yang bernama manusia
Bukankah kalian sejak dulu semua tahu
Bahwa aku tidak setuju Tuhan menciptakan kalian
Aku tidak menyepakati rancangan Tuhan
Untuk menciptakan para perusak alam
Yang gila penganiayaan dan pembunuhan
Jadi alangkah lucu tuduhan
Bahwa kalianlah yang aku inginkan
Kalianlah yang terjebak olehku
Tanpa aku menginginkan kepatuhan kalian
Aku sama sekali tidak butuh pengikut
Aku bukan makhluk yang tidak percaya diri
Sehingga mabuk untuk ingin diikut-ikuti
Aku tidak butuh manusia
Jadi kenapa kepadaku kalian menghamba
Dan ketika kemudian kalian terperosok dan sengsara
Kalian mengkambing-hitamkanku sebagai penyebabnya”
“Kalian diadu-domba oleh sesama kalian sendiri
Tetapi karena kalian malas belajar membaca keadaan
Maka akulah yang terus-menerus kalian salahkan
Kalian dibikin bertengkar terus-menerus
Kuman-kuman dirasukkan ke dalam kepala kalian
Bakteri-bakteri kejahatan dibenamkan ke
dada kalian
Bahkan di lidah, mata dan telinga kalian
Manusia di antara kalian sendiri
Yang menciptakan Kerajaan Siluman
Kerajaan Rahasia
Yang Istananya disembunyikan
Di balik pandangan mata kalian
Yang undang-undangnya dipasang
Di ruang berpikir kalian sendiri
Sehingga prajurit-prajuritnya adalah kalian sendiri
Sehingga kalian bukan kalian lagi”
“Kalian tak mengerti apa dan siapa
Yang menguasai seluruh perilaku kalian
Kalian bergembira ria menggiring diri kalian
Beramai-ramai berjalan menuju jurang kehancuran
Dan alangkah rendah pertahanan akal kalian
Sehingga tak mengerti bahwa sedang dihancurkan
Apalagi kalian menyangka bahwa yang disebut kehancuran
Adalah ambruknya gedung-gedung
Adalah padamnya penerangan
Adalah menyampahnya makanan
Atau air yang tinggal comberan
Wahai manusia itu bukan kehancuran
Itu pintu gerbang kematian dan kemusnahan”
“Adapun sesungguhnya
Kehancuran sedang berlangsung
Di dalam kepalamu
Di dalam dada dan jiwamu
Di dalam kesesatan pikiranmu
Di dalam bekunya akalmu
Di dalam kubangan kotor hatimu”
“Wahai sungguh kusesali kenapa kuseret Adam dari sorga
Sehingga dicampakkan ke hutan belantara di bumi
Mestinya kubiarkan manusia tinggal di sorga
Merdeka dari hati
jahat dan pertengkaran yang bodoh
Dulu aku bilang sama Tuhan: ‘Beri aku tangguh waktu sejenak’
Ternyata sekarang segalanya sudah cukup
Manusia tak lagi perlu didorong dan dikawal
Untuk melakukan perjalanan massal
Ke jurang kehancuran
Yang berpuncak pada ketidakmengertian tentang kehancuran”
“Dan aku, sehina-hinanya diriku
Sudah ribuan abad aku berusaha menjadi Iblis yang patuh
Iblis yang teguh dengan tugasnya
Iblis yang konsisten dan jujur dengan patrap-nya
Wahai Tuhan, mohon perintahkan kepadaku
Untuk berhenti dari peran rahasia yang sangat konyol ini
Sesudah Bumi dibikin oleh manusia
Tak bisa kembali kepada diri bumi
Mungkinkah manusia kembali
Kepada diri manusianya lagi?”
Kiranya itulah yang dimaksud Saimon “manusia berlaku tidak sebagaimana dirinya.
 By. Emha Ainun Najib
https://caknun.com/2016/iblis-tidak-butuh-pengikut/

Petani, Siapa sih Mereka?

Menurut KBBI, laman ‘petani’ berarti orang yang pekerjaannya bercocok tanam. Mulia betul batasan itu. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Juru bercocok tanam itu nyaris sepanjang hayatnya bersurat kelabu. Terbaru, serangan sengit berupa video bikinan Human Rights Watch yang mengusung isu child labour. Saking gawatnya persoalan, beberapa pekan lalu, bahkan Dik Iqbal Aji Daryono pun sampai turun tangan melalui setumpuk anti tesis berikut argumen-argumen ampuh sebagai penyanggah.
Tapi sebentar. Pernah ada masa ketika petani diriwayatkan sedemikian mulia, kala rumusan ‘negeri agraris’ masih ranumranumnya. Berikut saya kutip utuh pernyataan tokoh yang saya kagumi, KH Hasyim Asy’ari ihwal periwayatan yang saya maksud :
”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (KH Hasyim Asy’ari)
Kalau sampeyan penyuka komik-komik silat jaman dulu, mari bernostalgia sejenak. Di sana, petani digambarkan kebanyakan bernasib cemerlang. Tampilan boleh gembel atau berbusana compang-camping, namun tidak jarang sosok ini ditakdirkan sebagai jagoan penumpas kejahatan, atau jika si pengarang baik hati, kadang dihadiahi peran sebagai sesepuh sebuah padepokan, tentu dengan aji kanuragan pilih tanding.
Tetapi, Mas, Mbak, makin ke sini postulat keren tokoh besar pendiri Nahdlatul Ulama itu makin kehilangan gema, dan dunia kian jauh dari ilustrasi dongeng yang dipampang di halaman-halaman komik.
Saya punya cerita. Belum lama ini seorang kawan di Denpasar yang namanya diembel-embeli chef mengunggah foto sebuah menu – konon temuannya – di jejaring sosial. Caption : Temuan terbaru, siorica. Perpaduan siobak babi dengan rica-rica, bumbu konvensional, hanya ditambahi irisan kolobak ungu, butiran lada hitam dan bahan lain yang ogah saya sebut. Sila merafat ke ‘Restauran bla bla bla’, Kuta.
Yang serius tetapi luput ditangkap, ada pengingkaran terselubung pada kasus ini. Sedigdaya apapun ilmu memasaknya, sespektakuler apapun temuannya, kawan saya lupa ada peternak yang bekerja telaten untuk empuk daging yang ia olah. Ada andil sejumlah petani bagi ketersediaan bumbu-bumbunya.
Setali tiga uang dengan lelaku para penikmat kopi yang belakangan menjadi tren. Mereka berasyik-masyuk di gerai-gerai kopi kelas satu atau di coffee shop, lihai merapal menu: cortado, half espresso, flat white dengan rasio susu lebih banyak dari latte, black arabica kintamani yang dituang vietnam drop.
O iya, tidak lupa crek, mengunggahnya di media pertemanan sebelum seruputan pertama.
Saya ragu, adakah kelebatan bayangan sosok petani dalam batok satu dua kepala di ruangan yang menguarkan wangi kopi itu? Kelebatan bagaimana petani-petani di pelosok Mandailing sana, di Wamena, Toraja, Bajawa atau Kintamani bersetia melakukan ibadah sunyi, meraut satu-satu biji buah qahwa itu dari tandannya untuk tiap cangkir yang kita seduh.
Katakanlah semacam few second silence alias sesi hening sejenak sebagaimana ritual wajib di negara-negara berkultur bola kuat untuk menghormati atau mengenang seseorang atau sebuah kejadian yang dianggap penting sebelum pertandingan dimulai.
Ngehek sebagai Strata
Agama pun (setidaknya hinduisme), medium menuju Sang Khalik itu menempatkan petani pada posisi yang dipunggungi. Dalam strata profesi – yang sering rancu sebagai kasta – hinduisme meletakkan strata sudra (pekerja kasar termasuk petani dan buruh tani) di urutan buncit setelah brahmana, ksatria dan wesya. Petani, dengan begitu, sudah ada di jenjang upik abu sedari kaidah moralitas itu dibuat atau diwahyukan.
Kesalahan para petani, kalau boleh disebut begitu, mereka gagal menyesuaikan diri dengan hasrat kaum hedonis yang kadung kita sepakati sebagai pemeran sentral di planet bumi yang kita huni ini. Kaum berlumpur ini tak elok wara-wiri di jagat yang diseting kenes. Dunia, kita tahu, menyukai makhluk-makhluk rapi, bertutur santun dan wangi.
Petani? Amit-amit. Mereka wangsa yang hanya pantas berumah di huma, gunung atau hutan. Mau punah digerus tambang, diintimidasi aparat, that’s not our business. Mampus kau dikoyak-koyak industri sawit.
Profesi Sastrawi
Yang menghibur sekaligus jarang dicermati adalah, maqom dunia tani adalah maqom yang sastrawi. Ada relasi romantik antara sastra dengan dunia kaum tani. Ini pendapat subyektif memang, tetapi percayalah, ada benarnya kok. Begini. Profesi berwahana hutan, bukit-bukit, flora, ternak bahkan laut ini adalah silsilah dari mana ide dan gagasan dibedah.
Sulit, misalnya, membayangkan sebuah karya puisi punya nyawa tanpa menyebut lembah, daun, angin, bunyi serangga, bulir padi.
Sewaktu menggubah ‘Huma di Atas Bukit’, bisa jadi Ian Antono tiba-tiba dijatuhi wahyu berwujud anak sungai, “…sebatang sungai membelah huma yang cerah,” katanya. Chairil punya larik masyhur “Cemara berderai sampai jauh…”
Dalam ‘Anak Semua Bangsa’, Pramoedya memberi porsi khusus kepada anak tani bernama Trunodongso demi menyampaikan gagasannya. Novelis Mo Yan memilih kata ‘sorgum’ dalam salah satu novel maha karyanya, ‘Sorgum Merah’.
Nah, contoh-contoh tadi cukup kiranya sebagai tetenger seberapa kental kadar kesastrawian profesi ini.
HKTI dan API Itu Koentji!

Sayang, di nagari yang bahkan tongkat kayu pun jadi tanaman, pelaku tani menciut dari tahun ke tahun. Sesuai data sensus pertanian, dari 31.7 juta rumah tangga tani pada 2003 menjadi 26,13 juta pada2013. Ada penurunan 1,75% per tahun.
Meminjam kesenduan Bung Bre Redana, adakah ini senjakala dunia tani? Mudah-mudahan tidak. Yang pasti, selama logika konsumsi itu ada dan metabolisme tubuh manusia mutlak bergantung kepada pangan, pertanian tidak mungkin binasa dimakan waktu.
Solusi terdekat, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Aliansi Petani Indonesia (API), dua institusi penaung petani dengan reputasi yang tak heroik-heroik amat itu saya sarankan menambahkan kata ‘perjuangan’ di belakang namanya menjadi HKTI Perjuangan dan API Perjuangan.
Siapa tahu, perbaikan nama keduanya, ditambah doa-doa mulia dari segenap homo pengonsumsi se-Indonesia tiap kali laku memamah dimulai, menjadikan semesta bermurah hati, bersedia mematut-matut nasib kaum tani Indonesia menuju kebaikan. Begitu.

 http://mojok.co/2016/06/petani-siapa-sih-mereka/

Mengalirkan Semua Kotoran Demi Romlah

Kandungan Romlah sudah masuk hitungan sembilan bulan. Dia hanya menunggu hari untuk melahirkan. Bidan memperkirakan, Romlah akan melahirkan di ujung Ramadan. Dan itulah yang mencemaskan Sunody Abdurrahman, suaminya.
Dia tentu saja berbahagia karena akan segera punya anak dan tanggung jawab baru sebagai seorang bapak. Tapi yang dia kuatirkan adalah keselamatan istrinya saat melahirkan dan keselamatan calon anaknya. Pikirannya sering dipenuhi kecemasan yang bukan-bukan. Takut Romlah begini. Takut bayi mereka begitu.
Nody memang mencintai istrinya. Jauh-jauh hari dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyongsong hari persalinan istrinya. Tapi semakin mendekati hari kelahiran, kecemasannya semakin mengaduk-aduk.
Mau mengadu ke Mat Piti, mertuanya, dia segan. Mau curhat ke Cak Dlahom yang juga mertuanya, apalagi. Dia kebingungan sendiri. Romlah sudah mengingatkan agar Nody tak usah berpikir yang bukan-bukan. Agar menyerahkan semuanya pada Allah.
“Kita kan hanya bisa berusaha, Mas…”
“Iya, Dik, tapi menyerahkan semua pada Allah itu seperti apa? Aku mencemaskanmu. Mencemaskan anak kita. Aku sudah menyerahkan pada Allah, tapi aku tetap cemas.”
Begitulah jawaban Nody ketika Romlah mencoba menenangkan hatinya. Dia sebetulnya juga cemas. Kecemasannya bahkan jauh lebih besar ketimbang kecemasan Nody. Tapi dia berusaha tenang dan mencoba mengerti kegelisahan suaminya.
Dan sudah sebulan terakhir, wajah Nody lebih sering tampak seperti air keruh. Dia tetap selalu tersenyum, tapi matanya seperti menyorotkan sesuatu yang berat.
Cak Dlahom melihat perubahan wajah Nody itu. Dia melihat Nody bukan Nody yang biasa dia lihat: berwajah cerah. Nody akhir-akhir ini adalah Nody yang selalu menyendiri atau hanya berdua dengan Romlah.
Maka pada suatu malam, Cak Dlahom menemui Nody yang sedang bersantai bersama istrinya di teras depan. Dia segera duduk di lantai. Anak dan mantunya itu kaget. Mereka hendak turun dari lincak tapi Cak Dlahom melarang.
“Tak usah turun. Duduk saja di sana…”
Nody dan Romlah tak membantah. Nody menunduk. Romlah memain-mainkan tangannya. Mereka tahu, kalau Cak Dlahom menemui mereka, biasanya akan ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan. Mereka menunggu.
“Nod…”
Dalem, Cak…”
“Berapa lama kamu menikahi Romlah?”
“Sudah setahun, Cak.”
“Sudah setahun…”
Cak Dlahom bergumam mengulang jawaban Nody. Suasana hening. Romlah dan Nody menunduk.
“Apa yang memberatkan pikiranmu, Nod?”
Nody tak segera menjawab. Mertuanya bertanya tentang sesuatu yang selama ini ingin diutarakannya, tapi kini dia justru kebingungan untuk menjawabnya. Dia mengambil napas dalam-dalam.
“Saya memikirkan Romlah dan calon anak kami, Cak.”
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Keselamatan keduanya…”
“Lalu setelah kamu pikirkan, apa kelak kamu bisa menyelamatkan Romlah dan anakmu?”
“Tentu tidak, Cak.”
“Apa sore tadi kamu mandi, Nod?”
Nody tidak segera menjawab pertanyaan mertuanya itu, tapi Cak Dlamon mengulang pertanyaannya.
“Sudah mandi, Nod?”
“Sudah, Cak?”
“Mandi dengan air?”
Dalem, Cak…”
“Air bersih?”
“Air yang sama yang kita gunakan setiap hari.”
“Lalu apa kamu lihat ke mana larinya air yang kamu gunakan untuk mandi?”
“Mengalir ke selokan…”
“Benar kamu lihat air itu mengalir ke selokan?”
“Tidak, Cak. Saya hanya melihat air dari kamar mandi masuk ke lubang pembuangan.”
“Mestinya kamu perhatikan ke mana air bekas mandimu itu mengalir.”
Nody tak menjawab. Romlah tak enak hati. Dia ingin menjawab tak mungkin suaminya memperhatikan ke mana air bekas mandinya mengalir, karena itu artinya Nody harus keluar kamar mandi sambil telanjang. Tapi Romlah juga hanya diam saja. Dia tak ingin Cak Dlahom semakin aneh.
“Air mandimu air bersih. Dia membersihkanmu. Membawa kencingmu, membawa semua kotoranmu. Masuk ke lubang pembuangan lalu mengalir ke selokan. Di sana, airmu bertemu dengan air dari kamar mandi dan dapur dari rumah yang lain dengan membawa kotoran lain.
Dari selokan mengalir ke kali yang agak besar. Bertemu dengan air dari rumah-rumah lain dengan membawa kotoran lain yang lebih banyak. Dari kali yang agak besar mengalir ke sungai. Kotoran yang dibawa air bertambah banyak. Kayu, bangkai, ludah, darah, nanah, dan sebagainya. Di beberapa tempat, air sungai dibendung. Sebagian mengalir ke parit, mengalirkan air ke sawa, ke ladang. Tapi air tetap dan terus mengalir. Membawa apa saja yang dibuang kepadanya. Menghanyutkan apa saja.”
Cak Dlahom sebentar berhenti. Seolah memberikan kesempatan kepada Nody dan Romlah untuk mencerna yang diucapkannya. Dia menyalakan rokok. Mengisapnya dalam-dalam.
“Semuanya dibawa oleh air. Dibawanya ke laut. Dan laut menerima semua pembuangan dari seluruh sungai. Dari mana saja. Dan kamu tentu tahu, air kotor itu, semuanya lalu menjadi bersih di laut. Airnya bersih dan membersihkan. Suci mensucikan. Semua yang hidup di dalamnya boleh kamu makan bila kamu mau. Kamu sudah tahu kan, Nod?”
Dalem, Cak…”
“Apa yang menjadi bebanmu, menjadi pikiranmu, menjadi kecemasanmu, tidaklah seberat beban yang wajib dibawa oleh air, Nod. Air bahkan tak pernah mengeluh, tak pernah murung, tak pernah mencemaskan apa pun yang datang atau dibuang kepadanya.”
Dalem, Cak…”
“Lalu apa yang kamu cemaskan, Nod? Mengalirlah seperti air. Bawa saja semuanya. Hadapi. Alirkan semuanya hanya menuju kepada Zat Pemelihara. Semata hanya kepada Dia. Tidak ada yang lain. Tidak kepada yang lain…”
“Maturnuwun, Cak…”
Romlah memotong suara Cak Dlahom. Cak Dlahom kembali mengisap kreteknya. Nody turun dari lincak, menghampiri mertuanya lalu mencium tangannya. Romlah menyusul suaminya. Mata Cak Dlahom berkaca-kaca. Sebentar lagi dia akan jadi kakek. Anak dari Romlah dan Nody.
“Terimakasih, Cak. Kami pamit mau masuk kamar. Mau tidur…”

Bukan Nasihat Khaidir kepada Gus Mut

Puasa sudah setengah jalan. Bulan sempurna jatuh di telaga. Di pinggir telaga, Cak Dlahom duduk bersila. Dia sendiri. Dari mulutnya keluar suara yang dilagukan.
“Duh Allah, engkaulah, lam yaalid wa lam yuulaad itu.”
Seperti desir angin yang menyapu permukaan air, lirih dia bersuara. Ditelan suara jangkrik dan kodok.
“Ampuni kami. Betapa hina diri ini…”
Diulang-ulangnya kata-kata itu. Sesekali dia membungkukkan badan, seperti orang sedang ruku. Dua tangannya bergenggaman. Matanya terpejam.
Gus Mut yang sehabis tadarusan menyusul ke pinggir telaga dan diam-diam ikut duduk di samping Cak Dlahom, hanya manggut-manggut mendengarkan.  Pemahamannya terhadap Cak Dlahom kini bertambah: laki-laki yang dianggap kurang waras oleh orang-orang kampung itu ternyata bisa sangat serius memohon ampun dan tidak ada orang yang tahu.
Gus Mut pun mencoba memejamkan mata. Tapi baru beberapa sekon terpejam, tak terdengar lagi Cak Dlahom menembang. Dia membuka mata. Lalu, yang didengarnya malah cekikikan Cak Dlahom.
“Mau apa kamu ke sini, Gus Mut?”
“Anu, Cak… Saya dikasih tahu Mbak Romlah, kalau mau mencari sampean, disuruh ke sini.”
“Mau apa kamu ke sini, Gus Mut?”
“Ndak ada apa-apa Cak. Di rumah, saya sendirian.”
“Aku bukan gurumu, Gus. Kamu tak pantas berguru padaku.”
Gus Mut menoleh ke Cak Dlahom. Dia terperangah. Mulutnya menganga.
“Sialan. Cak Dlahom tahu maksudku.”
Gus Mut membatin, tapi Cak Dlahom kembali bersuara.
“Sudah pintar memaki, Gus?”
Gus Mut semakin salah tingkah. Cak Dlahom seperti membaca dirinya. Membaca pikirannya.
“Ndak, Cak. Saya minta maaf…”
“Untuk makianmu?”
“Untuk semuanya, Cak. Dan saya memang mau berguru pada sampean.”
Cak Dlahom ngikik agak keras. Gus Mut menoleh ke belakang. Terlihat nisan-nisan kuburan yang tersiram purnama. Dia ingin memastikan, cekikikan itu benar suara Cak Dlahom. Bukan dari yang lain.
“Benar, Cak, saya mau berguru. Sudah lama saya mencari guru…”
“Kamu mencari guru itu sudah benar, tapi aku bukan guru.”
“Kenapa, Cak?”
“Mestinya aku yang bertanya ‘kenapa’ bukan kamu.”
“Maaf, Cak…”
Gus Mut lalu terdiam. Dia merasa serbah salah. Orang yang dihadapinya adalah orang yang kenyang asam garam kehidupan. Orang yang tak silau pada dunia, dan malah menghinakan dirinya sedemikian rupa. Membiarkan orang-orang menganggapnya tak waras. Membiarkan siapa saja meremehkannya.
“Saya tetap akan berguru Cak walaupun sampean menolak. Setidaknya, saya akan menganggap sampean guru saya…”
“Aku akan membiarkan manusia berprasangka padaku, Gus. Termasuk sangkamu tentang aku.”
“Saya selalu berprasangka sampean memang seorang guru, Cak.”
Cak Dlahom tak menjawab. Tak juga cekikikan. Pandangannya tertuju pada bulan yang mengapung di air.
“Kamu lihat bulan di air itu, Gus?”
“Saya lihat, Cak…”
“Air tak pernah menolak yang datang padanya. Bulan dan bangkai sama-sama diapungkannya.”
“Iya, Cak, saya akan ingat nasihat sampean.”
“Nasihat apa yang mana?”
“Tentang air yang tak pernah menolak…”
“Aku tak pernah memberi nasihat. Dan itu bukan nasihat. Apalagi nasihat untukmu.”
“Kalau begitu beri saya nasihat, Cak.”
“Aku bukan guru. Bukan gurumu. Dan andai benar butuh nasihat, kamu tak akan sanggup menurutinya.”
“Saya berjanji…”
Belum selesai Gus Mut menjawab, Cak Dlahom kembali ngikik.
“Gus Gus, Musa juga berjanji yang sama pada Khaidir tapi selalu melanggarnya.”
“Jadi sampean Khaidir?”
“Dan apa kamu Musa yang banyak tanya?”
“Iya ndaklah, Cak. Masa potongan begini Nabi Musa. Jauh ke mana-manalah…”
“Lalu kenapa kamu bertanya apakah aku Khaidir?”
“Kan cuma bertanya, Cak? Masak ndak boleh?”
Cak Dlahom menoleh ke Gus Mut. Gus Mut menoleh ke Cak Dlahom. Keduanya bersirobok.
“Serius kamu mau nasihat, Gus?”
“Serius, Cak.”
“Untuk apa? Akan kau gunakan sebagai apa?”
“Sebagai pegangan saya…”
“Kamu mau memegang nasihat dari orang tak waras?”
“Insyaallah, Cak…”
“Apa kamu rida dengan keberuntungan orang lain? Apa kamu ikhlas dan bersabar dengan kemalangan dirimu?”
Gus Mut terdiam dengan mulut yang makin menganga. Cak Dlahom kembali memandang bulan di telaga. Dia mulai menembang.
“Duh, Allah… Engkaulah lam yaalid wa lam yuulad itu. Ampuni kami. Betapa hina diri ini…”
Suaranya lirih. Seperti angin yang pelan mengusap permukaan air. Gus Mut terus menganga. Mulutnya seperti hendak menangkap angin. Atau mungkin bulan yang mengapung.

[Diinspirasi dari kisah-kisah yang disampaikan Syeik Maulana Hizboel Wathan Ibrahimy]

Mengaku Ada, Mengaku Sakit Bokong

Pak Lurah sakit. Sudah empat hari dia terbaring. Makan tak enak. Minum tak nikmat. Istrinya bingung karena sakit Pak Lurah kali ini agak aneh. Setiap menjelang buka Pak Lurah seperi kejang-kejang sembari memegangi bagian pantatnya. Dan setiap kali kejang-kejang itu, Pak Lurah memanggil-manggil nama Cak Dlahom.
Ketika istri Pak Lurah menceritakan keadaan suaminya kepada dokter yang memeriksa suaminya, giliran dokternya yang bingung. Kata dokter, Pak Lurah sehat-sehat saja. Tidak sakit dan mungkin hanya kelelahan sepulang dari umrah.
Istri Pak Lurah sudah mencoba mengajak Pak Lurah bicara. Tapi usahanya tak membuahkan hasil. Sejak terbaring, Pak Lurah tidak mau bicara. Membisu. Dia bahkan tidak mau memandang wajah istrinya dan hanya melelehkan air mata. Menangis tapi tanpa suara, hingga pada suatu malam, dia meminta istrinya agar memanggil Mat Piti dan Cal Dlahom.
Singkat cerita, malam itu selepas maghrib, berkunjunglah Mat Piti dan Cak Dlahom ke rumah Pak Lurah. Cukup aneh, karena tanpa rewel, kali ini Cak Dlahom bersedia ikut. Dia juga mau ketika Mat Piti mengajak masuk ke kamar untuk melihat keadaan Pak Lurah.
“Saya minta maaf Ril. Sebetulnya, kemarin selesai tarawih aku mau ke sini tapi ketiduran,” Mat Piti membuka omongan dengan memanggil nama kecil Pak Lurah.
Keduanya memang berteman sejak kecil. Sepantaran. Sama-sama lahir dan besar di Desa Ndusel.
Pak Lurah tak menjawab. Dia hanya memandangi Mat Piti sembari menangis. Kali ini dengan terisak. “Aku yang minta maaf Mat. Aku…”
Semenit dua menit, isak Pak Lurah semakin kencang. Istrinya yang semula tak ikut masuk kamar, segera masuk kamar. Pak Lurah menoleh ke Cak Dlahom. “Cak maafkan saya Cak.  Maafkan…”
Dan entah kenapa, Cak Dlahom yang biasa menjawab aneh-aneh, membalas serius dan benar. “Sampean tidak ada salah. Saya yang salah Pak Lurah.”
Mat Piti dan istri Pak Lurah saling pandang. Mereka tidak mengerti mengapa Pak Lurah dan Cak Dlahom saling minta maaf.   “Ada apa Pak? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Istri Pak Lurah mencoba mencari tahu. Pak Lurah semakin terisak. Cak Dlahom tertunduk. Mat Piti semakin heran. Lalu berceritalah Pak Lurah.
Sehari sebelum sakit, usai waktu salat ashar, dia bertemu Cak Dlahom di kuburan. Tepatnya melihat Cak Dlahom di samping makam istri Bunali. Semula Pak Lurah mengabaikan Cak Dlahom karena sudah bukan rahasia, Cak Dlahom sering berada di kuburan. Tapi ketika dia melintas di jalan yang membelah kuburan, terdengar suara yang dia merasa ditujukan kepada dirinya. Agak kencang. “Hai orang kaya, apa yang akan kamu banggakan bila dirimu jadi penghuni kuburan ini?”
Pak Lurah menghentikan langkah. Dia mengenal suara itu. Suara Cak Dlahom. Tapi dia ragu karena melihat Cak Dlahom hanya duduk bersilah di samping kuburan istri Bunali. Sama sekali tak menoleh. Saat akan kembali melangkah, Pak Lurah kembali mendengar suara itu. Semakin keras. Mirip suara setengah berteriak. “Hai orang kaya, untuk apa rumah bagusmu jika nanti engkau juga jadi bangkai…”
Pak Lurah balik badan. Dia yakin itu suara Cak Dlahom. Tidak diragukan lagi. Dia segera mendatangi Cak Dlahom lalu menepuk pundak Cak Dlahom.
“Eh Pak Lurah. Tumben main ke kuburan? Silakan ikut bersilah…”
“Saya berdiri saja Cak. Saya cuma mau tahu, maksud sampean tadi apa?”
“Maksud apa Pak Lurah?”
“Tadi sampean kan bersuara, ‘Hai orang kaya…'”
“Loh sampean orang kaya tah?”
“Ya ndak begitu tapi sampean kayak nyindir saya…”
“Kok bisa sampean merasa tersindir?”
“Lah wong di kuburan ini tidak siapa-siapa lagi kecuali saya dan sampean…”
“Sudah merasa kaya, merasa tersindir, sekarang sampean merasa ada. Sampean itu siapa?”
“Saya Sidik Khairil, Lurah Desa Ndusel?”
“Yang mana yang Sidik Khairil?”
“Ya ini, saya ini…”
Pak Lurah menunjukkan jarinya ke dadanya tapi tidak dengan nada marah dan sombong seperti ketika beberapa hari sebelumnya saat dia marah pada Cak Dlahom karena bertanya bagian mana dari dirinya yang terbakar. Cak Dlahom cekikikan.
“Anak-anak juga tahu Pak Lurah, yang sampean tunjuk itu namanya dada.”
“Tapi saya Sidik Khairil Cak.”
“Sudah tak bisa menunjukkan yang mana Sidik Khairil, sampean sekarang juga merasa punya nama?”
“Memang itu nama saya. Orang tua saya yang memberikannya.”
“Itu menurut sampean Pak Lurah…”
Pak Lurah yang semula berdiri, sekarang ikut bersilah menghadap makam istri Bunali. Dia tak tahan. Penasaran. Cak Dlahom harus dikejar agar menjawab. Agar menjelaskan.
“Sudah Cak, saya nyerah. Tolong jelaskan saja. Saya mau belajar.”
“Sampean merasa kaya?”
“Ndak Cak.”
“Merasa ada? Merasa tersindir? Merasa punya nama?”
“Tidakkah manusia memang ada dan setiap orang memang punya nama Cak?”
“Saya tadi sudah bilang, tolong tunjukkan, di mana dan yang mana sampean, jika sampean benar ada.”
“Ya ini…”
Pak Lurah tak melanjutkan kalimatnya. Cak Dlahom cekikikan.
“Pak Lurah, manusia itu hanya bisa mengaku-aku ada. Mengaku-aku bisa berbuat. Mengaku-aku punya nama. Mengaku ini itu. Tapi semua hanya pengakuan karena mereka sebetulnya tidak ada dan tidak tahu kalau tidak ada.”
“Lah orang-orang di kampung ini, apa sampean anggap bukan manusia Cak?”
“Ya mungkin saja. Mungkin saja mereka kambing, kucing, curut… Tapi bukan itu yang saya maksud. Itu lain penjelasannya. Sampean nanti malah makin bingung dan makin banyak tanya.”
“Lalu apa Cak?”
Cak Dlahom memandang serius wajah Pak Lurah. Orang yang dipandang tertunduk.
“Sampean ndak lihat kuburan ini Pak Lurah?”
“Saya lihat Cak.”
“Apa yang sampean lihat?”
“Kuburan. Tempat manusia mati dikubur.”
“Pintar sampean. Dan kuburan ini isinya hanya bangkai. Bangkai yang tak mungkin disimpan bahkan oleh orang-orang yang sebelumnya mengaku paling mencintainya. Bangkai manusia yang ketika ruh masih melekat pada jasadnya, selalu merasa dan mengaku bisa berbuat. Merasa punya nama. Mengaku-aku ada. Padahal mereka semua tidak ada. Tak abadi kecuali hanya jadi bangkai, dimangsa cacing, ditelan tanah.”
Pak Lurah terdiam. Matahari menyiramkan semburat tembaga pada tanah pekuburan. Waktu buka akan menjelang. “Saya mengerti Cak.”
Cak Dlahom diam. Dan tetap diam ketika Pak Lurah berdiri dan berjalan meninggalkannya. Tapi baru beberapa langkah, Pak Lurah terpelanting karena tersandung batu nisan. Jatuh dengan bagian bokong terhujam ke batu nisan yang lain. Gedebuk…
Pak Lurah mengadu. Cak Dlahom bangkit dan berlari. Dia membopong Pak Lurah.
“Maafkan saya Pak Lurah. Saya selalu membuat sampean kepikiran…”
“Saya memang perlu diingatkan Cak. Ndak apa-apa.”
“Saya minta maaf. Saya janji akan pijat sampean…”
Keduanya berpisah di tepi kuburan. Azan magrib menjelang. “Begitulah ceritanya Bu, Mat…”
Mat Piti geleng-geleng. Pak Lurah berusaha bangun dari rebahannya. Istrinya merangkulnya. “Aku tak usah dibawa ke dokter Bu. Aku hanya perlu dipijat oleh Cak Dlahom. Iya kan Cak?”
Cak Dlahom manggut-manggut. Mat Piti bertambah keheranan. Cak Dlahom jadi berbeda. Jadi serius betul dan penurut.

[Diinspirasi dari kirah-kisah yang disampaikan Syeikh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim]

Takut Neraka tapi Sudah Terbakar

Kabar kematian istri Bunali sampai juga pada Pak Lurah yang baru pulang dari umrah. Dia kaget dan lebih kaget lagi karena orang-orang membicarakan dirinya dan keluarganya. Menyalahkannya karena dianggap menelantarkan istri Bunali yang bekerja di rumahnya. Pak Lurah risih dan menolak anggapan semacam itu. Dia dan keluarganya merasa sudah cukup membantu almarhumah dengan mengangkatnya sebagai pembantu di rumahnya.
“Saya sebetulnya sudah punya dua pembantu, tapi karena kasihan pada istri Bunali, saya minta dia membantu di rumah. Padahal saya tak terlalu butuh. Kenapa orang-orang menyalahkan saya?”
Begitulah yang disampaikan Pak Lurah pada Mat Piti, ketika usai tarawih, Mat Piti berkunjung ke rumah Pak Lurah untuk menyampaikan selamat atas umrahnya. Istri Pak Lurah sesekali ikut menimpali omongan suaminya. Mat Piti hanya mendengarkan omongan keduanya. Dia tahu, pokok persoalan yang ingin disampaikan Pak Lurah adalah Cak Dlahom. Omongan dan tingkahnya.
Pak Lurah terus nyerocos. Pak Lurah baru jedah ketika para tamu semakin banyak berdatangan. Pak RT, Dullah, Warkono, Busairi, dan orang-orang dari kampung sebelah seperti Marja juga terlihat datang. Mereka semua menyalami Pak Lurah. Menyampaikan selamat untuk umrahnya. Umrah yang kesekian kali dilakukan Pak Lurah. Dia juga sudah berhaji.
Dan semakin malam, semakin banyak tamu yang datang. Mereka duduk-duduk di karpet yang digelar di teras depan yang luas.
Rumah Pak Lurah berukuran besar. Paling besar di kampung itu. Halamannya yang juga luas ditumbuhi pohon-pohon berdaun lebat. Dia punya berhektar-hektar sawah. Beberapa kambing yang dikandangi di dekat rumah reot yang pernah ditempati Cak Dlahom, hanyalah satu kandang penuh kambing dari sekian kandang penuh kambing lainnya milik Pak Lurah. Sapinya ditumpuk di satu kandang di dekat gapura desa. Setiap lebaran haji, hari raya kurban itu, hanya Pak Lurah satu-satunya orang di kampung yang berkurban sapi. Lalu dia akan selalu kebagian daging bagian paha belakang. Dua paha.
Pak Lurah memang seperti punya semuanya: harta, keturunan, dan jabatan. Tiga anaknya bersekolah di kota. Sekolah tinggi. Kecantikan istrinya hanya bisa disaingi oleh Romlah, istri Sunody Abdurrahman. Dia juga dianggap mewarisi perbawa dari orang-orang yang dianggap penting di kampung.
Buyutnya adalah lurah pertama di kampung. Pembabat alas. Buyutnya digantikan oleh kakeknya. Kakeknya digantikan oleh bapaknya. Bapaknya digantikan Pak Lurah. Dan Pak Lurah sudah dua kali jadi lurah. Sudah hampir 10 tahun. Bisik-bisik di kampung sudah ramai: Pak Lurah sedang menyiapkan anak laki-laki tertuanya untuk juga jadi lurah.
“Saya tersinggung Pak Mat.”
“Cak Dlahom tidak bermaksud menyinggung Pak Lurah…”
“Tapi dia bertingkah seolah saya tidak bertanggungjawab. Anti-sosial. Begini-begini saya juga ngerti ilmu agama. Sebisa mungkin menaatinya Pak Mat.”
“Saya minta maaf Pak Lurah atas nama Cak Dlahom…”
Pak Lurah meneruskan ocehannya. Orang-orang saling berpandangan. Mereka tahu Pak Lurah sedang marah, dan itu karena ulah Cak Dlahom. Orang yang dianggap sinting yang kadang mengharu biru. Kadang mereka rindukan. Kadang mereka tidak suka.
Setiap omongannya seperti melawan arus pendapat orang-orang kampung. Menyebalkan tapi mereka juga susah membantahnya, karena omongan Cak Dlahom sedikit-banyak ada benarnya. Lalu mereka merasa hidup mereka telah terpengaruh oleh Cak Dlahom. Tatanan sosial di kampung pun berubah sedikit-sedikit. Tapi mereka juga memaklumi jika Pak Lurah marah. Insiden selepas subuh di masjid, ketika Cak Dlahom menggotong beberapa karung berisi tanah dari makam istri Bunali lalu menumpahkannya di halaman masjid, bagaimanapun telah menempatkan Pak Lurah sebagai sosok yang tidak bertanggungjawab.
“Saya sudah menyampaikan maaf pada Cak Dlahom karena sebagai ketua RT, saya abai pada almarhumah istri Bunali, Pak Lurah…”
“Sampean itu tidak salah Pak RT, kenapa harus minta maaf?”
“Hanya agar Cak Dlahom tidak semakin kumat Pak…”
Orang-orang masih mendengarkan Pak Lurah mengoceh sembari menikmati hidangan kurma dan minum air zam zam, oleh-oleh Pak Lurah dari berumrah. Mereka tidak ada yang menyela. Tidak berani. Angin malam menerbangkan udara lembab. Sudah hampir tengah malam. Tiba-tiba… bruk…
Terdengar sesuatu seperti jatuh dari pohon. Orang-orang tersentak. Beberapa segera bediri dan bergegas mencari tahu asal suara. Dan mereka terkejut mendapati Cak Dlahom bersila di bawah pohon jambu.
“Loh Cak, sampean?”
“Sampean jatuh dari pohon?”
“Ndak apa-apa Cak?”
“Kok sudah bersila?”
“Wah kebetulan, Pak Lurah lagi ngrasani sampean…”
Silih berganti orang menanyai dan mengomentari Cak Dlahom tapi orang yang ditanya malah cekikikan.
“Ajak ke sini Cak Dlahom…”
Suara berat Pak Lurah terdengar, tapi orang-orang tidak ada yang berani mengajak Cak Dlahom. Cak Dlahom terus cekikikan. Dia berdiri. Berjalan ke teras tempat Pak Lurah, Pak RT, Mat Piti dan orang-orang kampung sedang cangkrukan. Sarungnya terangkat hingga betisnya yang kurus terlihat. Dia lalu duduk di pojok teras agak jauh dari orang-orang.
“Sehat Cak?” Pak Lurah membuka percakapan. Cak Dlahom tak menjawab. Matanya memandang penuh pada Pak Lurah. Orang-orang mulai dilanda perasaan kuatir.
“Begini loh Cak, sampean harus hati-hati ngomong untuk hal-hal yang sampean tidak tahu.”
“Apa yang saya tahu Pak Lurah? Saya memang tidak tahu apa-apa. Tidak pernah tahu…”
“Tapi sampean seolah menyalahkan saya untuk kematian istri Bunali Cak?”
Orang-orang kembali saling lirak-lirik. Mat Piti memandangi Cak Dlahom. Mereka merasakan udara lembab berubah menjadi hangat.
“Hehehe… Sampean merasa disalahkan toh?” Cak Dlahom membuka suara sambil cekikikan. Dia sudah tidak memandangi Pak Lurah.
“Ya jelas Cak. Gara-gara omongan sampean, saya jadi omongan orang-orang seluruh kampung. Saya dianggap tidak bertanggungjawab. Dianggap lalai. Dianggap tidak mengayomi…”
“Sampean takut omongan orang-orang?”
“Begini Cak. Saya memang tidak menjenguk istri Bunali ketika sakit karena banyak yang saya urus, tapi saya masih membayar dia. Sampean ndak tahu kan? Setiap tahun saya mengeluarkan zakat, infak dan sedekah untuk anak yatim dan fakir miskin karena itu hak mereka. Setiap tahun saya berkurban karena diwajibkan oleh agama. Saya menyumbang masjid. Gini-gini saya tahu hukum agama kok. Sampean jangan mentang-mentang…”
“Untuk apa sampean melakukan itu semua?”
“Itu ajaran agama Cak. Gimana sampean ini?”
“Tujuannya Pak Lurah. Tujuan sampean. Untuk apa?”
“Sedekah dan berkurban itu akan dibalas berlipat-berlipat oleh Allah, dan menghindarkan manusia dari api neraka.”
“Jadi yang mana yang sampean mau? Diberi balasan berlipat-lipat oleh Allah, atau sampean takut neraka?”
“Apa ndak boleh manusia berharap? Apa sampean berani masuk neraka?”
Cak Dlahom cekikikan. Pak Lurah melotot. Mat Piti mulai menggeser pantatnya. Orang-orang tetap membisu.
“Neraka itu ada di mana Pak Lurah?”
“Ya sampean pikir sendiri. Neraka kok ditanya ada di mana…”
“Apa sampean sekarang tidak merasa sedang masuk neraka?”
“Gimana sampean ini? Neraka itu ada di akhirat Cak. Nanti di hari pembalasan…”
“Terus kenapa sampean tersinggung hanya karena merasa orang-orang membicarakan keburukan sampean?”
“Nama baik dan harga diri saya dan keluarga saya jadi rusak! Hancur. Dan itu karena tingkah sampean…”
“Lalu sampean kepanasan?”
“Karena semua omongan tentang saya dan keluarga saya tidak benar. Fitnah! Tingkah sampean tidak benar…”
“Di bagian apanya dari sampean yang panas Pak Lurah?”
Tiba-tiba Pak Lurah berdiri. Dia bercekak pinggang. Cak Dlahom tetap duduk dan tetap cekikikan.
“Kalau mau tahu di bagian mana dari saya yang panas, saya jawab di sini! Di sini yang terbakar! Di sini..! Paham sampean?!”
Pak Lurah menunjuk-nunjuk dadanya. Matanya semakin melotot. Suasana tegang tak terhindarkan. Orang-orang tidak ada yang berani menengadah. Cak Dlahom juga sudah tidak cekikikan. Dari mulutnya, terdengar seperti orang sedang berkidung.
“…Celakalah para pengumpat dan pencela. [Mereka] yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. [Mereka] yang mengira hartanya dapat mengkekalkannya. Tidak. [Mereka] akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Ia adalah api yang menyala-nyala. Membakar hingga ke dada…”
Orang-orang kembali saling pandang. Mereka seperti tersihir oleh suara Cak Dlahom. Suara Cak Dlahom yang sedang mengaji. Lirih. Pak Lurah pun terlihat mulai mengendorkan tangannya. Mat Piti mencuri pandang ke arah Pak Lurah. Dia melihat Pak Lurah duduk kembali dan tertunduk. “Ya Allah, saya keliru Cak. Saya sombong, saya hanya merasa… Saya sudah terbakar…”
Pak Lurah membuka suara.Tepat pada saat itu, suara Cak Dlahom yang semula mengaji lirih juga terhenti. Dari mulutnya keluar suara yang berbeda. “Huek, huek…”
Seperti ada sesuatu yang menyangkut di batang tenggorokannya. Orang-orang memperhatikan Cak Dlahom. Dan benar, sesaat kemudian dia memuntahkan sesuatu. “Saya yang salah Pak Lurah. Saya yang keliru. Saya yang minta maaf. Saya mengaji sambil makan kurma. Bijinya nyaris tertelan…”
Pak Lurah tetap tertunduk. Dua pembantunya keluar dari dalam rumah membawa dua ceret berisi kopi panas. Orang-orang mulai mesam-mesem. Dua tiga jam lagi menjelang waktu sahur.

[Diinspirasi dari kirah-kisah yang disampaikan Syeikh Maulana Hizboel Wathany Ibrahim]

Pak Haji, Bu Puasa… Mbah Syahadat

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...